Jakarta, EKOIN.CO – Pemerintah Indonesia menargetkan investasi nasional sebesar Rp7.500 triliun pada tahun 2026 guna menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5,9 persen. Namun di tengah tantangan global dan pelebaran defisit, muncul kekhawatiran terhadap kesiapan sistem perpajakan nasional dalam menopang ambisi tersebut.
Diungkapkan oleh Rijadh Djatu Winardi, dosen dan pakar perpajakan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, sistem perpajakan Indonesia dinilai belum cukup kokoh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan terhadap sektor dan jenis pajak tertentu menimbulkan kerentanan struktural.
“Ketergantungan ini menciptakan kerentanan struktural dalam APBN ketika salah satu sektor terdampak krisis,” ujar Rijadh, Selasa (8/7), di Kampus UGM. Ia menambahkan, penerimaan negara yang bertumpu pada sektor seperti industri hasil tembakau dan PPh Badan membuat APBN sulit beradaptasi secara fleksibel.
Tax ratio Indonesia juga menjadi sorotan. Dari 10,31% PDB pada 2023, angka tersebut turun menjadi 10,07% di tahun 2024, tertinggal dari rata-rata ASEAN dan jauh di bawah negara-negara OECD. Dalam dua dekade terakhir, tax ratio stagnan di kisaran 9–12%.
Rijadh menilai, rendahnya tax ratio berdampak langsung terhadap terbatasnya ruang fiskal. Hal ini membatasi belanja pemerintah untuk infrastruktur dan layanan publik yang seharusnya menjadi pendorong utama investasi jangka panjang.
Tantangan Basis dan Kepatuhan Pajak
Kontribusi Pajak Penghasilan Orang Pribadi dari kelompok berpenghasilan tinggi dinilai masih sangat rendah. Di negara lain, PPh Orang Pribadi menjadi tulang punggung penerimaan, namun di Indonesia masih terkendala kepatuhan dan sempitnya basis.
“Masalah kita bukan pada tingginya tarif, tapi lemahnya basis. Ini yang harus segera dibenahi,” tambahnya. Ia mendorong adanya reformasi PPh untuk meningkatkan kepatuhan tanpa menciptakan distorsi.
Perluasan basis pajak dianggap sebagai prioritas mendesak. Menurut Rijadh, digitalisasi perpajakan tidak akan efektif jika jumlah wajib pajak yang patuh masih minim. Pendekatan insentif dan penyederhanaan administrasi harus menyasar pelaku ekonomi informal dan UMKM.
“Bila dilakukan dengan tepat, pendekatan ini bisa memperluas basis secara signifikan tanpa menimbulkan resistensi,” jelasnya. Sistem yang canggih tanpa wajib pajak yang cukup hanya akan menjadi catatan statistik semata.
Sektor informal dan UMKM dinilai memiliki potensi besar untuk memperkuat basis pajak. Namun dua tantangan utama yang dihadapi adalah rendahnya kesadaran kepatuhan dan kebijakan yang belum mendukung penuh integrasi sektor tersebut ke dalam sistem perpajakan.
Optimalisasi Pajak Sektor Digital dan Insentif Fiskal
Sektor digital dan e-commerce yang terus tumbuh juga belum memberi kontribusi maksimal. Integrasi data transaksi dan kolaborasi antarlembaga menjadi kunci untuk meningkatkan pengawasan dan kepatuhan di sektor ini.
“DJP akan jauh lebih efektif jika punya akses penuh ke data e-commerce untuk mendukung pemungutan PPh sektor digital,” ungkap Rijadh. Ia menegaskan perlunya kerja sama antara DJP, platform digital, dan lembaga keuangan.
Rijadh juga mengingatkan bahwa insentif fiskal tetap penting untuk mendorong investasi, namun penggunaannya harus terukur. Pemerintah perlu menilai efektivitas insentif secara berkala agar tidak menjadi beban jangka panjang terhadap penerimaan negara.
“Insentif harus jadi katalis pertumbuhan, bukan sekadar pengurang basis pajak,” tegasnya. Evaluasi menyeluruh terhadap penerima insentif harus dilakukan secara berkala dengan menggunakan parameter yang obyektif.
Di sisi lain, reformasi perpajakan jangka panjang juga harus diarahkan pada keadilan dan keberlanjutan. Menurut Rijadh, penyederhanaan regulasi, pemanfaatan teknologi pengawasan seperti AI, serta kebijakan fiskal pro-lingkungan menjadi keharusan.
Tantangan fiskal Indonesia bukan hanya terletak pada besarnya target investasi, tetapi pada sejauh mana sistem perpajakan mampu menopang ambisi tersebut secara struktural dan berkelanjutan. Reformasi yang menyentuh seluruh lapisan—dari regulasi, kepatuhan, hingga ekosistem digital—harus dilakukan secara menyeluruh.
Pemerintah perlu menyeimbangkan antara kebutuhan akan penerimaan dan insentif yang diberikan. Basis pajak yang kuat akan membuka ruang fiskal lebih besar untuk pembangunan, tanpa terlalu bergantung pada pinjaman atau sumber eksternal.
Dengan sistem perpajakan yang adaptif, inklusif, dan terintegrasi, ambisi investasi nasional bukanlah mimpi. Kolaborasi lintas sektor, teknologi, dan pendekatan kebijakan berbasis data akan menjadi pilar utama menuju kemandirian fiskal Indonesia.(*)