Jakarta, Ekoin.co – Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 15 September 2025. Agenda persidangan tersebut ditunda karena dokumen dari pihak tergugat, yakni Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), masih belum lengkap sehingga majelis hakim memutuskan untuk menunda jalannya sidang.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketua majelis hakim PN Jakarta Pusat, Budi Prayitno, menyampaikan bahwa seluruh pihak telah hadir dalam ruang persidangan. Namun, kuasa hukum tergugat belum mendaftarkan dokumennya ke dalam sistem pengadilan sehingga mediasi tidak bisa dilanjutkan. “Ini (semua pihak) sudah hadir. Tapi kuasa (tergugat) belum daftar (ke sistem PN) kita tunggu dulu sebelum mediasi,” ujar hakim Budi dalam sidang terbuka.
Dalam persidangan itu, pihak penggugat, Subhan Palal, hadir langsung di ruang sidang untuk mengikuti agenda. Sementara itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai tergugat 1 tidak hadir secara langsung, melainkan diwakili oleh kuasa hukumnya, Dadang Herli Saputra.
Adapun Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi tergugat 2 juga tidak hadir secara langsung, melainkan diwakili oleh tim biro hukum internal. Dengan kondisi itu, majelis hakim menilai proses persidangan belum bisa berlanjut.
Hakim Budi menegaskan sidang berikutnya akan kembali digelar pada Senin, 22 September 2025, dengan agenda melengkapi legal standing dari pihak tergugat 1 dan tergugat 2. Hal itu dianggap penting untuk memastikan kelengkapan administrasi sebelum masuk ke tahap mediasi.
Gugatan perdata ini diajukan Subhan Palal, seorang warga sipil, yang menilai bahwa pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden sebelumnya tidak memenuhi sejumlah syarat. Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Gugatan Rp 125 Triliun
Dalam petitum gugatan, Subhan menuntut agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wakil Presiden tidak sah. Ia juga meminta agar Gibran dan KPU dihukum secara tanggung renteng untuk membayar kerugian materil dan immateril senilai Rp 125 triliun serta Rp 10 juta.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum gugatan tersebut.
Menurut Subhan, jumlah ganti rugi itu dihitung berdasarkan kerugian yang ditanggung negara akibat keputusan yang dinilainya cacat hukum. Ia menekankan bahwa gugatan ini diajukan demi tegaknya aturan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam persidangan sebelumnya, kuasa hukum penggugat telah menyerahkan berkas perkara lengkap beserta bukti pendukung. Namun, hingga kini pihak tergugat masih diminta untuk melengkapi dokumen yang diperlukan untuk proses hukum lebih lanjut.
KPU sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu ikut digugat karena dianggap lalai dalam proses verifikasi syarat calon. Subhan menilai bahwa hal ini menimbulkan preseden buruk terhadap penyelenggaraan pemilu yang seharusnya transparan dan akuntabel.
Proses Hukum Berlanjut
Kuasa hukum Gibran, Dadang Herli Saputra, dalam kesempatan sebelumnya menegaskan bahwa pihaknya akan menyiapkan kelengkapan dokumen yang diminta pengadilan. Ia berharap agenda sidang berikutnya bisa berjalan sesuai rencana.
Di sisi lain, biro hukum KPU juga menyatakan komitmennya untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Mereka berjanji akan segera melengkapi dokumen administrasi yang diperlukan sebelum sidang lanjutan.
Majelis hakim PN Jakarta Pusat menegaskan bahwa perkara ini akan tetap diproses sesuai ketentuan hukum. Meski begitu, hakim mengingatkan bahwa semua pihak harus memenuhi kewajiban administrasi agar tidak menghambat jalannya persidangan.
Sidang perkara perdata ini mendapat perhatian publik karena nilai ganti rugi yang dituntut mencapai Rp 125 triliun. Jumlah tersebut dianggap sangat besar dan belum pernah terjadi dalam kasus serupa.