Jakarta, EKOIN.CO – Koalisi Anti Mafia Tambang Halmahera Tengah (KAMTAM-HALTENG) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada Jumat, 25 Juli 2025. Aksi ini digelar menyikapi maraknya praktik tambang ilegal dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) solar gelap yang kian meresahkan di Pulau Gebe. Massa aksi secara tegas mendesak Kejaksaan Agung untuk segera membongkar tuntas praktik kejahatan pertambangan dan energi yang secara masif telah merusak lingkungan serta ruang hidup masyarakat setempat.
Koordinator aksi, Badi Farman, menyatakan bahwa Pulau Gebe saat ini menghadapi kondisi darurat lingkungan. Situasi tersebut dipicu oleh aktivitas tambang ilegal yang terus-menerus terjadi, ditambah dengan distribusi solar gelap yang terorganisir rapi. Badi Farman menegaskan pentingnya tindakan nyata dari pihak berwenang. “Negara tidak boleh diam. Kejaksaan Agung harus bertindak tegas terhadap mafia tambang dan oknum yang melindunginya,” tegas Badi, menyerukan agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
KAMTAM-HALTENG menjelaskan bahwa Pulau Gebe merupakan wilayah ekologis yang rapuh, namun di sisi lain, kaya akan kandungan nikel. Kekayaan alam ini justru menjadikannya sasaran empuk eksploitasi oleh sejumlah perusahaan tambang ilegal, salah satunya adalah PT MRI. Praktik penambangan yang dilakukan tanpa izin resmi (IUP) ini, sebagaimana diungkapkan oleh Badi, bahkan tidak terdaftar dalam sistem MODI milik Kementerian ESDM.
Selain aktivitas penambangan tanpa izin, Badi juga menyoroti dugaan kuat bahwa distribusi BBM jenis solar yang dipakai dalam kegiatan tambang ilegal tersebut berasal dari jalur yang tidak sah. Ini mengindikasikan keberadaan jaringan mafia energi yang terorganisir. Jaringan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan dan berkepanjangan bagi ekosistem Pulau Gebe.
Desakan Penuntasan Mafia Tambang
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, KAMTAM-HALTENG menyampaikan lima tuntutan utama kepada Kejaksaan Agung. Pertama, mereka mendesak agar seluruh perusahaan tambang ilegal dan jaringan distribusi solar gelap di Pulau Gebe diusut serta ditindak tegas, sesuai dengan Pasal 55 KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tuntutan ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam kejahatan ini menerima sanksi hukum yang setimpal.
Selanjutnya, KAMTAM-HALTENG menuntut penangkapan dan pemenjaraan Direktur PT MRI. Mereka menduga kuat bahwa Direktur PT MRI adalah aktor utama di balik aktivitas tambang dan distribusi solar ilegal yang berlangsung di Pulau Gebe. Tuntutan ketiga adalah pembekuan seluruh aktivitas pertambangan tanpa izin, disertai dengan evaluasi menyeluruh terhadap semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah di wilayah Halmahera Tengah. Ini merupakan langkah strategis untuk menghentikan praktik ilegal secara sistematis.
Penghentian Praktik Ilegal dan Penegakan Hukum
Tuntutan keempat yang dilayangkan oleh KAMTAM-HALTENG adalah penghentian total seluruh praktik tambang ilegal dan distribusi BBM ilegal di Pulau Gebe. Bersamaan dengan itu, mereka menyerukan pencabutan seluruh izin yang terindikasi cacat hukum atau dikeluarkan melalui prosedur yang tidak benar. Ini menjadi krusial untuk memulihkan kembali tata kelola pertambangan yang transparan dan bertanggung jawab di Pulau Gebe.
Terakhir, massa aksi mendesak aparat penegak hukum untuk bersikap netral dan tidak berkompromi dengan mafia tambang maupun mafia energi. Mereka menginginkan agar proses hukum berjalan adil dan bersih dari intervensi. “Kami datang untuk menagih mandat keadilan. Hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Kejaksaan Agung harus turun tangan,” tutup Badi, mempertegas harapan masyarakat akan keadilan yang menyeluruh.
Aksi KAMTAM-HALTENG ini menjadi penanda kuat bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam terhadap praktik-praktik yang merusak lingkungan dan merampas hak-hak mereka. Desakan kepada Kejaksaan Agung untuk bertindak tegas dan transparan merupakan cerminan dari keinginan kolektif untuk melihat penegakan hukum yang berkeadilan, tanpa memandang status atau kekuatan pihak-pihak yang terlibat. Pentingnya sinergi antara aparat penegak hukum dan elemen masyarakat sipil menjadi kunci dalam memberantas kejahatan lingkungan yang terorganisir.
Kondisi darurat lingkungan di Pulau Gebe memerlukan perhatian serius dan tindakan responsif dari pemerintah. Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tambang ilegal dan distribusi solar gelap akan semakin parah, mengancam keberlanjutan ekosistem dan mata pencarian masyarakat lokal. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret dan komprehensif perlu segera diimplementasikan untuk melindungi kekayaan alam serta masa depan generasi mendatang.
Saran utama adalah agar Kejaksaan Agung segera membentuk tim khusus investigasi yang melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta perwakilan masyarakat sipil. Pendekatan multi-stakeholder ini akan memastikan bahwa penyelidikan dilakukan secara komprehensif, transparan, dan akuntabel. Selanjutnya, hasil investigasi harus segera diumumkan kepada publik dan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang konsisten dan tanpa kompromi.
Sebagai kesimpulan, kasus di Pulau Gebe adalah gambaran nyata tentang tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, di mana kepentingan ekonomi sering kali berbenturan dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap mafia tambang dan energi ilegal adalah mutlak, tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Hukum harus menjadi alat keadilan yang merata.
Maka, sudah selayaknya seluruh elemen bangsa bersatu padu, mengawal dan mendukung upaya pemberantasan kejahatan lingkungan ini, demi terciptanya Indonesia yang lestari dan adil. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v