Pati EKOIN.CO – Aksi protes masyarakat Pati memuncak setelah kebijakan pajak daerah yang sempat naik 250 persen menuai penolakan luas. Meski kenaikan pajak telah direvisi, desakan agar Bupati Sudewo mundur tetap menguat. Peristiwa ini menjadi sorotan nasional karena mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat dan dinamika demokrasi di Indonesia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pengamat politik Rocky Gerung menilai, gerakan masyarakat Pati bukan sekadar reaksi spontan, melainkan ekspresi publik atas kesulitan ekonomi. “Resonansinya terasa secara nasional. Tapi memang ada faktor objektif yaitu kesulitan ekonomi. Jadi kalau kita pelajari sedikit tentang revolusi sosial selalu dimulai dengan faktor picu, apa itu, tentu saja dengan pajak yang naik tanpa riset,” kata Rocky dalam kanal YouTubenya, Kamis (14/8/2025).
Menurut Rocky, bukan hanya Bupati Sudewo yang kurang peka, tetapi juga tidak memahami langkah strategis menghadapi krisis ekonomi. Kondisi ini menjadikan perlawanan rakyat tak dapat diabaikan, apalagi ketika pejabat menunjukkan arogansi. “Apalagi kalau ada arogansi dari pejabat yang seolah-olah merasa hebat lalu menantang rakyat, ‘silakan turunin 50 ribu’,” ujarnya.
Demo Pati: Pesan Ekonomi Nasional
Demonstrasi masyarakat di depan kantor Pemkab Pati, Rabu (13/8/2025), menuntut pengunduran diri Sudewo. Meskipun Bupati menegaskan jabatannya hasil pilihan rakyat, DPRD Pati telah menyepakati pembentukan pansus untuk hak angket pemakzulan. Rocky menekankan bahwa kemarahan rakyat adalah pesan penting dalam demokrasi.
“Jadi tidak ada alasan Bupati mengatakan bahwa saya dipilih oleh masih di atas 50 persen. Tetapi begitu ada kebijakan yang oleh rakyat dianggap merugikan, memberatkan atau memiskinkan, maka kemarahan itu adalah jalan keluar. Jadi kemarahan rakyat itu harus dianggap sebagai pesan langit bahwa kesemestaan yang diberikan melalui harapan itu akan ditagih dari hari ke hari,” tutur filsuf itu.
Lebih lanjut, Rocky menyoroti bahwa klaim bupati soal kenaikan pajak untuk memajukan ekonomi justru berlawanan dengan realitas di lapangan. Rakyat mengalami tekanan ekonomi akibat kebijakan tersebut, bukan mendapatkan manfaat.
Kritik Publik dan Dampak Kebijakan Pajak
Menurut Rocky, bupati harus menjelaskan kebijakan publik yang berbeda pandangan dengan rakyat. “Justru itu yang harusnya dicegah karena rakyat mengalami kesesatan ekonomi. Itu yang harus diterangkan kepada publik bahwa hak rakyat untuk berbeda pandangan, kendati itu dipilih oleh rakyat itu disebabkan oleh kebijakan rakyat yang tidak sesuai dengan apa yang rakyat inginkan ketika memilih,” jelasnya.
Dia menambahkan, rakyat berharap pemimpin yang mereka pilih mampu menemukan solusi bagi kesulitan ekonomi mereka. Namun, kebijakan yang membebani masyarakat justru menimbulkan protes. “Yang terjadi justru bupati membebani kebutuhan pemerintah dengan menaikkan pajak,” pungkas Rocky.
Peningkatan pajak yang terlalu tinggi dan kurangnya komunikasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat menjadi faktor utama ketegangan. Demonstrasi ini menjadi cermin bahwa demokrasi harus dijalankan dengan menghormati aspirasi rakyat, terutama terkait kebijakan ekonomi.
Situasi Pati kini menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah lain untuk lebih hati-hati dalam merancang kebijakan fiskal. Respons publik yang tegas menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya mengawasi, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban pejabatnya.
Meskipun ketegangan politik meningkat, proses demokrasi berjalan dengan mekanisme yang tersedia, termasuk pembentukan pansus DPRD. Hal ini menegaskan pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
Ekspresi publik di Pati menegaskan bahwa pemahaman ekonomi dan komunikasi yang transparan antara pemimpin dan masyarakat adalah kunci menghindari konflik serupa di daerah lain. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
.