Jakarta, EKOIN.CO — Ekspor batu bara Indonesia tercatat mengalami penurunan signifikan pada periode Januari hingga Mei 2025, terutama menuju dua negara tujuan utama yaitu China dan India. Penurunan ini disebut sebagai salah satu yang paling tajam dalam tiga tahun terakhir, ditandai dengan volume ekspor yang lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Data resmi menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia turun sebesar 12 persen, menjadi hanya 187 juta ton. Penurunan ini dipicu oleh beralihnya negara-negara tujuan utama ke batu bara berkalori tinggi dari negara pemasok lain, seperti Rusia, Mongolia, dan Afrika Selatan.
China mencatat penurunan impor batu bara dari Indonesia sebesar 12,3 persen, sedangkan India mengalami penurunan lebih besar, yakni 14,3 persen. Kondisi ini memberikan tekanan besar terhadap pasar batu bara Indonesia yang selama ini mengandalkan permintaan dari dua negara tersebut.
Pergeseran Preferensi Pembeli
Dalam keterangan yang dikutip dari laporan Reuters dan Energy Shift Institute, banyak negara pengimpor kini lebih memilih batu bara dengan kalori lebih tinggi (higher-CV). Batu bara jenis ini dinilai lebih efisien dalam pembakaran sehingga lebih hemat untuk industri besar seperti pembangkit listrik.
“Satu juta ton batu bara dengan CV tinggi bisa menggantikan 1,2–1,5 juta ton batu bara dari Indonesia,” ujar Vasudev Pamnani, Direktur I-Energy Natural Resources asal India.
Rusia dan Afrika Selatan kini menjadi pemasok pilihan dengan harga bersaing dan kualitas lebih tinggi. Sementara batu bara Indonesia dianggap sebagian besar masih berkategori kalori rendah–sedang, sehingga kalah saing dari sisi efisiensi.
Harga Global dan Perlambatan Industri
Turunnya harga batu bara global ke titik terendah dalam empat tahun terakhir juga menjadi faktor utama penurunan ekspor. Hal ini membuat negara-negara pembeli lebih selektif dalam menentukan sumber bahan bakar mereka.
Dalam laporan Januari hingga Mei 2025, China dan India sama-sama mencatat penurunan permintaan batu bara akibat melambatnya sektor industri dan menurunnya kebutuhan pembangkit listrik, seiring dengan peralihan ke energi terbarukan dan diversifikasi sumber energi.
Strategi Respons Pasar Domestik
Sebagai respons atas penurunan permintaan ekspor, sejumlah perusahaan tambang di Indonesia memilih untuk mengalihkan pasokan ke pasar domestik. Salah satu sektor penyerap terbesar adalah industri nikel, yang menyerap lebih dari 48,6 persen produksi batu bara nasional.
Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia memproyeksikan bahwa permintaan domestik akan naik sekitar 3 persen, meski penurunan ekspor diperkirakan bisa mencapai 10 persen secara tahunan.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM juga tengah mengevaluasi penyesuaian target ekspor dan membuka peluang untuk penetrasi ke pasar alternatif di Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Penyesuaian Kebijakan Harga
Penerapan Harga Batubara Acuan (HBA) sejak 1 Maret 2025 sempat menjadi sorotan di kalangan eksportir. Namun, Direktur Pembinaan Minerba Surya Herjuna menegaskan bahwa penurunan ekspor tidak sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan harga.
“Dampak terbesar datang dari perang dagang dan perlambatan mesin produksi di China dan India,” jelas Surya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya tengah mengevaluasi format HBA agar tetap kompetitif di pasar global, tanpa mengabaikan keberlanjutan dan penerimaan negara dari sektor batu bara.
Dampak Jangka Panjang dan Risiko
Lembaga Energy Shift Institute memperingatkan bahwa jika tren penurunan ini berlanjut, Indonesia bisa kehilangan posisi sebagai eksportir utama di pasar Asia. Penurunan ini juga dapat berdampak pada stabilitas lapangan kerja, khususnya di daerah-daerah yang bergantung pada industri tambang.
Laporan lembaga tersebut juga menyebut bahwa ekspor batu bara Indonesia untuk periode Januari–April 2025 adalah yang terendah dalam tiga tahun terakhir.
Pemerintah didesak untuk mengambil langkah strategis seperti diversifikasi portofolio energi, investasi di energi terbarukan, serta peningkatan kualitas produk batu bara agar lebih kompetitif di pasar internasional.
Pemerintah perlu mengembangkan strategi jangka panjang dengan memperkuat hilirisasi sektor tambang, termasuk pembangunan industri pembangkit dan konversi batu bara menjadi gas atau produk turunan lainnya. Hal ini untuk menghindari ketergantungan berlebih pada ekspor mentah.
Perusahaan batu bara juga diharapkan melakukan peningkatan standar kualitas batubara melalui teknologi pencucian dan kalibrasi CV, agar mampu bersaing dengan pemasok dari Rusia atau Afrika. Program sertifikasi mutu ekspor dapat menjadi inisiatif lanjutan.
Kolaborasi antarnegara dalam perjanjian perdagangan jangka panjang dapat menjadi solusi untuk menjamin stabilitas ekspor, terutama jika Indonesia bisa menunjukkan keandalan pasokan dan nilai tambah.
Aspek lingkungan tidak boleh diabaikan. Penurunan permintaan dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan mendorong transisi energi bersih.
Pemerintah dan pelaku industri harus duduk bersama untuk mengevaluasi kebijakan ekspor dan menyiapkan peta jalan sektor energi nasional yang adaptif dan inklusif terhadap perubahan global.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v