Jakarta EKOIN.CO – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, membuat pernyataan mengejutkan dengan mengungkap adanya perputaran uang haram senilai Rp7.000 triliun di luar sistem keuangan nasional. Uang haram ini, menurutnya, bersumber dari praktik kejahatan terorganisir seperti judi online, narkoba, penyelundupan, hingga korupsi.
[Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v]
Uang Haram dan Dampak Ekonomi
Dalam dialog publik bertajuk “Siapapun yang Berkuasa, Riza Chalid Bendaharanya?” di SINDOnews, Said Didu merinci nilai fantastis tersebut. Ia menyebut judi online berkontribusi sekitar Rp2.000 triliun, korupsi juga Rp2.000 triliun, narkoba Rp1.000 triliun, serta penyelundupan Rp1.000 triliun. Akumulasi total mencapai Rp7.000 triliun.
“Kalau uang sebanyak itu bisa dimasukkan ke sistem formal, perputarannya bisa memberikan nilai tambah hingga 30 persen, atau sekitar Rp2.100 triliun,” jelasnya.
Ia menambahkan, pajak dari perputaran itu bisa menghasilkan setidaknya Rp1.400 triliun. Menurutnya, langkah tersebut akan memperkuat perekonomian Indonesia tanpa harus membebani rakyat.
Namun, ia menilai bahwa kondisi saat ini justru sebaliknya. Kebijakan pemerintah dinilai cenderung mengambil sebanyak mungkin dana dari masyarakat, sementara perputaran uang haram tidak tersentuh hukum.
Kritik Penegakan Hukum dan Kebijakan
Said Didu menegaskan bahwa kunci memasukkan uang haram ke sistem adalah penegakan hukum tegas dan tanpa tebang pilih. Ia menyoroti aparat yang lebih fokus menangkap orang yang merugikan bandar judi, bukan bandarnya itu sendiri.
Ia bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan tokoh politik dalam sirkulasi uang haram. Nama Ketua Projo, Budi Arie, disebut dalam kritiknya.
Lebih jauh, ia menilai pemerintah saat ini hanya fokus “menyedot” dana dari rakyat. “Pemerintah sekarang ini betul-betul kebijakannya tuh kebijakan menyedot uang dari rakyat sebanyak-banyaknya, baru dikasihkan permen,” kata Said Didu.
Menurutnya, kebijakan memajaki hampir semua sektor serta menarik proyek besar ke pusat membuat ekonomi rakyat kecil kering. Bantuan sosial yang diberikan kemudian dianggapnya hanya kompensasi semu.
Said Didu pun mendorong agar pemerintah berhenti menguras kantong masyarakat kecil dan fokus pada legalisasi serta pengawasan uang haram agar menjadi bagian dari sistem formal.
Profil singkatnya menunjukkan bahwa Said Didu bukan sosok baru di lingkaran birokrasi. Lulusan IPB ini pernah menjabat Sekretaris Kementerian BUMN, Staf Khusus Menteri ESDM, hingga anggota MPR. Setelah mengundurkan diri sebagai PNS pada 2019, ia semakin aktif mengkritik kebijakan pemerintah.
Dengan latar belakang panjang tersebut, pernyataan mengenai Rp7.000 triliun uang haram mendapat perhatian luas publik, terutama karena menyangkut stabilitas ekonomi dan masa depan penegakan hukum di Indonesia.
klaim Said Didu membuka wacana besar terkait reformasi ekonomi nasional. Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya mengejar pajak dari rakyat, tetapi juga menata sirkulasi dana gelap yang nilainya fantastis.
Jika langkah hukum tegas dilakukan, peluang peningkatan penerimaan negara dapat tercapai tanpa menekan ekonomi rakyat kecil. Namun, tanpa keberanian membongkar mafia besar, uang haram akan tetap beredar di luar sistem.
Kritik tersebut juga menjadi peringatan agar kebijakan fiskal lebih berpihak kepada masyarakat bawah. Pajak dan pungutan semestinya tidak memberatkan, melainkan menggerakkan ekonomi secara merata.
Masyarakat berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap fenomena ini. Transparansi, integritas, dan komitmen pada penegakan hukum menjadi kunci.
Pada akhirnya, pemberantasan uang haram bukan hanya soal angka, melainkan menyangkut keberlangsungan ekonomi rakyat dan legitimasi negara di mata publik. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v