Jakarta, ekoin.co – Pro dan kontra nama Presiden ke-2 Soeharto yang diusulkan menerima gelar pahlawan nasional. Sebagian kalangan menolak Soeharto diberikan gelar pahlawan karena berbagai masalah seperti KKN dan pelanggar HAM di masa lalu. Namun ada juga pihak yang mendukung wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Pengamat Politik Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti mempertanyakan pernyataan politisi Solidaritas Indonesia (PSI) yang menyebut bahwa elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) belum berdamai dengan sejarah kelam Soeharto memimpin negara selama puluhan tahun.
Menurut Ray, Soeharto tidak layak diberikan gelar sebagai pahlawan nasional karena selama menjabat sebagai Presiden RI, telah terjadi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berdasarkan keputusan TAP MPR, dan juga disebut sebagai pelanggar HAM saat reformasi 1998.
“Apa ya yang dimaksud berdamai dengan sejarah itu? Apakah maksudnya menjadikan seorang yang pernah disebut di dalam TAP MPR sebagai orang yang harus diselidiki dugaan KKN-nya selama menjabat sebagai pahlawan? Menjadikan seseorang yang di eranya sedang berkuasa, begitu banyak terjadi pelanggaran HAM sebagai pahlawan?,” ujar Ray dalam keterangannya kepada wartawan dengan mempertanyakan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto, Senin (3/11).
Saat Soeharto menjabat presiden, terjadi otoritarianisme selama puluhan tahun, dan tidak adanya sistem demokrasi. Dengan demikian, banyak pihak yang tidak ingin berdamai dengan sejarah kelam di masa orde baru.
“Di masanya, demokrasi diberangus? Apakah hal ini yang disebut berdamai dengan sejarah?,” ujarnya.
” Jika begitu adanya, tentulah akan banyak orang yang tidak ingin berdamai dengan sejarah,” sambungnya.
Lebih lanjut dikatakan dia, berdamai dengan sejarah tidak serta merta memaafkan pejabat yang disebut melakukan pelanggaran HAM, dan juga menyuburkan praktek KKN selama Soeharto menjabat Presiden RI ke-2.
“Pertanyaannya, apakah berdamai dengan sejarah itu harus memaafkan berbagai mantan pejabat yang disebut melakukan pelanggaran HAM, menyuburkan praktek KKN dan menghancurkan demokrasi bahkan, akan mengangkatnya menjadi pahlawan?,” tuturnya.
Meski demikian, jika Presiden Soeharto nantinya diberikan gelar pahlawan nasional, maka pemerintah menilai bahwa kepemimpinan Soeharto dapat menjadi contoh yang baik dan menjadi tauladan bagi kehidupan pejabat dan elite yang saat ini mendukung dan mengusulkan Presiden RI ke-2 layak sebagai pahlawan nasional.
“Jika iya begitu, biarlah mereka melakukannya. Karena mungkin, mereka ingin menjadikan seseorang yang seperti disebut di atas sebagai tauladan bagi kehidupan mereka,” ujarnya.
Padahal, lanjut Ray, Presiden Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional karena berbagai permasalahan dan kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat memimpin negara ini.
“Seseorang yang pernah disebut menyuburkan KKN, di eranya terjadi pelanggaran HAM yang massif dan demokrasi yang diberangus,” tegasnya.
” Mungkin, bagi mereka, pejabat yang seperti inilah yang layak untuk diteladani,” tambah Ray.
Diketahui, elite PDIP ingin mengingatkan bahwa jangan sesekali meninggalkan sejarah alias Jas Merah. Ini bukan soal berdamai tapi jangan melupakan. Tidak hanya Bung Karno yang mengingatkan soal demikian, Gus Dur pun bilang “Forgive your enemies, but don’t forget their mistakes.”
Jadi, semboyan Jas Merah ini penting sebagai pengingat yang dulu pernah di fase otoriterisme, dan pada 1998 memasuki demokratisasi. Dan itu perjuangan dengan pengorbanan darah serta air mata.
Jadi PSI harus tahu itu, hanya karena Reformasi Jokowi bisa mencapai posisi jadi presiden. Kok sekarang mau melupakan sejarah kelam dan menganggap pengorbanan rakyat sebagai hal biasa untuk kediktatoran Soeharto ketika itu. (*)


























