Ngawi, EKOIN.CO- Polres Ngawi berhasil membongkar jaringan bisnis pupuk subsidi ilegal yang diduga merugikan petani dan mengancam ketahanan pangan. Kasus ini terungkap setelah dua truk berisi 17,8 ton pupuk Phonska bersubsidi disergap di Jalan Ahmad Yani, Kota Ngawi, pada Selasa (30/7/2025) dini hari. Ikuti berita terbaru di WA Channel EKOIN.
Kapolres Ngawi, AKBP Charles Pandapotan Tampubolon, menjelaskan bahwa dalam operasi itu diamankan 356 sak pupuk, dua truk, sejumlah ponsel, dan uang tunai Rp700 ribu. Polisi juga menetapkan tujuh orang tersangka. “Pupuk bersubsidi adalah atensi Polri. Jika dimainkan, petani yang paling dirugikan dan ini bisa berdampak pada ketahanan pangan,” tegas Charles, Sabtu (16/8/2025).
Skema Bisnis Pupuk Ilegal yang Terstruktur
Penyelidikan mendalam mengungkap skema bisnis pupuk ilegal tersebut melibatkan rantai perantara yang panjang. Pupuk bersubsidi yang seharusnya disalurkan berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) ternyata dibeli dari kios dengan harga lebih tinggi.
Awalnya, dua sopir asal Sampang, MR (37) dan AF (30), mengaku hanya menjalankan perintah dari seorang pria berinisial B. Pupuk dibeli dari Probolinggo seharga Rp120 ribu per sak, lalu hendak dijual di Ngawi dengan harga Rp180 ribu per sak. Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi hanya Rp115 ribu per sak.
Dari pengakuan sopir, B menghubungi NH di Probolinggo untuk mengumpulkan pupuk. NH membeli dari ZA yang hanya memiliki 7 kwintal stok. Untuk menutup kekurangan, ZA mencarikan tambahan ke kios milik AM dan mendapatkan 8 ton pupuk dengan uang muka Rp9,4 juta.
Karena masih kurang, AM mencari tambahan 9,1 ton dari kios milik ZH dengan uang muka Rp10 juta. Dalam proses itu, ZA juga menerima “uang jasa” Rp700 ribu dari M yang berperan sebagai penghubung. Skema berlapis inilah yang membuat harga pupuk melonjak tinggi sebelum sampai ke tangan petani.
Ancaman Hukum Berat untuk Pelaku Bisnis Pupuk
Kapolres Ngawi menegaskan pihaknya akan menindak tegas seluruh pelaku dalam jaringan bisnis pupuk ilegal ini. Para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, serta aturan lain terkait perdagangan pupuk bersubsidi.
Ancaman hukumannya tidak main-main. Para tersangka bisa dijatuhi pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. “Ini baru permulaan. Kami pastikan akan membongkar seluruh sindikat pupuk ilegal di Ngawi,” ujar Charles.
Selain memburu jaringan yang lebih luas, kepolisian juga mendalami dugaan keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk oknum yang berperan dalam pengalihan pupuk bersubsidi dari jalur resmi distribusi.
Pihak kepolisian mengingatkan bahwa permainan harga pupuk tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam produktivitas pertanian di Jawa Timur. Petani yang seharusnya menerima pupuk dengan harga terjangkau, justru terjebak dengan harga yang jauh lebih mahal.
Kementerian Pertanian menegaskan, distribusi pupuk bersubsidi harus sesuai dengan RDKK agar tepat sasaran. Penyimpangan alokasi bisa menyebabkan kelangkaan di tingkat petani.
Dampak yang lebih jauh dari praktik ilegal ini adalah ancaman terhadap ketahanan pangan. Apabila petani tidak mendapat pupuk sesuai harga resmi, produksi pertanian bisa menurun signifikan.
Perkara ini menjadi perhatian serius karena menyangkut kebutuhan pokok. Polres Ngawi memastikan koordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait untuk memperketat pengawasan distribusi pupuk.
Kasus tersebut juga membuka mata publik bahwa bisnis pupuk subsidi seringkali dijadikan ladang keuntungan oleh sindikat. Dengan harga berlapis dari tangan ke tangan, petani menjadi korban utama.
Kini, polisi masih menelusuri kemungkinan adanya aliran dana ke pihak-pihak lain yang ikut menikmati keuntungan dari penjualan pupuk bersubsidi di luar jalur resmi.
Sebagai langkah pencegahan, Polres Ngawi akan melakukan operasi rutin di wilayah rawan distribusi pupuk ilegal. Warga juga diminta aktif melapor jika mengetahui adanya praktik penimbunan atau penjualan pupuk dengan harga di atas HET.
Pemerintah berharap, dengan terbongkarnya kasus ini, distribusi pupuk bisa kembali berjalan sesuai mekanisme resmi, sehingga petani dapat menjalankan musim tanam dengan lancar.
Kasus ini sekaligus menjadi peringatan bahwa praktik curang dalam sektor pertanian tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan pangan bangsa.
Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya jalur distribusi pupuk bersubsidi ketika ada celah yang dimanfaatkan oknum. Jika dibiarkan, praktik serupa akan terus berulang.
Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memperketat pengawasan agar petani benar-benar mendapat haknya. Distribusi sesuai RDKK harus dijaga ketat.
Ketahanan pangan akan sulit tercapai jika harga pupuk dipermainkan. Oleh karena itu, tindakan tegas terhadap sindikat sangat diperlukan.
Selain hukuman pidana, edukasi dan transparansi distribusi pupuk juga harus diperkuat agar masyarakat tahu harga resmi.
Dengan sinergi semua pihak, mafia bisnis pupuk bisa diberantas dan kebutuhan petani kembali terjamin. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v