Palembang, — EKOIN.CO – Risiko gagal membayar (galbay) pinjaman online (pinjol) semakin mengkhawatirkan. Fenomena ini berkembang di masyarakat, terutama setelah maraknya ajakan melalui media sosial untuk tidak melunasi utang pinjol. Kasus galbay tersebut tercatat muncul dari berbagai platform digital yang menyebarkan propaganda untuk menunda atau menghindari kewajiban membayar.
Sejumlah akun di YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, hingga X diketahui menyuarakan gerakan menolak bayar pinjol. Mereka mempengaruhi pengguna untuk meminjam uang secara online lalu tidak melunasi tagihan. Informasi ini dilaporkan oleh detikSumbagsel, Selasa, 24 Juni 2025.
Entjik S Djafar, Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), mengungkapkan bahwa kelompok ini meminjam dana melalui pinjol resmi, kemudian sengaja tidak memenuhi kewajiban pembayaran. Hal ini berdampak langsung terhadap penyelenggara pinjaman online yang telah mengikuti regulasi resmi.
Salah satu konsekuensi utama dari galbay adalah meningkatnya beban bunga dan denda. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bahwa bunga pinjaman dan denda keterlambatan maksimal dikenakan sebesar 0,8 persen per hari. Selain itu, jumlah denda yang dikenakan tidak boleh melebihi total pokok pinjaman.
Bunga yang terus bertambah setiap harinya akan menumpuk dan menyebabkan jumlah utang menjadi lebih besar dibandingkan nilai pinjaman awal. Akibatnya, peminjam akan kesulitan melunasi kewajiban jika tidak diatasi dengan cepat.
Selain masalah finansial, peminjam yang gagal membayar juga akan tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola OJK. Nama peminjam tersebut akan masuk daftar hitam yang dapat menghambat akses terhadap fasilitas keuangan di masa mendatang.
Nasabah yang masuk dalam daftar hitam SLIK akan sulit mendapatkan kredit dari lembaga keuangan mana pun, termasuk bank maupun perusahaan pembiayaan lainnya. Kondisi ini bisa berakibat panjang terhadap rencana keuangan individu.
Tekanan psikologis juga menjadi dampak nyata dari galbay. Penagihan oleh perusahaan pinjol dilakukan secara intensif, mulai dari pesan singkat, email, hingga panggilan telepon berulang. Bahkan, dalam beberapa kasus, pihak pinjol datang langsung ke rumah peminjam.
Penagihan semacam ini bisa menimbulkan tekanan mental, seperti stres berat, kecemasan, hingga gangguan tidur. Kondisi mental yang terganggu juga bisa berdampak pada hubungan sosial dan produktivitas peminjam.
Untuk melacak nasabah yang tidak kooperatif, beberapa perusahaan pinjol legal menggunakan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Teknologi ini memungkinkan perusahaan tetap mengidentifikasi peminjam meskipun mereka mengganti nomor kontak atau menyembunyikan keberadaan.
AI tracking yang diterapkan oleh penyelenggara pinjol akan membantu menghubungkan ulang data nasabah dan melanjutkan proses penagihan meski informasi lama tidak lagi aktif. Dengan begitu, pelarian dari kewajiban bukanlah solusi yang berhasil.
Pinjaman online yang tidak terdaftar secara resmi alias ilegal justru membawa risiko lebih besar. Penagihan dilakukan dengan cara kasar, melampaui batas etika, bahkan hingga mengancam keselamatan pribadi peminjam.
Pinjol ilegal juga seringkali menyalahgunakan data pribadi. Mereka dapat menyebarkan informasi sensitif seperti foto pribadi atau kontak kepada keluarga, rekan kerja, atau masyarakat umum untuk mempermalukan peminjam.
Dalam aturan AFPI dan pengawasan OJK, perusahaan pinjol legal tidak diperbolehkan menggunakan cara-cara semacam itu. Penagihan harus dilakukan secara manusiawi, tidak mengintimidasi, dan mengedepankan etika.
Dari sisi hukum, risiko bagi peminjam juga tidak ringan. Berdasarkan informasi dari JDIH Kota Tanjungpinang, ada tiga aspek hukum yang mengancam peminjam yang sengaja tidak membayar pinjaman online.
Pertama, peminjam bisa digugat karena wanprestasi atau pelanggaran terhadap kontrak. Jika terbukti lalai membayar, perusahaan pinjol dapat menempuh jalur hukum perdata.
Kedua, bila ditemukan adanya unsur penipuan saat proses pengajuan pinjaman, pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Ketiga, jika terdapat agunan dalam proses pinjaman, maka aset tersebut dapat disita melalui proses hukum sebagai upaya pemulihan kerugian pihak pemberi pinjaman.
Fenomena galbay juga mengganggu iklim investasi dan pendanaan pada sektor keuangan digital. Seperti dilaporkan oleh Tempo, gerakan galbay ini membuat investor ragu menanamkan modal ke sektor pinjol karena kekhawatiran tingkat gagal bayar yang tinggi.
Turunnya kepercayaan dari investor mengakibatkan ketersediaan modal bagi perusahaan pinjaman online menjadi lebih terbatas. Ini berdampak pada kemampuan mereka memberikan layanan kredit kepada masyarakat.
Jika kondisi ini terus berlangsung, akses masyarakat terhadap pembiayaan legal melalui pinjol bisa semakin sulit. Maka dari itu, upaya menjaga integritas dan kredibilitas sektor fintech sangat penting untuk masa depan sistem keuangan digital Indonesia.
AFPI menyatakan bahwa banyak penyelenggara pinjol ilegal telah melanggar norma-norma sosial dan hukum, jauh dari ketentuan yang berlaku dalam tata cara penagihan yang sah.
OJK dan AFPI terus melakukan upaya pemberantasan pinjol ilegal. Mereka menempuh cara-cara seperti pemblokiran aplikasi, sanksi administratif, dan penindakan terhadap penyalahgunaan data pribadi.
Meski ada penindakan, penyelesaian terbaik tetap melalui komunikasi dan negosiasi antara peminjam dan pihak pinjol. OJK mendorong skema restrukturisasi bagi peminjam yang mengalami kesulitan keuangan.
Restrukturisasi tersebut bisa berupa pengurangan bunga, penjadwalan ulang pembayaran, atau pembebasan sebagian denda. Tujuannya adalah mencegah masalah galbay berkembang lebih luas.
Masyarakat diimbau untuk selektif memilih pinjaman online. Hindari pinjol ilegal yang menawarkan bunga tidak masuk akal dan proses yang tidak transparan. Pilih penyedia pinjaman yang sudah terdaftar di OJK.
Pinjol resmi hanya diperbolehkan menetapkan bunga harian maksimal 0,8% dan jumlah denda yang tidak melebihi pokok pinjaman. Ketentuan ini menjadi salah satu perlindungan bagi konsumen.
Perlu kesadaran bahwa pinjaman adalah kewajiban, bukan dana hibah. Menghindar dari pembayaran tanpa dasar hukum yang sah berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Fenomena galbay juga menunjukkan pentingnya edukasi keuangan di tengah masyarakat. Semakin tinggi literasi keuangan masyarakat, semakin kecil risiko terjebak pada pinjol ilegal dan gagal bayar.
Pemerintah dan lembaga terkait disarankan untuk meningkatkan program sosialisasi tentang risiko pinjaman online. Masyarakat perlu mengetahui batas aman dalam mengakses layanan keuangan digital.
Untuk menghindari tekanan mental dan sosial, peminjam sebaiknya mempersiapkan rencana pembayaran sejak awal. Pinjaman harus digunakan secara bijak, sesuai kebutuhan dan kemampuan membayar.
Dalam situasi terdesak, diskusi terbuka dengan penyedia pinjaman lebih baik dibanding memilih galbay. Solusi damai lebih memungkinkan dan menghindari beban psikologis serta hukum.
Langkah bijak lainnya adalah menolak ajakan galbay yang beredar di media sosial. Meniru ajakan tersebut dapat menjerumuskan ke dalam jerat utang yang sulit dilepaskan.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v