JAKARTA, EKOIN.CO – Putusan majelis hakim terhadap eks Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara, kembali memicu perdebatan di kalangan politisi dan pakar hukum. Respons keras datang dari Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman, yang mempertanyakan logika dan akal sehat dalam proses hukum kasus tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Benny menilai, pengadilan seharusnya menempatkan akal sehat sebagai elemen utama dalam setiap proses hukum. Ia menyebut bahwa tanpa keberadaan akal sehat, mustahil sistem hukum dapat menghadirkan keadilan yang sejati. Pandangan ini ia sampaikan melalui akun media sosial X pada Rabu, 23 Juli 2025.
Menurut politisi dari Partai Demokrat itu, setiap keputusan hukum haruslah mencerminkan rasionalitas. Ia menyoroti kejanggalan dalam kasus Tom Lembong, terutama karena adanya pihak lain yang disebut memberi perintah namun tidak dikenai hukuman.
“Dalam proses hukum apapun di pengadilan, akal sehat itulah yang utama,” ujar Benny dalam unggahannya di X @BennyHarmanID.
Benny juga menyoroti dua poin penting yang menjadi sumber tanda tanya publik terhadap putusan pengadilan. Ia mempertanyakan mengapa pihak yang memberikan perintah tidak dimintai pertanggungjawaban hukum dan mengapa hakim secara sepihak menentukan besarnya kerugian negara.
Ia menambahkan bahwa tindakan hakim menghitung sendiri kerugian negara tanpa melibatkan auditor resmi menjadi indikator lain dari kejanggalan prosedur hukum dalam kasus ini. Proses seperti ini, menurutnya, rentan melahirkan ketidakadilan.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang Tom Lembong sempat disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo adalah pihak yang memberikan perintah atas impor gula yang menjadi sumber masalah. Namun, nama tersebut tidak dilibatkan lebih lanjut dalam proses hukum.
Pakar Kritik Putusan yang Tak Libatkan Mens Rea
Dalam diskusi publik bertajuk Rakyat Bersuara di I News TV, pakar hukum tata negara Feri Amsari juga memberikan kritik tajam terhadap putusan hakim. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki mens rea atau niat jahat tetap bisa dijatuhi hukuman pidana.
Menurut Feri, dalam hukum pidana, actus reus atau tindakan jahat bisa terjadi, namun tanpa adanya mens rea, tidak dapat dikenakan pidana. Ia menilai pernyataan hakim yang menyebut Tom tidak memiliki niat jahat, tetapi tetap dihukum, sebagai bentuk inkonsistensi hukum.
“Sekarang bayangkan, hakim sendiri mengatakan tidak ada niat jahat. Mas Aiman tahu nda artinya dalam konsep hukum pidana, tidak ada niat jahat? Tidak ada pidana,” ujar Feri dalam pernyataannya yang dikutip pada Rabu, 23 Juli 2025.
Feri juga mengajak masyarakat untuk memahami kembali konsep dasar hukum pidana yang berlaku universal. Ia menekankan bahwa niat jahat adalah syarat utama untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang.
Ia menantang siapa pun yang tidak sependapat dengannya untuk mempelajari hukum pidana dari seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri. Menurutnya, tidak ada sistem hukum pidana yang mengesampingkan unsur niat jahat.
Feri mengungkapkan kekhawatirannya bahwa hukum sedang dijadikan alat untuk mempertontonkan kebohongan kepada publik. Hal ini ia nilai dapat merusak sistem hukum dan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.
Kekhawatiran Terhadap Instrumentalisasi Hukum
Selain itu, Feri juga menyebut bahwa proses hukum Tom Lembong telah dipolitisasi, dan menjadi bagian dari pertunjukan politik. Ia menilai, jika hukum hanya digunakan untuk menghukum pihak oposisi, maka hal tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap tatanan demokrasi dan konstitusi.
“Kecuali ibu bapak sekalian sedang menipu peradaban hukum. Ikut terlibat dalam political show ini, political trial ini,” kata Feri.
Ia pun menekankan pentingnya UUD 1945 sebagai pijakan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 28D ayat 1 menjadi landasan konstitusional yang memberikan jaminan perlindungan hukum yang adil bagi semua warga negara.
Feri mengajak masyarakat dan aparat hukum untuk tidak bermain-main dengan sistem peradilan. Menurutnya, jika hukum digunakan secara sembarangan untuk menghajar lawan politik, maka Indonesia sedang bercanda dengan prinsip keadilan.
Ia menegaskan bahwa bangsa ini membutuhkan sistem hukum yang objektif dan tidak tunduk pada tekanan politik. Oleh karena itu, ia mendorong para pemangku kepentingan untuk mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum.
Putusan terhadap Tom Lembong, meskipun telah diputuskan pengadilan, tetap menyisakan kontroversi yang tidak sederhana. Proses ini menunjukkan adanya kegelisahan publik terhadap keadilan hukum di Indonesia.
Ketika nama pemimpin tertinggi negara disebut dalam persidangan, dan tidak dilibatkan dalam pemeriksaan, maka pertanyaan publik tidak bisa begitu saja diredam. Transparansi dalam penegakan hukum menjadi krusial untuk meredakan kegaduhan ini.
Selain itu, publik juga menantikan respons dari institusi negara seperti Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, maupun Ombudsman terkait indikasi ketidakadilan yang dilontarkan para tokoh.
Berbagai kritik dari kalangan akademisi, politisi, dan masyarakat sipil menunjukkan bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem penegakan hukum.
keadilan dalam sistem hukum harus dijaga agar tidak menjadi alat kepentingan politik. Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi seluruh lembaga negara untuk memperkuat integritas dan transparansi peradilan.
Sistem hukum tidak boleh dijadikan alat politik untuk menghukum lawan. Ketika publik meragukan independensi pengadilan, maka kredibilitas institusi hukum sedang dipertaruhkan.
Dalam demokrasi, hukum yang adil merupakan pilar utama yang menjamin kebebasan dan kesetaraan setiap warga negara. Oleh karena itu, integritas aparat hukum harus dijaga dari pengaruh kekuasaan.
Kasus Tom Lembong memberikan pelajaran penting bahwa keadilan tidak cukup hanya ditegakkan, tetapi juga harus terlihat ditegakkan. Masyarakat berhak mengetahui secara jujur siapa yang bertanggung jawab dalam setiap kasus.
Saran yang perlu dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan adalah memperkuat sistem audit independen untuk menghitung kerugian negara, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim.
Perlu ada reformasi dalam sistem peradilan pidana untuk memastikan bahwa prinsip mens rea benar-benar ditegakkan sesuai dengan asas hukum yang berlaku.
Transparansi dalam proses persidangan, termasuk pemanggilan saksi yang relevan, harus ditingkatkan untuk menghindari kesan ketertutupan.
Publik harus didorong untuk aktif mengawasi proses hukum melalui partisipasi sipil dan pemantauan lembaga independen. Ini penting untuk menjamin akuntabilitas.
Pendidikan hukum kepada masyarakat juga menjadi hal mendesak, agar publik bisa memahami konsep dasar hukum dan tidak mudah disesatkan oleh narasi politis semata. (*)