Jakarta, EKOIN.CO – Bantuan keamanan dan pengamanan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kantor-kantor kejaksaan dinilai jauh dari anggapan masuknya intervensi militer ke lembaga penegakan hukum sipil dalam hal ini Kejaksaan RI.
Eks Ketua Komisi Kejaksaan RI (Komjak) Barita Simanjuntak mengatakan justeru sebaliknya, pengandalan dan penjagaan personel TNI untuk pengamanan kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia sebagai bentuk bantuan militer terhadap supremasi sipil dalam ranah penegakan hukum.
Kata Barita, pengusutan kasus-kasus korupsi yang merugikan negara dalam skala super jumbo yang dilakukan tim di Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui peran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam lima tahun belakangan ini, membutuhkan dukungan kuat. Terutama, lanjut dia, dukungan dari lembaga kuat lainnya seperti TNI.
Meskipun, kata Barita yang juga Tenaga Ahli Jaksa Agung ini, pantang militer turut cawe-cawe dalam proses pengusutan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani itu. Apalagi perbantuan pengamanan anggota TNI di kantor kejaksaan sudah lama terjadi, saat dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) atau Aspidmil di Kejati.
“Ini (pengerahan TNI untuk keamanan dan pengamanan kejaksaan) sebenarnya bukan ada intervensi militer. Tetapi, justeru itu dukungan (militer) terhadap supremasi penegakan hukum yang dilakukan oleh sipil, dalam hal ini penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan,” ucap Barita saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Barita menuturkan, pengakuan TNI atas supremasi sipil di bidang penegakan hukum tersebut dengan penguatan peran Korps Adhyaksa setelah adanya Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) struktur tambahan di lingkungan kejaksaan.
Barita melanjutkan, kejaksaan adalah sipil penegak hukum tak bersenjata. Tetapi memiliki tugas dan kewenangan yang besar dalam memastikan penegakan hukum. Mulai dari penyidikan, penuntutan, pun penyitaan sampai pada eksekusi putusan peradilan terkait penanganan korupsi, maupun tindak pidana khusus lainnya.
Selain itu, lanjut dia, peran jaksa pada bidang pidana umum yang melakukan penuntutan, sampai pada eksekusi putusan peradilan. Kata Barita, tugas dan kewenangan kejaksaan tersebut, di lapangan tak jarang dihadapkan pada situasi-situasi adanya perlawanan, dan pengancaman oleh pihak-pihak tertentu.
Pada penanganan kasus-kasus korupsi kata Barita, tak jarang penyidik-penyidik kejaksaan diganggu oleh pihak-pihak tertentu, bahkan dari barisan otoritas bersenjata lainnya seperti polisi dan lain sebagainya.
Dengan kepolisian, kata Barita, kerja sama perbantuan untuk peran kejaksaan tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan dengan TNI, lanjut Barita, membutuhkan pertalian yang konstitusional melalui hadirnya posisi Jampidmil melalui UU Kejaksaan, dan UU TNI.
Oleh karenanya, masuknya militer untuk pengamanan kantor Korps Adhyaksa tersebut sebagai penguat dukungan atas kinerja kejaksaan yang kini menjadi lembaga andalan dalam pengusutan kasus-kasus korupsi.
“Jadi ini (pengamanan kejaksaan oleh TNI) sebagai langkah strategis kejaksaan yang membutuhkan power dan dukungan yang lebih kuat untuk menghadapi serangan-serangan balik dari para koruptor, yang melalui kekuatan-kekuatan ekonominya, melalui kekuatan-kekuatan politiknya, agar jangan sampai dia mengalami penegakan hukum yang sekarang-sekarang ini semakin masif dilakukan oleh kejaksaan,” tutur Barita.
Beberapa contoh aksi-aksi serangan balik terhadap kejaksaan tersebut sempat terjadi. Seperti dalam pengusutan korupsi penambangan timah ilegal di Bangka Belitung 2024 lalu. Dalam pengusutan kasus korupsi yang terbukti di pengadilan merugikan keuangan negara dengan total Rp 300 triliun itu, berujung pada aksi-aksi di luar hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan menggunakan pasukan bersenjata dari Densus 88.
Satuan khusus dari kepolisian itu, sempat nekat melakukan penguntitan terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah. Satu anggota Densus 88 ditangkap, dan sempat diintrogasi di kejaksaan. Tetapi dibebaskan tanpa disanksi disiplin, maupun hukum.
Bahkan personel khusus anti-terorisme itu pernah melakukan intimidasi terhadap kejaksaan dengan melakukan konvoi menggunakan seragam hitam-hitam, mengendarai motor dan kendaraa taktis, dan kendaraan berat lainnya, serta membawa senjata laras panjang di lingkungan kompleks Kejagung. Terungkapnya aksi-aksi tersebut sebagai bagian operasi ‘Sikat Jampidsus’.
Meskipun pengandalan personel TNI dalam pengamanan kejaksaan sudah berlangsung sejak 2022 ketika Jampidsus mengusut korupsi ASABRI yang merugikan negara Rp 22,78 triliun, kejadian penguntitan, dan intimidasi kejaksaan pada 2024 lalu itu, membuat pengamanan TNI di Kejagung semakin masif.
Kok baru sekarang diributkan oleh sejumlah pihak? dan memberikan pernyataan menolak adanya pengamanan anggota TNI di kantor kejaksaan baik di Kejagung maupun di sejumlah Kejati dan Kejari, Ada apa?
Sementara itu, pihak Komisi Kejaksaan RI (Komjak) menilai, selama ini memang ada semacam kebutuhan dan maupun kesinambungan bersama antara peran kejaksaan serta TNI.
Ketua Komjak RI Pujiono Suwandi percaya, kejaksaan tetap bakal independen, dan TNI yang tak bakal mencampuri kewenangan Korps Adhyaksa sebagai institusi penegakan hukum.
Ia mengatakan ada dua aspek yang menjadi dasar pengerahan anggota TNI untuk menjadi satuan pengamanan di kantor-kantor kejaksaan mulai level Kejaksaan Agung (Kejagung), sampai Kejaksaan Tinggi (Kejati), maupun Kejaksan Negeri (Kejari). Dua aspek tersebut terkait dengan kebutuhan kejaksaan atas pengamanan itu sendiri.
“Kebutuhan itu, tertuang dalam MoU (nota kerja sama atau perjanjian kerjasama) antara Kejaksaan Agung dengan TNI terkait dengan bantuan pengamanan. Dan TNI menganggap (kantor-kantor) kejaksaan adalah objek vital yang memang masuk dalam pengamanan TNI,” kata Pujiono saat dihubungi dari Jakarta, pada Selasa (13/5/2025).
Kerja sama tersebut, kata Pujiono, terealisasi dengan TNI yang bersedia untuk mengirimkan personelnya dalam membantu pengamanan di kantor-kantor kejaksaan.
“Dan TNI sekarang memiliki UU TNI (yang baru) yang salah-satu dari 16 tugasnya itu ada penempatannya di wilayah kejaksaan,” tutur Pujiono.
Aspek lainnya, lanjut Pujiono, menyangkut masih berlakunya sistem hukum beracara pidana yang selama ini memberi kesinambungan antara peran kejaksaan, dan militer. Ia mengacu pada Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pujiono mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut menyangkut soal penegakan hukum dalam perkara koneksitas. Yaitu, wilayah tindak pidana yang pelakunya adalah gabungan antara peran sipil dan militer.
Menurutnya, kejaksaan menilai adanya peningkatan penanganan-penanganan perkara korupsi koneksitas oleh Korps Adhyaksa.
Sehingga dikatakan dia, kejaksaan memerlukan kehadiran anggota TNI dalam mempermudah penuntasan perkara-perkara koneksitas tersebut.
“Kita melihat itu bukan hanya soal pengamanan saja, karena juga perkara-perkara koneksitas yang saat ini semakin meningkat. Dan sekarang Aspidmil (asisten pidana militer) di Kejati juga sudah ada di tingkat-tingkat wilayah seluruh Indonesia,” kata Pujiono.
Oleh karena itu, menurut Pujiono, tak bisa melihat kehadiran pengamanan anggota TNI di kantor-kantor kejaksaan, sebagai bentuk militerisme yang merangsek ke institusi-institusi penegakan hukum.
“Dalam penanganan koneksitas itu, kan berbeda dengan penanganan-penanganan sipil. Baik berbeda dalam pengamanan barang buktinya, maupun orang-orangnya. Sehingga dibutuhkan pengamanan (dari TNI). Di situ urgensinya,” ucapnya.
Pujiono percaya, meskipun TNI menjadi andalan dalam pengamanan, tak mempengaruhi objektivitas penyidikan dan penuntutan, maupun independensi kejaksaan dalam perannya sebagai lembaga penegak hukum.
“Saya rasa pengamanan oleh TNI itu, tidak sampai kemudian berpengaruh pada objektivitas indenpendensi kejaksaan dalam proses penyidikan, maupun penuntutan,” tegasnya.
Sebelumnya diketahui, Markas Besar (Mabes) TNI melalui Kantor Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menerbitkan surat ST/1192/2025. Surat bertanggal 6 Mei 2025 itu berisikan tentang pengerahan personel TNI dari Angkatan Darat (AD) lengkap dengan peralatan untuk pengamanan di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.
Dalam telegram tersebut dikatakan pengamanan TNI di level Kejati berjumlah 1 SST atau setara 30 personel. Dan di tingkat Kejari berjumlah 1 regu atau sekitar 10 personel.
Dalam surat telegram tersebut juga dikatakan, jika bantuan keamanan atau pengamanan dari personel TNI AD kurang, otoritas militer darat di masing-masing wilayah untuk berkoordinasi dengan Angkatan Laut (AL), maupun Angkatan Udara (AU).
Satuan pengamanan TNI di kantor-kantor kejaksaan tersebut, dikatakan bertugas dengan pola rotasi bulanan. Dan penugasan pengamanan oleh TNI tersebut mulai berlaku sejak 1 Mei 2025.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mencabut ST/1192/2025 itu.
Menurut para pegiat sipil itu, pengerahan pasukan pengamanan di institusi sipil seperti kejaksaan bertentangan dengan banyak undang-undang (UU).
Kata mereka, pun pengamanan militer di kejaksaan itu, di luar tugas pokok, dan fungsi TNI sebagai alat negara. Para pegiat sipil tersebut mengkhawatirkan pengamanan TNI di institusi penegak hukum seperti kejaksaan, bakal mengganggu independensi maupun profesionalitas penegakan hukum.
“Pengerahan seperti ini, semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah-ranah sipil, khususnya di wilayah penegakan hukum,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran pers yang diterima wartawan, pada Selasa (13/5/2025).
Menurut mereka, pengerahan pengamanan militer di kejaksaan, pun melenceng dari peran TNI. Karena menurut mereka, TNI seharusnya hanya fokus pada bidang-bidang kerja pertahanan. Dan bukan turut terlibat dalam ranah-ranah publik, apalagi penegakan hukum.
“Koalisi Masyarakat sipil memandang bahwa surat perintah ini berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampur-adukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI,” kata mereka.
Dan menurut koalisi, kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum tak memerlukan sistem pengamanan militer.
“Pengamanan institusi sipil penegak hukum cukup bisa dilakukan oleh misalkan satuan pengamanan dalam (satpam) kejaksaan,” ujar koalisi.
Seperti diketahui, pada pertengahan tahun lalu sekitar Mei 2024, gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) diputari oleh sejumlah anggota Brimob dengan membawa senjata api (senpi) dan membawa kendaraan taktis (rantis) pada malam hari. Bahkan adanya drone atau kamera pengintai diatas gedung Kejagung. Pada saat itu, penyidik Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi tambang timah ilegal. (*)