Jakarta, EKOIN.CO – Tumpukan uang pecahan Rp 100.000 yang diperlihatkan ke publik saat konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (17/6/2025). Uang dengan jumlah mencapai Rp 2 miliar itu baru sebagian dari total yang disita tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebesar Rp 11,8 triliun.
Penampakan uang setinggi 2 meter itu berasal dari hasil penyitaan terhadap Wilmar Group dalam perkara dugaan korupsi ekspor CPO yang menjerat terdakwa korporasi.
“Penyitaan uang Rp 11 triliun lebih, dalam sejarahnya ini yang paling besar,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, yang dikutip pada Rabu (18/6).
Uang sebesar Rp 11.880.351.802.619 (Rp 11,8 triliun) yang dikembalikan oleh lima korporasi di bawah Wilmar Group ke Kejagung terkait kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
Sebelumnya, tim JPU pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung telah melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan terhadap uang senilai Rp11,8 triliun lebih terkait perkara tindak pidana korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit tahun 2022.
Kelima korporasi itu, yakni PT Multi Mas Nabati Asahan; PT Multi Nabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Para terdakwa korporasi tersebut masing-masing didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Seperti diketahui, kelima terdakwa korporasi yang tergabung dalam Wilmar Group telah diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang hingga saat ini perkara korupsi ekspor CPO masih dalam tahap pemeriksaan kasasi.
Berdasarkan hasil perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Laporan Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, terdapat kerugian keuangan negara, ilegal gain dan kerugian perekonomian negara seluruhnya sebesar Rp 11.880.351.802.619.
Dengan rincian, PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp 3.997.042.917.832,42; PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94; PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33; PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64; dan PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78.
Selanjutnya dalam perkembangannya, kelima terdakwa korporasi tersebut pada tanggal 23 dan 26 Mei 2025 mengembalikan uang sejumlah kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp11.880.351.802.619 pada Rekening Penampungan Lainnya (RPL) pada Bank Mandiri.
Kemudian terkait jumlah uang Rp 11,8 triliun yang dikembalikan tersebut, tim JPU telah melakukan penyitaan berdasarkan Penetapan Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tanggal 4 Juni 2025.
Penyitaan tersebut dilakukan pada tingkat penuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 38 ayat (1) KUHAP untuk kepentingan pemeriksaan di tahap kasasi.
“Setelah dilakukan penyitaan, tim JPU mengajukan tambahan memori kasasi dengan memasukkan uang (Rp 11,8 triliun) yang telah disita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi, untuk menjadi bahan pertimbangan oleh Hakim Agung MA yang memeriksa Kasasi, khususnya terkait sejumlah uang tersebut “dikompensasikan” untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan para terdakwa korporasi tersebut. []