BATAM, EKOIN.CO – Rencana pemerintah Indonesia memindahkan 2.000 warga Gaza yang menjadi korban perang untuk dirawat di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), menuai gelombang kritik dari berbagai pihak. Kebijakan ini dianggap berpotensi dimanfaatkan untuk memuluskan rencana pengambilalihan wilayah Gaza oleh Israel dan Amerika Serikat (AS).
(Baca Juga: Rencana Rawat Korban Gaza)
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyatakan kekhawatirannya terkait potensi keterlibatan Indonesia dalam rencana tersebut. Ia mengungkapkan bahwa adanya pertemuan antara badan intelijen Israel, Mossad, dan utusan khusus AS menjadi sinyal kuat bahwa rencana ini bukan sekadar kemanusiaan.
Menurutnya, petinggi Mossad David Barnea dilaporkan berdiskusi dengan utusan khusus AS Steve Witkoff. Pembicaraan itu membahas pemberian insentif kepada Indonesia dan beberapa negara lain yang bersedia membantu proses relokasi warga Gaza.
(Baca Juga: Pertemuan Mossad-AS Soal Gaza)
Hikmahanto menilai langkah tersebut sangat berisiko. “Saya beranggapan bahwa tindakan ini sangatlah tidak tepat. Jangan sampai Indonesia nanti dikatakan oleh Israel tidak bisa membedakan antara naif dengan bodoh,” ujarnya dalam program Sapa Indonesia Pagi di YouTube Kompas TV, Selasa (12/8/2025).
Ia menegaskan, jika Indonesia menerima insentif yang ditawarkan, maka otomatis akan dikaitkan dengan rencana Israel mengosongkan Gaza. Hal ini, kata dia, jelas bertentangan dengan hukum humaniter internasional dan cita-cita rakyat Palestina untuk merdeka.
“Jadi kalau misalnya pemerintah Indonesia menerima, pasti dikaitkan dengan masalah ini. Dan ini bertentangan dengan hukum humaniter internasional serta apa yang diperjuangkan rakyat Palestina yaitu masalah tanah,” tegasnya.
(Baca Juga: Hukum Humaniter Gaza)
Hikmahanto juga mempertanyakan jaminan nasib warga Gaza yang dibawa ke Pulau Galang. Menurutnya, harus ada kepastian bahwa mereka akan bisa kembali ke tanah airnya, bukan menjadi pengungsi permanen.
“Ini yang harus menjadi pertanyaan. Jangan sekali-kali kita itu naif,” tambahnya.
Kritik Muhammadiyah atas Kebijakan Gaza
Kritik juga datang dari Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas. Ia menilai langkah pemerintah merawat warga Gaza justru akan menguntungkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump.
(Baca Juga: Kritik Muhammadiyah Soal Gaza)
Anwar mengingatkan bahwa Trump pernah menyatakan AS akan mengambil alih Gaza setelah warganya direlokasi. Menurutnya, rencana Indonesia dapat secara tidak langsung mendukung strategi tersebut.
Ia menilai, jika warga Gaza dipindahkan dan tak kembali lagi, maka Israel dan AS akan lebih mudah menguasai wilayah itu. “Upaya ini bisa dianggap memuluskan rencana Netanyahu dan Trump untuk mencaplok Gaza,” ujarnya.
Anwar meminta pemerintah Indonesia berhati-hati dan memastikan setiap kebijakan tidak dimanfaatkan pihak lain. Baginya, posisi Indonesia harus tetap berpihak pada kemerdekaan Palestina.
(Baca Juga: Sikap Indonesia Soal Palestina)
Risiko Diplomasi dan Reputasi Internasional
Selain aspek hukum, rencana ini juga dinilai dapat mempengaruhi reputasi diplomasi Indonesia di mata dunia. Menurut pengamat hubungan internasional, dukungan atau partisipasi dalam relokasi warga Gaza tanpa kejelasan tujuan bisa merusak posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini vokal mendukung Palestina.
Pengamat menilai, negara-negara yang menerima insentif seperti yang ditawarkan Mossad dan AS akan dilihat sebagai pihak yang menyetujui pengosongan Gaza. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab dan dunia Islam.
Kritikus kebijakan luar negeri juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah mendapat apresiasi karena sikap tegas terhadap Israel. Jika sekarang justru membantu proses yang berpotensi mendukung rencana penguasaan wilayah Gaza, maka reputasi itu bisa hancur.
(Baca Juga: Reputasi Indonesia Diplomasi Gaza)
Para pengamat mendorong pemerintah untuk membuka dialog publik terkait kebijakan ini, agar masyarakat dapat memahami dan mengawasi prosesnya. Tanpa transparansi, rumor dan kecurigaan akan terus berkembang.
Kekhawatiran juga muncul dari kelompok pro-Palestina di Indonesia yang khawatir warga Gaza akan sulit kembali jika sudah keluar dari wilayahnya. Mereka menuntut adanya jaminan resmi bahwa proses perawatan di Pulau Galang bersifat sementara.
Rencana pemindahan ini masih dalam tahap perencanaan, namun pernyataan-pernyataan resmi dari pemerintah belum menjawab kekhawatiran publik.
Rencana Indonesia memindahkan dan merawat warga Gaza di Pulau Galang memicu perdebatan nasional. Kritik datang dari akademisi dan tokoh ormas besar, yang menilai kebijakan ini rawan dimanfaatkan untuk tujuan politik Israel-AS.
Secara hukum, langkah ini dinilai berpotensi melanggar hukum humaniter internasional, terutama jika disertai penerimaan insentif dari pihak asing.
Dari segi diplomasi, reputasi Indonesia sebagai pendukung Palestina juga dipertaruhkan. Kebijakan yang salah langkah dapat mengubah persepsi dunia terhadap sikap politik luar negeri Indonesia.
Ketiadaan jaminan bagi warga Gaza untuk kembali ke tanahnya menjadi salah satu sumber kekhawatiran terbesar publik.
Diperlukan transparansi dan penjelasan resmi agar kebijakan ini tidak menimbulkan polemik berkepanjangan di dalam negeri maupun di tingkat internasional. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v