Jakarta, ekoin.co – Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menyatakan pihak penyelenggara Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mengakibatkan siswa keracunan dapat diseret ke ranah hukum. Mereka bisa dijerat Undang-undang Perlindungan Anak karena terindikasi membahayakan jiwa anak-anak.
“Ini kan mengakibatkan keracunan massal bahkan anak sampai dirawat, rasa sakit anak, kejang-kejang, buang air besarnya dengan darah, berarti ada luka dalam (perut). Nah, menurut saya ini sudah bisa dipidana,” ujar Retno saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu 8 Oktober 2025.
Retno menjelaskan penyelenggara MBG bisa dijerat karena keracunan MBG diduga berasal dari pilihan bahan makanan yang tidak berkualitas. Sehingga, tidak menghasilkan makanan sehat, tapi justru berefek bagi kesehatan.
“Bukan proses masaknya tapi memang bahan bakunya sudah buruk, bisa jadi ayam sudah busuk sebelum dimasak. Bisa jadi kalau digoreng (ulat) mati, tapi misalnya kelamaan dibiarkan dalam suhu ruangan, bisa muncul belatung baru, kalau memang bahan-bahannya basi,” kata dia.
Kasus keracunan siswa akibat MBG menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) hingga 4 Oktober 2025, terdapat 10.482 siswa korban keracunan MBG.
Pemerintah menduga keracunan dipicu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP), seperti pembelian bahan baku MBG yang seharusnya dilakukan 2 hari sebelumnya (H-2), namun SPPG membeli bahan baku H-4. Presiden Prabowo menginstruksikan agar SOP MBG segera diperketat.
Retno mengatakan pihak yang bisa membawa kasus ini ke ranah hukum adalah korban keracunan dalam hal ini siswa yang mengkonsumsi MBG. Mereka bisa melaporkan dapur MBG sebagai perwakilan Badan Gizi Nasional (BGN) karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas.
“Ada problem mendasar dari penyajian makanan MBG oleh pihak BGN tentunya, dapur-dapur ini saya anggap mewakili BGN. Sebenarnya kalau pakai KUHP ada (tuntutannya), jadi ketika kita mengalami kerugian, bisa tuntut juga secara perdata kalau kita mau,” kata lulusan Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Indonesia itu.
Eks Kepala SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta itu mengatakan dugaan pelanggaran bisa semakin berat bila terdapat unsur paksaan kepada siswa untuk mengonsumsi MBG. Dugaan ini muncul belakangan karena banyak anak yang menolak mengkonsumsi MBG karena takut keracunan.
“Ini kan lama-lama bisa menjadi bentuk kekerasan. Artinya ada pemaksaan misalnya, ini makan, nanti mubazir. Kalau gitu guru paksa anak untuk makan, kan tidak bisa begitu. Jadi kalau anak nggak mau, ya udah kita nggak bisa marah,” katanya.
Retno berharap peran orang tua siswa untuk turut mengawasi dapur MBG. Mereka juga diminta untuk berani melapor bila anaknya menjadi korban keracunan.
“Tapi saya tidak melihat niat untuk memidana hingga hari ini. Walaupun sebenarnya itu bisa dilakukan. ” kata dia. (*)