Jakarta, EKOIN.CO – Tim penyidik tindak pidana khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menangkap Wahyu Laksono (WL) selaku mantan Direktur PT Dwisaha Selaras Abadi di Jakarta. Pada Rabu (4/6/2025) malam, setelah menjalani pemeriksaan, langsung ditetapkan tersangka dan ditahan.
Dalam kasus dugaan korupsi kebocoran PAD Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM), Kejati Bengkulu sudah menetapkan tiga orang tersangka dalam pengusutan korupsi pengelolaan aset pemerintah kota setempat.
Selain WL, tim penyidik Kejati Bengkulu telah menetapkan Direktur Utama PT Tigadi Lestari Kurniadi Benggawan (KB) sebagai tersangka, dan mantan Wali Kota Bengkulu periode 2007 hingga 2012 sekaligus mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ahmad Kanedi.
Jaksa penyidik Kejati Bengkulu, Nixon Lubis mengatakan bahwa tersangka WL sebelumnya telah dijemput di kediamannya di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung). Kemudian setelah ditetapkan sebagai tersangka, keesokan harinya akan dibawa ke Kejati Bengkulu untuk menjalani penahanan dan proses penyidikan.
Ia mengatakan kasus yang menjerat ketiga tersangka tersebut terkait korupsi yang merugikan negara Rp 140 miliar.
Kasus ini menyangkut penilapan atau penggelapan aset lahan 15.662 meter persegi milik Pemerintah Kota (Pemkot) Bengkulu yang dibangun Mega Mall dan Pasar Tradisional, dan berujung pada perbuatan memperkaya diri sendiri dan merugikan pemerintah kota setempat.
“Pada 2004 di atas lahan milik Pemerintah Kota Bengkulu itu dilakukan pembangunan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu,” kata Nixon saat ditemui di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (4/6/2025) malam.
Lahan untuk pendirian pusat perbelanjaan dan pasar tradisional itu bersertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Namun berubah menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pemkot Bengkulu selaku pemilik lahan.
Perubahan bentuk sertifikat tersebut, kata Nixon dengan tujuan dijadikan agunan, atau jaminan ke pihak bank BRI dan bank swasta untuk peminjaman uang. Dan tidak bisa membayar hutang pinjaman ke bank, sehingga mengalami kerugian, dan Pemkot Bengkulu tidak menerima PAD dari Mega Mall dan pasar tradisional.
“Tersangka AK selaku mantan wali kota pada 2007 yang memberikan rekomendasi ke pihak perbankan untuk penjaminan, sehingga swasta pengelola (KB dan WL) mengagunkan SHGB tersebut kepada pihak bank,” ucap Nixon.
Bank yang menjadi kreditur adalah lembaga keuangan plat merah (bank BRI). Dalam perjalanannya, kata Nixon, pihak pengelola Mega Mall dan PTM kembali mengagunkan SHGB yang sama ke pihak bank swasta lainnya. Sementara tanggung jawab sebagai debitur atas peminjaman atau outstanding dari kreditur yang awal belum dilunasi atau diselesaikan pembayarannya.
Kata Nixon, pola tersebut berlanjut sampai melibatkan lebih dari empat lembaga keuangan (perbankan) pemerintah (BRI) dan juga 2 bank swasta. Total pinjaman yang diperoleh dari penjaminan SHGB Mega Mall dan PTM tersebut mencapai antara Rp 200 miliar sampai Rp 400 miliar.
“Ini polanya seperti gali lobang, tutup lobang,” tegas Nixon.
Tetapi kata Nixon, selama operasional, pihak pengelola Mega Mall dan PTM tak sekalipun pernah memberikan bagi hasil keuntungannya ke kas Pemkot Bengkulu sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
Tersangka WL selaku mantan Direktur PT Dwisaha Selaras Abadi dan Direktur Utama PT Tigadi Lestari Kurniadi Benggawan (KB) mengagunkan SHGB ke lembaga perbankan, sehingga terkait bangunan Mega Mall dan Pasar Tradisional yang berada di lahan milik dan atas nama Pemkot Bengkulu, dilarang untuk diagunkan karena itu barang milik daerah.
Bahkan, lanjut dia, selama penjaminan SHGB Mega Mall dan PTM ke lembaga-lembaga perbankan itu, pihak pengelola tak pernah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke Pemkot Bengkulu selaku pemilik lahan.
“Jadi selain SHGB di atas lahan milik negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Bengkulu yang itu dilarang secara hukum untuk diagunkan ke pihak bank BRI, Bank Buana, dan juga sampai dengan 2025, Pemerintah Kota Bengkulu tidak pernah menerima profit sharing (bagi hasil) sebagai PAD (pendapatan daerah) atas pengelolaan Mega Mall dan PTM tersebut,” kata Nixon.
Atas perbuatan tersebut, penyidikan Kejati Bengkulu menjerat ketiga tersangka itu, AK, KB, dan WL dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi 31/1999-20/2001.
“Dalam perkara ini, dugaan sementara kerugian negara dari penghitungan auditor negara mencapai Rp 140 miliar,” ujar Nixon.
Sebelumnya, tim jaksa penyidik Kejati Bengkulu sudah menggelandang Ahmad Kanedi (AK) selaku mantan Wali Kota Bengkulu ke sel tahanan bersama tersangka lainnya, Kurniadi Benggawan (KB) selaku Dirut PT Tigadi Lestari. ()