Jakarta, EKOIN.CO – Dalam forum diskusi akademisi Indonesia–Malaysia, Senin (30/6), Dekan FISIP Universitas Jember, Suyani Indriastuti memaparkan pemikirannya mengenai perkembangan teknologi kecerdasan artifisial (AI) dan tantangannya terhadap pembangunan manusia di kawasan ASEAN.
Acara yang berlangsung di Kampus Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gatot Subroto, Jakarta, merupakan hasil kolaborasi BRIN bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Universitas Jember, dan Universitas Presiden.
Dalam paparannya berjudul “Dehumanisasi vs Humanisasi dalam Industri 4.0 dan 5.0: Tantangan dan Peluang bagi Pembangunan Manusia dalam Visi Komunitas ASEAN 2045”, Suyani menjelaskan bahwa era industri 4.0 telah kita lewati. Kini masyarakat memasuki era industri 5.0 yang dimulai sejak 2020.
Menurutnya, jika era 4.0 ditandai dengan dehumanisasi akibat ketergantungan terhadap mesin, maka industri 5.0 mencoba menyeimbangkan kembali peran manusia. “Manusia menjadi center-nya, pemikir-pemikir strategis dilakukan oleh manusia,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pergeseran menuju industri 5.0 tidak hanya soal teknologi, tetapi juga menyoal bagaimana manusia menyesuaikan perannya dan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh sistem berbasis AI.
Ketimpangan Global dalam Penguasaan Teknologi
Lebih lanjut, Suyani menyoroti bahwa adopsi AI saat ini sangat tinggi, bahkan menurut IBM AI Adoption Index 2023, kurang dari 20 persen perusahaan yang belum menggunakannya. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan besar bagi negara-negara ASEAN.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa negara-negara Asia Tenggara bukan pusat pengembangan teknologi AI. “Pengguna dan penemu AI lebih banyak berada di Eropa dan Amerika,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam klasifikasi pendapatan negara, adopsi teknologi paling besar terjadi di negara berpendapatan tinggi. “Negara berpendapatan rendah, bahkan hanya tidak ada sepersepuluhnya dari negara-negara maju,” imbuhnya.
Menurut Suyani, kesenjangan ini menimbulkan risiko bahwa negara berkembang, termasuk ASEAN, hanya akan menjadi pasar konsumen teknologi dari negara-negara besar.
Berdasarkan AI Index Report 2025, negara dengan paten AI terbanyak adalah Korea Selatan, Luksemburg, dan Tiongkok. Dari Asia Tenggara, hanya Singapura yang masuk daftar sepuluh besar.
Strategi Mengurangi Ketergantungan Teknologi
Suyani menilai kesenjangan tersebut menjadi tantangan besar dalam menyongsong ASEAN Community Value 2045. “Bisa jadi kita hanya menjadi target pasar dari teknologi negara-negara maju,” katanya.
Hal ini dinilai berbahaya karena berpotensi menimbulkan ketergantungan yang menyebabkan negara-negara ASEAN kehilangan kemandirian teknologi.
Untuk itu, Suyani mengusulkan strategi yang mencakup kesiapan sumber daya manusia, transformasi budaya, dan integrasi teknologi. “Tantangan kita adalah technological integration, human readiness, dan cultural shift,” sebutnya.
Di sisi lain, ia melihat peluang dari pemberdayaan UKM dan startup agar mampu menyesuaikan diri dengan teknologi yang berkembang. Termasuk pasar daring yang dinilai adaptif terhadap perubahan.
Menurutnya, dari sisi pendidikan, solusi dapat dimulai dari pembelajaran seumur hidup, perubahan kurikulum, kolaborasi antara lembaga pendidikan dan industri, serta kebijakan regulatif dari pemerintah.
Diskusi akademisi Indonesia–Malaysia di Jakarta menghadirkan refleksi penting mengenai masa depan ASEAN dalam menghadapi era teknologi kecerdasan buatan. Paparan Suyani Indriastuti menekankan bahwa manusia tidak boleh tersingkirkan dalam dinamika industri masa kini.
Peran strategis sumber daya manusia, penguatan institusi pendidikan, dan kemandirian teknologi menjadi isu sentral. Ketimpangan antara negara maju dan berkembang perlu dijembatani dengan kolaborasi dan investasi jangka panjang yang melibatkan sektor pendidikan dan industri lokal.
Penting bagi ASEAN untuk mengembangkan solusi lokal yang berdaya saing global agar tidak hanya menjadi pasar pasif, namun turut menjadi pemain utama dalam inovasi teknologi masa depan. (*)