Jakarta, EKOIN.CO – Sidang lanjutan pengujian formil terhadap Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) Tahun 2025 kembali digelar di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, pada Senin, 23 Juni 2025. Sidang dimulai pukul 10.00 WIB dengan agenda utama mendengarkan keterangan dari Presiden Republik Indonesia dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Sidang ini merupakan kelanjutan dari proses uji formil yang diajukan terhadap revisi UU TNI karena dianggap menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam sistem demokrasi dan perundang-undangan. Beberapa kelompok masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran bahwa proses revisi UU TNI tersebut tidak memenuhi unsur partisipasi publik sebagaimana diwajibkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah menegaskan pentingnya keterlibatan rakyat dalam proses pembentukan undang-undang, yang mencakup hak untuk didengar, diberi penjelasan, dan dipertimbangkan pendapatnya. Namun, dalam revisi UU TNI 2025, publik menyatakan tidak adanya draf terbuka, ruang dengar pendapat, maupun penjelasan resmi kepada masyarakat.
Menurut para pemohon uji formil, proses legislasi ini bertentangan langsung dengan asas kedaulatan rakyat yang menjadi landasan utama dalam demokrasi konstitusional Indonesia. Mereka menilai bahwa revisi ini disusun dan disahkan tanpa kontrol publik yang memadai.
Salah satu poin keberatan yang diajukan dalam permohonan uji formil adalah tidak adanya keterlibatan bermakna dari rakyat atau organisasi sipil dalam proses penyusunan dan pembahasan revisi UU tersebut. Para pemohon menyebutkan bahwa hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil turut hadir di lokasi Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk solidaritas atas uji formil ini. Mereka membawa spanduk dan poster dengan slogan penolakan terhadap revisi UU TNI. Peserta aksi damai ini juga menyerukan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam setiap proses legislasi.
Menurut keterangan salah satu perwakilan masyarakat sipil yang hadir dalam sidang, proses revisi UU TNI ini tidak mencerminkan sistem hukum demokratis, melainkan justru menunjukkan gejala autocratic legalism, yaitu bentuk penggunaan hukum secara simbolik dan manipulatif tanpa kontrol dari rakyat.
“Ini bukan demokrasi. Ini legalisme otokratis. Hukum dijadikan alat kekuasaan yang dilepaskan dari kendali rakyat,” ujar salah seorang penggugat yang mengikuti jalannya sidang di gedung MK, seperti dikutip dari siaran pers gabungan sejumlah organisasi.
Pengujian formil ini menjadi penting karena menilai proses pembentukan undang-undang dari segi tata cara dan prosedur, bukan substansi isinya. Jika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa proses formilnya cacat, maka seluruh undang-undang tersebut dapat dibatalkan.
Beberapa pakar hukum tata negara yang turut mengamati jalannya sidang menyampaikan bahwa keterlibatan Presiden dan DPR dalam memberikan keterangan akan sangat menentukan dalam penilaian Mahkamah terhadap legalitas formil revisi UU TNI ini.
Sidang uji formil ini juga menjadi salah satu tolok ukur sejauh mana sistem legislasi nasional menghargai prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan strategis, terutama yang menyangkut pertahanan dan keamanan nasional.
Salah satu poin krusial dalam revisi UU TNI yang dipersoalkan adalah ketentuan yang memperluas peran militer di luar pertahanan negara, termasuk dalam bidang-bidang sipil tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga-lembaga sipil.
Menurut penggugat, hal ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dan melanggar prinsip reformasi TNI yang telah ditegakkan sejak era pasca-reformasi 1998.
Dalam keterangannya kepada media, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk bertindak tegas dan independen dalam mengadili perkara ini, mengingat dampaknya yang luas terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan sipil-militer di Indonesia.
Selain itu, mereka juga meminta agar seluruh proses pengambilan keputusan di DPR terkait undang-undang strategis seperti UU TNI dilakukan dengan membuka ruang partisipasi rakyat secara luas, termasuk diskusi publik dan konsultasi terbuka.
Para pemohon menyebut bahwa dalam proses revisi UU TNI 2025, tidak ada satu pun bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh DPR atau pemerintah, baik berupa draf resmi, konsultasi publik, maupun pengumuman agenda pembahasan.
“Ini bukan proses legislasi yang sehat. Semua dilakukan tertutup dan tergesa-gesa. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk terlibat, padahal mereka yang akan terdampak langsung,” ujar salah satu pemohon lainnya.
Mereka juga menyinggung soal pentingnya menegakkan keputusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya sebagai preseden hukum yang harus dihormati oleh semua lembaga negara, termasuk Presiden dan DPR.
Penggugat menyebut bahwa revisi ini bertentangan langsung dengan semangat reformasi yang selama ini dijaga, yakni menjadikan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang tunduk kepada otoritas sipil.
Sidang lanjutan ini dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan aktivis yang peduli terhadap isu reformasi militer dan penguatan demokrasi konstitusional di Indonesia.
Sebagian dari mereka juga menggelar konferensi pers usai sidang untuk menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap potensi kemunduran demokrasi jika revisi ini dibiarkan terus berlanjut tanpa pengawasan publik.
Sidang uji formil tersebut masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan tambahan dan pemeriksaan dokumen-dokumen yang relevan. Mahkamah Konstitusi belum menentukan jadwal sidang berikutnya secara resmi.
Sejumlah kalangan akademik menyarankan agar Mahkamah memeriksa secara cermat proses legislasi, mulai dari pengajuan draf, pembahasan internal, hingga pengesahan di DPR.
Mereka menilai, keabsahan suatu undang-undang tidak hanya diukur dari isinya, namun juga dari cara pembentukannya, terutama keterbukaan dan keikutsertaan rakyat.
Jika Mahkamah menemukan adanya pelanggaran prosedural yang signifikan, maka dapat dijadikan dasar pembatalan revisi UU TNI secara keseluruhan.
Sidang ini menjadi sorotan luas di kalangan pegiat hukum dan hak asasi manusia, mengingat posisi strategis TNI dalam struktur negara dan risiko penyalahgunaan wewenang apabila payung hukum tidak disusun secara transparan.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi berada dalam sorotan publik terkait konsistensinya dalam menegakkan prinsip negara hukum dan kedaulatan rakyat, terutama dalam kasus-kasus sensitif seperti ini.
Perwakilan koalisi masyarakat sipil menyatakan akan terus mengawal proses hukum ini hingga selesai dan menegaskan komitmen mereka terhadap demokrasi yang partisipatif.
Mereka juga berharap masyarakat luas ikut peduli dan terlibat dalam mengawasi pembentukan kebijakan publik agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Beberapa organisasi yang terlibat dalam aksi solidaritas ini berasal dari kalangan mahasiswa, lembaga bantuan hukum, organisasi keagamaan, dan komunitas pegiat reformasi militer.
Koordinator aksi menyebut bahwa agenda utama mereka adalah memastikan suara rakyat tetap didengar dan dijadikan pertimbangan dalam setiap kebijakan nasional.
“Partisipasi bukan sekadar formalitas, tapi merupakan inti dari demokrasi. Tanpa itu, undang-undang menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan,” tegas salah satu peserta aksi.
Mereka juga menyerukan pentingnya penguatan kontrol sipil terhadap institusi militer, demi mencegah dominasi militer dalam ruang sipil yang telah lama dihindari sejak reformasi.
Proses revisi UU TNI 2025 menjadi ujian penting bagi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara otoritas negara dan hak-hak rakyat.
Jika uji formil ini berhasil membatalkan undang-undang tersebut, maka akan menjadi preseden penting dalam penegakan demokrasi prosedural di Indonesia.
Sejumlah pakar menyebut bahwa Mahkamah harus memberikan keputusan yang tidak hanya legal, tetapi juga menjawab kekhawatiran publik dan menjamin akuntabilitas lembaga legislatif.
Solidaritas dan tekanan publik diharapkan terus berlanjut dalam mengawal jalannya sidang, sekaligus menjadi pengingat bagi para pembuat kebijakan untuk tidak mengabaikan suara rakyat.
Sidang di Mahkamah Konstitusi ini menunjukkan pentingnya lembaga peradilan sebagai benteng terakhir dalam menjamin demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Sebagai saran, masyarakat disarankan untuk secara aktif terlibat dalam pengawasan proses legislasi dengan mengikuti perkembangan sidang dan menyuarakan aspirasi melalui kanal resmi.
Pemerintah dan DPR sebaiknya memperbaiki mekanisme konsultasi publik dalam setiap penyusunan undang-undang strategis, dengan menyediakan akses terhadap draf, waktu tanggapan yang cukup, serta diskusi terbuka.
Partisipasi bermakna hanya akan terwujud jika semua pihak memahami bahwa proses hukum bukan sekadar formalitas, melainkan sarana untuk menjamin keadilan sosial.
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menjaga independensinya dalam menangani perkara ini tanpa intervensi politik atau tekanan dari pihak manapun.
Revisi UU TNI harus ditempatkan dalam kerangka reformasi yang lebih luas, yakni memperkuat institusi demokratis dan menegakkan prinsip kedaulatan rakyat.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v