Jakarta, Ekoin.co – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak permohonan keberatan yang diajukan Bank Artha Graha milik Tomy Winata terhadap Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) terkait penyitaan sejumlah aset milik PT Refined Bangka Tin (RBT).
Di mana aset PT RBT tersebut disebut sebagai jaminan utang di Bank Artha Graha. Penyitaan aset terkait perkara dugaan korupsi tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Namun apakah PT RBT milik pengusaha Tomy Winata?.
Hakim menolak permohonan keberatan yang diajukan Bank Artha Graha itu dibacakan oleh ketua majelis Sunoto, dengan anggota Purwanto Abdullah, dan Nofalinta Arianti, di dalam persidangan di PN Jakpus, Jalan Bungur Besar Raya, Senin (14/7/2025).
“Dalam pokok perkara, menolak permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Sunoto dalam amar putusan perkara Nomor 2/Keberatan-Pid.Sus.TPK/2025/PN.Jkt.Pst yang dibacakan di persidangan.
Majelis hakim menyatakan bahwa penyitaan aset dan perampasan barang bukti yang menjadi obyek keberatan pemohon, sebagaimana tercantum di dalam putusan tingkat banding dalam perkara tindak pidana korupsi tambang timah dengan Nomor: 4/Pid.Sus-TPK/2025/PT DKI tanggal 13 Februari 2025 Jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 72/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst tanggal 23 Desember 2025, adalah sah menurut hukum.
Dalam pertimbangan majelis hakim menolak permohonan Artha Graha dengan alasan, di antaranya, pemohon keberatan telah gagal membuktikan itikad baiknya dalam memperoleh hak atas barang yang telah disita tim penyidik kejaksaan sebagai objek permohonan.
“Karena pertama, tidak melakukan due diligence yang memadai terhadap legalitas operasi PT RBT; kedua, tidak melakukan verifikasi terhadap RKAB yang merupakan dokumen penting dalam sektor pertambangan (timah),” ucap majelis hakim.
Ketiga, kata majelis hakim, Artha Graha memberikan kredit dalam jumlah sangat besar dalam waktu singkat setelah pengalihan kepemilikan PT RBT dari Tomy Winata kepada terdakwa Suparta.
“Keempat, tidak melakukan pengawasan yang memadai terhadap penggunaan fasilitas kredit oleh PT RBT,” ucap majelis hakim.
Meskipun PT Artha Graha tidak didakwa secara formal dalam perkara tindak pidana korupsi tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Namun berdasarkan Pasal 12 huruf d PERMA Nomor 2 Tahun 2022, maka keterkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Suparta tidak harus berupa keterlibatan langsung yang bersifat pidana, melainkan termasuk juga keterkaitan secara faktual.
Majelis hakim melanjutkan, berdasarkan fakta persidangan, terdapat keterkaitan faktual antara PT Artha Graha sebagai pemohon keberatan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Suparta, melalui pemberian fasilitas kredit yang memfasilitasi berlangsungnya tindak pidana korupsi dengan memberikan legitimasi terhadap operasi PT Refined Bangka Tin (PT RBT).
Kemudian, kata majelis hakim, kelalaian dalam melakukan due diligence dan pengawasan aset jaminan yang digunakan untuk kegiatan ilegal; dan penerimaan keuntungan berupa bunga dan biaya administrasi dari hasil yang sebagian berasal dari perbuatan tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi tambah timah ilegal.
“Menimbang, bahwa asas kepentingan umum juga telah dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi memiliki nilai konstitusional yang penting. Sehingga kepentingan pemulihan kerugian negara memiliki legitimasi yang kuat,” ucap Majelis hakim.
Lebih lanjut dalam pertimbangan majelis hakim, bahwa dalam perkara ini terdapat ketidakseimbangan yang signifikan antara kepentingan PT Artha Graha sebagai Pemohon dengan kepentingan negara, dimana kerugian keuangan negara dalam perkara ini sebesar Rp 4.571.438.592.561,56 (Rp 4,5 triliun lebih), yang lebih dari 20 kali lipat dari nilai klaim pemohon sebesar Rp 223.000.000.000,00 (Rp 223 miliar) plus USD 11.000.000,00.
Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat bahwa penyitaan yang dilakukan tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dan perampasan aset yang menjadi objek keberatan pemohon dalam putusan pengadilan tingkat banding dalam perkara tindak pidana korupsi tambah timah dengan Nomor: 4/Pid.SusTPK/2025/PT DKI tanggal 13 Februari 2025 Jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 72/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst, tanggal 23 Desember 2025 atas nama terdakwa Suparta, telah tepat dan benar berdasarkan prinsip atau asas “Lex Specialis Systematis”.
Diketahui, PT RBT merupakan salah satu perusahaan smelter yang terlibat dalam korupsi pada tata niaga timah dengan PT Timah Tbk. Korupsi pada kegiatan bisnis itu disebut merugikan negara Rp 300 triliun.
Kejagung menyita aset-aset itu karena Direktur Utama PT RBT, Suparta terlibat korupsi tata niaga tambang timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Suparta dihukum 19 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 4,57 subsidair 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebelum ia dinyatakan meninggal dunia. ()