JAKARTA, EKOIN.CO— Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 14 tahun kepada pengusaha Hendry Lie, Kamis malam, 6 Juni 2024.
Vonis dijatuhkan terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015 hingga 2022 yang melibatkan sejumlah perusahaan.
Ketua majelis hakim Toni Irfan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Hendry Lie juga dikenai pidana denda sebesar Rp. 1 miliar, subsider enam bulan penjara.
“Menyatakan terdakwa Hendry Lie telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata Majelis Hakim Ketua dalam pembacaan putusannya.
Vonis ini dibacakan setelah pertimbangan mendalam terhadap fakta persidangan dan bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung.
Pidana Tambahan: Uang Pengganti Triliunan
Tidak hanya pidana badan dan denda, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp1,05 triliun.
Hendry Lie diberi waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti tersebut kepada negara.
Apabila tidak membayar, harta benda Hendry Lie akan disita dan dilelang untuk menutup kerugian negara sebagaimana keputusan majelis hakim.
Jika nilai harta yang disita tak mencukupi, maka Hendry Lie akan dijatuhi pidana penjara tambahan selama delapan tahun.
Majelis hakim menyatakan bahwa pertimbangan ini sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Faktor yang Memberatkan dan Meringankan
Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang memperberat hukuman terhadap Hendry Lie.
Pertama, tindak pidana korupsi ini dinilai tidak mendukung agenda pemerintah dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN.
Kedua, kerugian negara akibat tindakan Hendry Lie dinilai sangat besar dan hasil korupsinya telah ia nikmati untuk kepentingan pribadi.
Namun, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, yaitu bahwa terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
Pertimbangan tersebut memengaruhi besaran vonis yang akhirnya dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Pasal-Pasal Hukum yang Dilanggar
Menurut hakim, perbuatan Hendry Lie telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
UU tersebut telah diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang turut serta.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya meminta 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan.
Selain itu, jaksa juga menuntut pembayaran uang pengganti sebesar Rp1,06 triliun dengan pidana subsider 10 tahun penjara.
Namun majelis hakim memutuskan pidana tambahan uang pengganti sedikit lebih rendah, yakni Rp1,05 triliun.
Pernyataan Pikir-Pikir Usai Sidang
Usai putusan dibacakan, Hendry Lie menyampaikan pernyataan pikir-pikir bersama kuasa hukumnya di hadapan majelis hakim.
Jaksa penuntut umum pun mengambil sikap serupa, menyatakan akan mempertimbangkan putusan hakim sebelum menentukan langkah lanjutan.
Dengan demikian, vonis 14 tahun penjara ini belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah karena belum ada sikap hukum dari kedua pihak.
Masa pikir-pikir ini akan digunakan untuk menentukan apakah banding akan diajukan ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Sikap ini lazim dilakukan dalam proses peradilan pidana ketika vonis tidak sesuai harapan pihak terdakwa maupun jaksa.
Modus Korupsi melalui PT Tinindo Internusa
Dalam perkara ini, Hendry Lie didakwa menerima uang sebesar Rp1,06 triliun dari pembelian bijih timah ilegal melalui PT Tinindo Internusa.
Dana itu berasal dari transaksi borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), sewa smelter, dan pembayaran harga pokok produksi.
Kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindakannya bersama pihak lain diperkirakan mencapai Rp300 triliun.
Kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindakannya bersama pihak lain diperkirakan mencapai Rp300 triliun.
Perbuatan tersebut dilakukan secara sistematis bersama jajaran PT Tinindo Internusa dan perusahaan afiliasi lainnya.
Tindak pidana ini mencerminkan pola kolusi antara pihak swasta dan BUMN dalam pengelolaan sumber daya mineral.
Instruksi Langsung dari Hendry Lie
Hendry Lie disebut sebagai pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa yang memerintahkan sejumlah bawahannya untuk menyusun surat penawaran kerja sama.
Rosalina, General Manager Operasional, dan Fandy Lingga, staf pemasaran tahun 2008–2018, mendapat perintah menyusun surat penawaran kerja sama pengolahan timah.
Surat penawaran tersebut diajukan ke PT Timah dengan tujuan menyewa alat pengolahan timah sebagai bagian dari skema kerja sama.
Penawaran tersebut menjadi pintu masuk keterlibatan perusahaan Hendry dalam pengelolaan bijih timah ilegal.
Majelis hakim menilai bahwa proses ini telah dirancang secara sadar untuk memanfaatkan kelemahan tata kelola PT Timah saat itu.
Keterlibatan Smelter Swasta Lain
Kerja sama ini juga melibatkan smelter swasta lain seperti PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa.
Menurut majelis hakim, para smelter ini tidak memiliki orang kompeten (CP), namun tetap dilibatkan dalam transaksi pengolahan timah.
Surat penawaran kerja sama antara smelter dan PT Timah dibuat oleh pihak PT Timah sendiri, yang menimbulkan indikasi pengaturan dari dalam.
Seluruh proses ini terjadi dalam sistem yang kompleks dan melibatkan banyak aktor dalam dan luar perusahaan.
Keadaan ini menunjukkan adanya praktik kolusif dalam tata niaga pertambangan nasional.
Pembelian Bijih Timah Ilegal
Setelah kerja sama berjalan, Hendry Lie bersama bawahannya melakukan pembelian dan pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal.
Kegiatan ini dilakukan di wilayah IUP PT Timah melalui perusahaan-perusahaan afiliasi seperti CV Bukit Persada Raya dan CV Semar Jaya Perkasa.
Bijih timah ilegal itu kemudian diproses dan diperdagangkan seolah-olah berasal dari kegiatan legal.
Praktik ini dilakukan bertahun-tahun tanpa pengawasan memadai dari pihak otoritas terkait.
Hasil kejahatan tersebut digunakan untuk memperkaya pribadi dan perusahaan-perusahaan terafiliasi dengan Hendry Lie.(*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v.