Jakarta EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi memberlakukan tarif ekspor sebesar 19 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar Amerika. Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Trump melalui unggahan di media sosial pribadinya pada Kamis, 16 Juli 2025. Kebijakan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Presiden Trump dan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Tarif ini merupakan penurunan dari rencana awal yang diumumkan Trump pada April 2025 sebesar 32 persen. Dalam surat resmi tertanggal 7 Juli 2025 dari Gedung Putih yang ditujukan kepada Presiden Prabowo, Trump menegaskan bahwa tarif 19 persen akan segera diberlakukan untuk seluruh komoditas ekspor Indonesia.
Melalui pernyataan tertulis, Trump mengatakan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi industri dalam negeri Amerika. “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” tulis Trump dalam pernyataan resminya.
Pengumuman ini langsung memicu berbagai reaksi dari publik dalam negeri. Salah satunya datang dari tokoh masyarakat Yusuf Dumdum, yang menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan tersebut dan merespons pedas kepada pihak-pihak yang mendukung langkah Trump.
Dalam unggahannya di platform X, Yusuf menuliskan, “Pernyataan DONAL BEBEK itu bukan cuma menginjak-nginjak Indonesia yang selama ini sering digembor-gemborkan sebagai negara besar.” Ia menyayangkan masih adanya pihak yang memuji kebijakan tersebut meski merugikan Indonesia.
Reaksi Keras dari Yusuf Dumdum
Menurut Yusuf Dumdum, pernyataan Trump telah merendahkan martabat bangsa Indonesia. Ia menilai bahwa Indonesia tidak dipandang penting oleh Amerika, meskipun sering digambarkan sebagai negara besar di kawasan.
“Dia juga sudah meludahi Indonesia dengan statemen busuknya. Kita direndahkan serendah-rendahnya, tapi kok masih saja ada yang memuji. Dasar penjilat tolol!” tulis Yusuf dengan nada geram pada Kamis, 17 Juli 2025.
Yusuf juga mengungkapkan bahwa sejak awal ia telah memperingatkan bahwa Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat di mata Amerika Serikat. Menurutnya, citra negara besar Indonesia hanya retorika kosong tanpa realitas yang mendukung.
Ia menyebut bahwa ukuran kemajuan sebuah bangsa seharusnya tidak hanya dilihat dari jumlah penduduk atau luas wilayah semata, namun dari kualitas sumber daya manusia, teknologi, serta kemandirian pangan dan energi.
Kritik terhadap Struktur Sosial dan Hukum Indonesia
Dalam serangkaian pernyataannya, Yusuf Dumdum juga menyoroti kondisi dalam negeri yang menurutnya tidak mencerminkan negara besar. Ia menilai kemiskinan dan kualitas SDM yang rendah menjadi persoalan mendasar yang belum teratasi.
“Kalau penduduknya besar, tapi kemiskinan dan SDM yang rendah juga besar, justru itu yang jadi masalah. Artinya kita mendekati jadi negara gagal,” tulis Yusuf. Ia juga mengkritik menjamurnya praktik korupsi di berbagai lini pemerintahan.
Yusuf juga menilai bahwa sistem hukum di Indonesia kerap menjadi alat permainan para penguasa. Ia mencontohkan bahwa pelaku kejahatan besar seringkali mendapat hukuman ringan, sementara pelanggaran kecil bisa dijatuhi hukuman yang berat.
“Hukum juga seringkali dipermainkan. Maling kakap hukumannya ringan, sedangkan maling ayam dan kayu bakar bisa dihukum sampai tahunan,” katanya, mengungkapkan ketimpangan dalam sistem keadilan.
Ia mengakhiri pernyataannya dengan menyerukan kepada para pejabat agar tidak menggadaikan kehormatan bangsa demi kepentingan pribadi. “Tolong wahai para pejabat yang terhormat, jangan gadaikan kehormatan dan harkat martabat bangsa ini. Kecuali kalau memang kalian adalah pelacur!” pungkas Yusuf.
Sementara itu, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia terkait respons terhadap kebijakan tarif baru dari AS tersebut. Namun publik menantikan sikap tegas dari Presiden Prabowo terkait kebijakan yang dianggap merugikan pelaku usaha nasional itu.
Di sisi lain, sejumlah pengamat memperkirakan bahwa tarif ini akan berdampak langsung terhadap kinerja ekspor nasional, terutama bagi sektor manufaktur dan industri padat karya yang banyak menggantungkan diri pada pasar Amerika.
Penerapan tarif tersebut dapat memicu pergeseran arus dagang dan mendorong pelaku ekspor Indonesia untuk mencari pasar alternatif di luar Amerika Serikat. Pemerintah juga diharapkan segera menyesuaikan kebijakan fiskal dan insentif untuk memitigasi dampak negatif ini.
Kondisi ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM yang selama ini mencoba menembus pasar ekspor ke AS. Beban tambahan dari tarif ini dikhawatirkan akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global.
Pengusaha menuntut adanya klarifikasi dan strategi dari Kementerian Perdagangan serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menghadapi kebijakan proteksionis AS yang semakin agresif.
Langkah diplomatik juga didesak agar ditempuh melalui forum bilateral atau multilateral untuk menekan Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Indonesia masih memiliki waktu untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme yang tersedia di WTO.
Dari sisi politik, hubungan bilateral Indonesia-AS diperkirakan akan memasuki babak baru dengan tantangan yang lebih kompleks. Konsistensi diplomasi luar negeri Indonesia dalam menghadapi tekanan ekonomi internasional menjadi ujian bagi pemerintahan Prabowo.
dari polemik ini menunjukkan bahwa posisi tawar Indonesia dalam hubungan perdagangan internasional masih perlu diperkuat. Ketergantungan terhadap pasar tertentu seperti AS menempatkan Indonesia dalam posisi yang rentan saat kebijakan unilateral diberlakukan.
Salah satu pelajaran penting dari insiden ini adalah perlunya diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan kualitas produk dalam negeri agar tidak mudah terdampak kebijakan luar. Kemandirian ekonomi nasional harus menjadi prioritas utama dalam menyusun strategi jangka panjang.
Selain itu, perbaikan tata kelola hukum, penguatan SDM, serta pengentasan kemiskinan merupakan bagian integral dari upaya membangun bangsa yang benar-benar berdaulat dan dihormati di mata dunia.
Pemerintah perlu bersikap transparan kepada rakyat mengenai isi kesepakatan perdagangan dengan negara-negara besar agar tidak menimbulkan spekulasi yang merugikan. Kepercayaan publik terhadap pemerintah hanya dapat dijaga melalui keterbukaan dan keberpihakan kepada rakyat.
Presiden dan kabinet perlu meninjau ulang seluruh perjanjian perdagangan luar negeri untuk memastikan bahwa tidak ada ketimpangan yang dapat merugikan kepentingan nasional. Kekuatan negosiasi harus ditopang oleh data yang kuat dan visi pembangunan yang berorientasi pada kemandirian.
Langkah strategis juga harus diambil untuk membina hubungan dagang dengan negara-negara non-tradisional yang memiliki potensi besar dan tidak memberlakukan hambatan tarif berlebihan.
Masyarakat sipil perlu lebih aktif mengawasi arah kebijakan ekonomi dan luar negeri, serta mendorong terciptanya sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan setara.
Pemerintah perlu segera merespons kritik masyarakat dengan bijak dan terbuka agar isu ini tidak menjadi preseden buruk bagi hubungan Indonesia dengan mitra dagang lainnya di masa depan.
Perlu juga dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja para diplomat ekonomi di luar negeri untuk memastikan mereka menjalankan peran sesuai dengan misi diplomasi perdagangan nasional.
( * )