Jakarta, Ekoin.co – Sidang perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kembali digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Jakarta Pusat pada Jumat, 22 Agustus 2025 pukul 10:00 WIB. Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari tim kuasa hukum terdakwa.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kasus ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yaitu Newin Nugroho selaku Direktur Utama, Susy Mira Dewi Sugiarta sebagai Direktur Keuangan, dan Jimmy Masrin yang menjabat Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy.
Kuasa hukum Jimmy Masrin, Dr. Soesilo Aribowo, S.H., M.H., menyampaikan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berwenang mengadili perkara ini. Menurutnya, kasus tersebut seharusnya berada dalam ranah hukum perdata atau pidana umum dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang lebih tepat menangani.
“Berdasarkan Pasal 43 ayat 2 UU LPEI No. 2 Tahun 2009, dan mengacu pada Pasal 14 UU Tipikor, perlu dipahami bahwa kasus korupsi yang dilakukan oleh otoritas dalam LPEI bukan tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, pengadilan Tipikor tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara ini,” ujar Soesilo di hadapan majelis hakim.
Eksepsi dari Penasihat Hukum
Dalam eksepsi yang disampaikan, tim penasihat hukum juga menyoroti ruang lingkup penyidikan KPK. Disebutkan bahwa penyidik hanya menelusuri perkara hingga tahun 2019. Padahal pada tahun yang sama, PT Petro Energy menjalani proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan dinyatakan pailit setelah LPEI, sebagai kreditur terbesar dengan porsi 71 persen, menolak restrukturisasi utang.
BACA JUGA
Mafia Impor Tekstil Diduga Jadi Biang Kerok Anjloknya Industri Tekstil Nasional.
Setelah dinyatakan pailit, seluruh tanggung jawab pembayaran utang diambil alih oleh Jimmy Masrin. Hingga kini cicilan utang masih terus berjalan, dengan batas waktu pelunasan jatuh pada 2028. Menurut kuasa hukum, hal ini menunjukkan bahwa kerugian negara belum terjadi.
Soesilo juga menekankan bahwa tidak ada bukti Jimmy Masrin mengetahui penggunaan invoice palsu sebagaimana disebut dalam dakwaan. Ia menambahkan bahwa tuduhan suap yang sempat ramai di opini publik tidak pernah muncul dalam berkas dakwaan resmi.
“Sejak awal KPK tidak melihat perkara ini secara utuh dari hulu ke hilir. Bahkan, tuduhan suap yang disebut-sebut di publik tidak pernah muncul di dakwaan,” kata Soesilo menegaskan.
Pihak kuasa hukum juga menunjukkan dokumen resmi dari LPEI yang menyatakan cicilan masih berjalan lancar hingga saat ini. Dengan demikian, klaim kerugian negara yang dituduhkan tidak sesuai dengan fakta pembayaran yang sedang berlangsung.
Polemik Kerugian Negara
Dalam dakwaan, KPK menyebut kerugian negara sama dengan total kredit awal sebesar USD 22 juta dan Rp600 miliar. Akan tetapi, menurut kuasa hukum, nilai tersebut tidak memperhitungkan cicilan yang telah dilakukan sejak 2016.
“Logikanya, selama cicilan terus berjalan, nilai kerugian tidak mungkin sama dengan jumlah kredit di awal,” ujar Soesilo. Pernyataan ini menegaskan bahwa tuduhan kerugian negara perlu ditinjau ulang berdasarkan data pembayaran yang sah.
Selain itu, eksepsi juga menggarisbawahi prinsip perlakuan yang sama atau equal treatment. Menurut penasihat hukum, Undang-Undang Tipikor dibuat untuk menjerat aparatur sipil negara atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Namun hingga saat ini, tidak ada penuntutan terhadap pihak internal LPEI yang berperan dalam proses pembiayaan.
Kuasa hukum juga mempertanyakan logika penahanan Jimmy Masrin pada 20 Maret 2025, padahal hasil audit kerugian negara baru keluar pada 7 Juli 2025. Langkah ini dinilai bertentangan dengan prinsip pembuktian yang seharusnya mendahului penindakan hukum.
Soesilo menambahkan, jika setiap permasalahan kredit dengan pemerintah selalu dibawa ke ranah Tipikor, hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor. Kondisi tersebut berpotensi memengaruhi iklim investasi dan kepercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.
“Melihat fakta-fakta di atas, kami menilai Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini dan dakwaan penuntut tidak dapat diterima, sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” tutup Soesilo dalam persidangan.