Jakarta, EKOIN.CO – Penyuluh agama dan penghulu diminta menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) serta konstitusi sebagai pijakan utama dalam melaksanakan tugas. Penegasan ini disampaikan oleh Peneliti The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar.
Hal tersebut ia ungkapkan dalam Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) 2025 Nasional. Kegiatan itu digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
“Sebagai aparatur sipil negara, penyuluh dan penghulu wajib menjadikan konstitusi sebagai akidah dalam menjalankan tugas di lapangan,” kata Alamsyah di hadapan peserta SPARK. Menurutnya, ini penting untuk mencegah penyuluh menjalankan misi yang bersifat eksklusif.
Ia menekankan bahwa penyuluh dan penghulu bertanggung jawab menyampaikan ajaran agama sekaligus melayani seluruh warga negara. Pelayanan itu harus dilakukan secara adil dan setara, berdasarkan hukum dan konstitusi yang berlaku.
“Konstitusi dan HAM adalah kerangka yang disepakati bersama dalam hidup bernegara. Ketika ASN bekerja berdasarkan itu, maka ia sedang menjaga fondasi kebangsaan,” jelasnya.
Netralitas ASN dan Tantangan Pelanggaran HAM
Alamsyah menjelaskan bahwa HAM memuat hak-hak mutlak yang tidak dapat dikurangi, termasuk kebebasan berpikir dan beragama. Ia merujuk pada Pasal 18 Deklarasi Universal HAM serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Menurutnya, berbagai pelanggaran HAM masih ditemukan di tingkat lokal. Contohnya seperti pemaksaan keyakinan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga ujaran kebencian berbasis agama yang masih kerap terjadi.
“Kalau penyuluh tidak paham batas konstitusi, bisa jadi malah ikut melanggarnya,” tegasnya. Karena itu, penting bagi ASN memahami batasan hukum agar tidak menjadi bagian dari masalah.
Ia juga menegaskan pentingnya netralitas dan profesionalisme penyuluh agama dan penghulu. Sebagai representasi negara, mereka berperan vital dalam meredam potensi konflik sosial berbasis keagamaan.
“Penyuluh tidak boleh membawa misi kelompok atau ormas tertentu. Anda hadir sebagai negara. Jangan sampai karena keasyikan dakwah, malah menyulut konflik baru,” katanya.
Dampak Global dan Etika ASN
Alamsyah turut menyinggung mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang mewajibkan Indonesia melaporkan pelaksanaan HAM kepada PBB setiap lima tahun. Ia mengingatkan bahwa peran ASN di daerah bisa memengaruhi persepsi internasional terhadap Indonesia.
“Apa yang Bapak-Ibu lakukan di tingkat lokal akan berdampak pada citra Indonesia di mata internasional,” ujarnya. Karena itu, ia mendorong seluruh penyuluh memahami aturan hukum terkait HAM dan ASN.
Ia menyebut Undang-Undang ASN, Undang-Undang HAM, serta kode etik ASN Kementerian Agama sebagai dasar profesionalisme penyuluh. “Itu bukan sekadar aturan administratif, tapi etika kerja ASN yang menjaga integritas negara,” jelas Alamsyah.
Di akhir pemaparannya, ia menekankan pentingnya membangun toleransi dan moderasi dalam praktik keagamaan. Hal itu menurutnya adalah wujud kedewasaan dalam beragama di masyarakat yang plural.
“Toleransi bukan berarti menyamakan keyakinan, tetapi kemampuan hidup berdampingan dalam perbedaan tanpa menyakiti satu sama lain,” ucapnya. Ia juga menyatakan, “Moderasi bukan tentang menyeragamkan agama, tapi tentang menghormati hak orang lain untuk berbeda.”
SPARK 2025: Membentuk Agen Perdamaian
SPARK 2025 sendiri digelar pada 22–26 Juni 2025 dan diikuti oleh 50 peserta terpilih dari 827 pendaftar. Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas penyuluh agama dan penghulu sebagai aktor resolusi konflik keagamaan.
Kegiatan tersebut diharapkan dapat mencetak aparatur sipil negara yang peka terhadap HAM dan konstitusi. Dengan begitu, pelayanan publik dalam isu keagamaan bisa berlangsung dengan adil, netral, dan profesional.
Pihak Kementerian Agama menyampaikan harapan agar peserta SPARK mampu menjadi agen perubahan di wilayah tugasnya masing-masing. Penguatan kapasitas ini juga menjadi bagian dari upaya jangka panjang menjaga harmoni sosial di Indonesia.
Penyuluh agama dan penghulu memegang peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial berbasis nilai konstitusi dan HAM. Penekanan terhadap netralitas, profesionalisme, dan moderasi menjadi fondasi dalam membangun pelayanan publik yang adil dan inklusif.
Pernyataan Alamsyah M Djafar menggarisbawahi pentingnya kesadaran para aparatur negara dalam memahami batas hukum dan nilai kemanusiaan. Hal ini sangat penting agar penyuluh tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menjaga martabat institusi negara.
Melalui kegiatan SPARK 2025, Kementerian Agama berupaya mencetak aparatur yang mampu merespons tantangan keberagaman secara konstruktif. Dengan pelatihan yang tepat, para penyuluh diharapkan menjadi aktor utama resolusi konflik dan penjaga keharmonisan sosial.(*)