Jakarta, EKOIN.CO – Kasus korupsi yang seret eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, kembali menyita perhatian publik. Dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (9/10/2025), terungkap bahwa Riva dan sejumlah pejabat lain masih berstatus sebagai karyawan BUMN, meskipun tengah menjadi terdakwa atas dugaan korupsi tata kelola BBM yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Hakim Ketua Fajar Kusuma Aji mengonfirmasi status pekerjaan para terdakwa sebelum pembacaan dakwaan oleh jaksa. “Pekerjaan saudara?” tanya Hakim Fajar dalam persidangan yang berlangsung terbuka. Dengan tenang, Riva menjawab, “Sampai saat ini masih menjadi karyawan BUMN, Yang Mulia.”
Fakta bahwa Riva masih tercatat sebagai pegawai aktif di lingkungan BUMN timbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Dugaan korupsi senilai Rp193,7 triliun yang melibatkan bahan bakar minyak (BBM) seharusnya menjadi alasan kuat untuk menonaktifkan para terdakwa dari jabatannya. Namun kenyataannya, status kepegawaian mereka belum berubah.
Selain Riva, sejumlah pejabat lain yang juga menjadi terdakwa ternyata masih berstatus pegawai aktif. Di antaranya adalah Maya Kusmaya, mantan Vice President Trading and Other Business PT Pertamina Patra Niaga periode 2021–2023 yang kemudian menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga pada 2023–2025. Maya juga mengakui bahwa dirinya masih merupakan karyawan BUMN saat menjawab pertanyaan majelis hakim.
Nama lain yang turut disorot adalah Edward Corne, mantan Manajer Impor dan Ekspor Produk Trading di Direktorat Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga periode 2021–2023. Ia diduga berperan dalam pengaturan aliran distribusi BBM yang menimbulkan potensi kebocoran besar dalam sistem niaga nasional.
Dalam dakwaan jaksa, kerugian negara akibat praktik korupsi tata kelola BBM itu ditaksir mencapai Rp193,7 triliun, angka yang sedikit direvisi dari perkiraan awal Rp285 triliun saat penyelidikan dimulai. Revisi tersebut didasarkan pada hasil audit lanjutan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama penyidik Kejaksaan Agung.
Jaksa menilai bahwa para terdakwa secara bersama-sama telah menyalahgunakan wewenang dalam sistem impor, distribusi, dan penjualan BBM yang dikendalikan oleh PT Pertamina Patra Niaga. Mereka disebut mempermainkan kuota impor dan alokasi bahan bakar bersubsidi yang seharusnya ditujukan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Menurut sumber internal, sistem pengawasan internal BUMN tidak mampu mendeteksi penyimpangan tersebut selama bertahun-tahun. Skema korupsi yang dilakukan Riva dan rekan-rekannya disebut sangat rapi, melibatkan manipulasi data transaksi dan laporan keuangan yang sulit dilacak.
Publik pun bereaksi keras. Banyak pihak menilai kasus ini mencoreng kredibilitas BUMN sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Beberapa organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi tata kelola BUMN agar praktik serupa tidak terulang.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Hadi Wiratama, menilai kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan. “Transparansi dan akuntabilitas dalam tubuh BUMN adalah kunci. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa pengawasan internal masih lemah,” ujarnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung memastikan akan menindaklanjuti kasus ini secara menyeluruh. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, menegaskan bahwa tim penyidik telah menyiapkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dakwaan. “Kami akan membongkar seluruh jaringan pelaku dalam perkara ini,” kata Ketut.
Kasus ini juga menimbulkan dampak sosial yang luas. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara yang seharusnya menjadi contoh integritas. Sektor energi yang vital kini kembali dipertanyakan, terutama terkait distribusi BBM yang kerap bermasalah di berbagai daerah.
Selain kerugian ekonomi, dampak sosial dari korupsi sebesar ini sangat terasa. Harga BBM yang fluktuatif, gangguan pasokan di daerah, dan membengkaknya anggaran subsidi menjadi beban ganda bagi negara. Para ahli menilai bahwa kerugian tersebut tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik.
Di tengah proses hukum yang masih berjalan, Kementerian BUMN didesak untuk segera menonaktifkan seluruh terdakwa dari status kepegawaian. Langkah ini dinilai penting demi menjaga marwah lembaga dan memastikan proses hukum berjalan tanpa konflik kepentingan.
Jika terbukti bersalah, para terdakwa terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup sesuai dengan ketentuan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Selain hukuman penjara, mereka juga dapat dijatuhi denda dan kewajiban mengganti kerugian negara.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tata kelola sektor energi harus diperbaiki secara menyeluruh. Reformasi struktural di tubuh BUMN, terutama di bidang pengawasan dan transparansi, menjadi kebutuhan mendesak..(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v