- Pangkalpinang EKOIN.CO – Produsen asbes yang tergabung dalam Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) memberikan tanggapan resmi terhadap pemberitaan yang mengaitkan atap asbes dengan risiko kesehatan serius. Mereka menyampaikan hak jawab melalui kuasa hukumnya, Victory Law Firm, atas artikel Kompas.com berjudul Waspadai 4 Penyakit Akibat Atap Asbes, Salah Satunya Kanker Paru.
lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pemberitaan tersebut memuat informasi tentang kebijakan Pemerintah Kota Pangkalpinang yang akan melarang penggunaan asbes sebagai material atap rumah. Kebijakan ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kota Pangkalpinang, Mie Go, pada Sabtu, 19 Juli 2025, dalam pernyataannya tentang rencana pengembangan perumahan yang tidak lagi menggunakan asbes.
Menurut Mie Go, penggunaan asbes akan dievaluasi secara bertahap karena material ini berpotensi menimbulkan risiko kesehatan, terutama jika partikel mikroskopisnya terhirup. Ia menambahkan bahwa asbes tergolong limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan memerlukan proses pembuangan khusus yang menimbulkan biaya tambahan.
Kompas.com juga mengutip informasi dari situs Health and Safety Executive (HSE), badan publik di Inggris, mengenai empat penyakit akibat paparan asbes, yaitu mesotelioma, kanker paru-paru, asbestosis, dan penebalan pleura. Informasi ini mendukung keputusan Pemkot Pangkalpinang untuk mengurangi penggunaan material tersebut.
Pernyataan Praktisi Properti dan Pengembang
Bambang Eka Jaya, Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), menyampaikan bahwa para pengembang perumahan, termasuk yang membangun rumah subsidi, telah meninggalkan penggunaan atap berbahan asbes. Salah satu alasannya adalah faktor keselamatan penghuni rumah yang menjadi prioritas.
Ia menjelaskan, asbes terdiri dari serat mineral silikat yang kecil dan tajam. Serat ini dapat terlepas dari lembaran atap dan berpotensi terhirup oleh penghuni rumah, sehingga menimbulkan gangguan pernapasan serius hingga kematian. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa aspek kesehatan menjadi pertimbangan utama pengembang dalam memilih material bangunan.
Bambang juga menyoroti bahwa material alternatif yang lebih aman kini tersedia di pasaran. Dengan demikian, penggunaan asbes semakin jarang ditemukan pada proyek-proyek perumahan baru di Indonesia.
Hak Jawab FICMA atas Pemberitaan
Menanggapi pemberitaan tersebut, FICMA melalui Victory Law Firm menyampaikan bahwa jenis-jenis asbes perlu dibedakan secara jelas agar tidak terjadi generalisasi. Dalam keterangan tertulisnya, FICMA menjelaskan bahwa asbes terbagi menjadi dua kelompok utama secara ilmiah, yaitu amphibole dan serpentine.
Jenis amphibole, seperti crocidolite dan amosite, telah terbukti berbahaya bagi kesehatan. Namun, jenis serpentine, khususnya chrysotile atau asbes putih, tidak dikategorikan sebagai bahan berbahaya berdasarkan beberapa konvensi internasional.
FICMA mengacu pada Rotterdam Convention yang menyatakan chrysotile tidak termasuk dalam daftar bahan berbahaya. Selain itu, Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 juga tidak memasukkan chrysotile dalam kategori bahan kimia berbahaya dalam perdagangan internasional.
FICMA menegaskan bahwa kajian medis menunjukkan chrysotile memiliki karakteristik yang lebih rapuh, mudah terurai, dan dapat dikeluarkan dari paru-paru, sehingga risiko kesehatannya lebih rendah dibandingkan jenis amphibole. Dengan dasar itu, mereka menyatakan produk berbasis chrysotile masih aman digunakan.
Industri anggota FICMA, menurut mereka, telah menerapkan standar keselamatan kerja yang ketat, termasuk pengendalian debu, ventilasi industri, serta penggunaan alat pelindung diri (APD) oleh pekerja. Mereka menekankan bahwa produk akhir berbasis chrysotile, seperti atap gelombang, kampas rem, dan gasket, tidak melepaskan serat berbahaya.
Berdasarkan data FICMA tahun 2023, industri berbasis chrysotile di Indonesia menyerap sekitar 37.100 tenaga kerja. Oleh karena itu, mereka memperingatkan bahwa pelarangan atau stigma negatif terhadap produk tersebut, tanpa dasar ilmiah yang kuat, berpotensi merugikan ekonomi nasional hingga Rp 7,9 triliun per tahun.
Sebagai kesimpulan, FICMA meminta agar informasi yang disampaikan media harus mempertimbangkan perbedaan jenis asbes agar tidak terjadi kesalahpahaman publik. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan pelarangan berdasarkan data dan bukti ilmiah.
FICMA juga mengimbau agar pengambilan kebijakan tidak hanya memperhatikan aspek kesehatan, tetapi juga dampak ekonomi, terutama terhadap lapangan kerja yang tercipta dari industri berbasis chrysotile. Mereka berkomitmen untuk terus meningkatkan standar keamanan kerja di sektor ini.
Keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri menjadi tantangan penting dalam penyusunan regulasi. Pemerintah diharapkan mampu memediasi kedua kepentingan ini secara adil dan transparan.
polemik mengenai penggunaan asbes masih memerlukan kajian mendalam dari sisi medis, lingkungan, dan ekonomi. Kejelasan informasi mengenai jenis asbes juga krusial agar masyarakat tidak salah memahami potensi bahayanya.
ke depan, pemerintah dapat menyelenggarakan diskusi publik bersama ahli medis, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat untuk menentukan kebijakan terbaik. Pendekatan ini diharapkan mampu menghasilkan keputusan yang komprehensif dan tidak merugikan pihak manapun.
Penting pula dilakukan edukasi publik tentang jenis-jenis material bangunan beserta risikonya, agar masyarakat dapat memilih dengan bijak. Langkah ini akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi publik dalam menciptakan lingkungan hunian yang sehat dan aman.
Sektor industri juga diharapkan terus berinovasi dengan mengembangkan bahan bangunan yang lebih aman dan ramah lingkungan sebagai alternatif. Kolaborasi lintas sektor dapat mempercepat transisi menuju penggunaan material yang lebih sehat.
Dengan upaya bersama, risiko kesehatan dari penggunaan material berbahaya dapat diminimalisir, tanpa mengorbankan keberlangsungan ekonomi nasional dan kesejahteraan tenaga kerja di sektor terkait. (*)