Jakarta, ekoin.co – Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menyatakan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong tidak dapat diterima secara logika hukum.
Ia menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto tersebut hanya dapat dipahami melalui pandangan politik, apalagi keduanya merupakan terdakwa kasus korupsi.
“Karena mesin yang ada di kepala saya adalah mesin psikologi forensik, mesin hukum. Sementara amnesti harus dipahami dari sudut pandang politik. Itu dia sebabnya mengapa saya tidak bisa memahami mengapa koruptor diberikan amnesti, mengapa koruptor diberikan abolisi?l,” ujar Reza saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 20 Agustus 2025, dan dikutip pada Jumat (22/8).
Menurut Reza bahwa korupsi merupakan serious crime (kejahatan berat), sehingga proses pembebasan terpidananya sejatinya melalui jalur hukum. Hal itulah yang membuat logika hukumnya sulit membenarkan pemberian amnesti maupun abolisi tersebut.
“Jadi harusnya Tom Lembong dan Hasto terus fight, bertarung sampai titik darah penghabisan menempuh upaya-upaya hukum berikutnya,” ujar Reza.
“Katanya mau mengoreksi proses hukum yang keblinger pada masa lalu? Koreksilah lewat arena hukum juga. Jangan justru memanfaatkan layanan-layanan eksklusif dari politik (amnesti dan abolisi). Distorsi jadinya. Seperti mencangkok (pohon) dari dua hal yang seyogyanya tidak dicangkok,” katanya menambahkan.
Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong kini menghirup udara bebas.
Sebelumnya Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam perkara suap calon anggota DPR RI serta Tom Lembong 4,6 tahun dalam perkara korupsi impor gula. Namun mereka keluar dari “prodeo” setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong.
Reza mengatakan, dirinya telah berdiskusi dengan sejumlah hakim aktif maupun pensiunan hakim mengenai amnesti dan abolisi Hasto dan Tom Lembong. Hasilnya, ia menyimpulkan hakim-hakim tersebut merasa terpukul dan kecewa.
“Ada dua catatan saya tentang pendapat mereka (hakim). Satu, mereka mengamini bahwa nyaris tidak mungkin bagi hakim untuk menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa korupsi. Bisa habis itu karir hakim,” katanya.
“Kedua, begitu kecilnya hati hakim ketika hasil kerja mereka dipatahkan sedemikian rupa, bukan lewat koreksi hukum. Hakim sudah bekerja susah payah, ternyata putusan mereka, stop, dinyatakan nol, dikoreksi bukan lewat mekanisme hukum tapi lewat politik. Hati kecil mereka terluka,” ucapnya menambahkan.
Kendati demikian, Reza mengatakan presiden mempunyai dasar hukum dalam mengeluarkan keputusan amnesti dan abolisi terhadap seorang terdakwa korupsi, meskipun secara hukum merupakan hak prerogatif presiden tersebut telah menciptakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.
“Dari sudut pandang politik, anggaplah amnesti dan abolisi ini bernilai positif, yaitu rekonsiliasi, persatuan dan harmoni. Tapi dari sudut pandang hukum, saya khawatir betul bahwa amnesti dan abolisi bagi pelaku korupsi itu menciptakan suatu preseden buruk di negara kita dalam konteks pemberantasan korupsi itu sendiri,” kata lulusan Strata Dua (S2) Psikologi Forensik Universitas Melbourne Australia itu.
Reza berharap Presiden Prabowo seharusnya mempertimbangkan keputusan hakim sebelum menggunakan hak prerogatifnya dalam kasus tersebut.
“Kalau seorang Presiden Prabowo ingin mengoreksi, jangan cawe-cawe terhadap putusan hakimnya. Tapi reformasilah lembaga penegakan hukumnya. Presiden begitu, jangan cawe-cawe terhadap putusan hakimnya, suka tidak suka itu mahkota. Kita mau bilang apa, intervensi? Bapak lebih berpedoman pada pernyataan hukum sebagai panglima atau politik sebagai panglima?” ucapnya. ()