JOMBANG, EKOIN.CO – Kenaikan PBB di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mencapai 1.202% sejak diberlakukannya Perda Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Meski angka ini melampaui kenaikan di Pati, warga Jombang memilih mengajukan keberatan resmi ketimbang turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Berlangganan WA Channel EKOIN di sini
Bupati Jombang, Warsubi, menegaskan dirinya hanya meneruskan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelum ia menjabat. “Kami tidak pernah menaikkan pajak, kami hanya menjalankan apa yang sudah dijalankan di tahun 2024, kami kan belum menjabat,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kemenag Jombang, kemarin.
Ia menyebut langkah ini sebagai kelanjutan perjuangan kepala daerah sebelumnya. “Kami harus meneruskan perjuangan-perjuangan beliau,” tambahnya. Kenaikan PBB P2 yang signifikan ini berlaku untuk sebagian wilayah Jombang sejak awal 2024.
Solusi Keringanan PBB untuk Warga
Untuk mengurangi beban, Pemkab Jombang membentuk tim khusus penanganan pengaduan masyarakat. Warga yang keberatan dipersilakan mengajukan permohonan keringanan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
“Sudah 16.000 orang lebih minta pengurangan. Bahkan kami membentuk tim khusus penanganan pengaduan masyarakat. Masyarakat yang keberatan pasti kami berikan potongan,” jelas Warsubi.
Menurut Kepala Bapenda Jombang, Hartono, selama 2024 pihaknya menerima 12.864 nomor objek pajak (NOP) yang diajukan keberatan, sedangkan tahun ini ada 4.171 NOP yang mengajukan hal serupa. “Keringanan diberikan sesuai kemampuan pemohon. Kami periksa pengeluaran listrik, internet, kebutuhan hidup, pendapatan, statusnya janda atau pekerja,” paparnya.
Warga Jombang memanfaatkan mekanisme ini untuk menghindari konflik terbuka. Surat keberatan menjadi saluran protes resmi yang lebih efektif dibanding aksi massa.
Cerita Warga yang Terbantu Keringanan PBB
Munaji Prajitno, warga Jombang, memilih jalur pengajuan keberatan ke Bapenda dan mendapat pemotongan tagihan besar. Melalui putrinya, Cintya, ia mengurus keberatan untuk dua objek pajak.
Hasilnya, PBB P2 untuk properti di Jalan dr Wahidin Sudiro Husodo turun dari Rp 2.314.768 menjadi Rp 641.256. Untuk tanah di Dusun Ngesong VI, tagihan berkurang dari Rp 1.166.209 menjadi Rp 186.503.
“Sudah diberikan keringanan. Sebelumnya Rp 3,5 juta, sekarang jadi Rp 800.000 untuk tahun 2025. Tidak sulit, cuma 10 menit. Tahun 2024 belum, masih diurus,” kata Cintya.
Keputusan warga untuk tidak berdemo juga dipengaruhi oleh efektivitas tim penanganan keberatan. Masyarakat merasa jalur administratif ini memberi hasil konkret tanpa harus mengorbankan waktu dan tenaga di jalan.
PAD Jombang Terdongkrak Kenaikan PBB
Data Bapenda Jombang mencatat realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari PBB P2 pada 2023 sebesar Rp 42,92 miliar atau 99% dari target. Tahun 2024, angka ini melonjak 92% menjadi Rp 51,61 miliar dari target Rp 56,07 miliar.
Kenaikan PAD pada 2024 mencapai Rp 8,69 miliar dibanding tahun sebelumnya. Hingga Agustus 2025, realisasi PAD dari PBB P2 sudah 89% dari target Rp 59,23 miliar, atau senilai Rp 52,88 miliar.
Lonjakan ini belum final, mengingat masih ada empat bulan tersisa hingga akhir tahun. Kenaikan tajam ini diakui Hartono sebagai efek langsung dari kebijakan penyesuaian tarif pajak sejak 2024. “Jelas ada pengaruh karena ada kenaikan (pendapatan daerah),” ujarnya.
Meski menuai kritik, kebijakan ini secara nyata meningkatkan pendapatan daerah, yang diharapkan dapat dialokasikan untuk pembangunan dan layanan publik di Jombang.
Bagi pemerintah, tantangan berikutnya adalah menjaga keseimbangan antara target PAD dengan kemampuan bayar masyarakat. Keringanan tetap dibutuhkan agar beban pajak tidak memicu gejolak sosial.
Kenaikan PBB di Jombang hingga 1.202% menjadi fenomena unik karena tidak diikuti aksi unjuk rasa massal.
Masyarakat memilih jalur keberatan resmi yang difasilitasi Bapenda, terbukti memberi hasil nyata.
Pemkab Jombang memanfaatkan lonjakan ini untuk meningkatkan PAD secara signifikan.
Efektivitas tim pengaduan menjadi kunci terjaganya stabilitas sosial di tengah kenaikan pajak.
Ke depan, keseimbangan antara pendapatan daerah dan kemampuan bayar warga tetap krusial.
Pemerintah sebaiknya rutin melakukan evaluasi tarif PBB berdasarkan kondisi ekonomi warga.
Mekanisme keringanan perlu disosialisasikan lebih luas agar semua lapisan masyarakat terbantu.
Transparansi penggunaan PAD dari PBB penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pajak bisa menjadi solusi jangka panjang.
Penguatan pelayanan Bapenda akan memastikan penanganan keberatan berjalan cepat dan adil.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v