Jakarta, EKOIN.CO – Indonesia hingga kini belum memiliki senjata nuklir atau membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berskala besar. Negara ini memilih jalur damai dan efisien dalam mengembangkan teknologi nuklir, sesuai komitmennya pada perjanjian internasional dan pertimbangan teknis, ekonomi, maupun politik.
Perjanjian Internasional Melarang Senjata Nuklir
Indonesia telah meratifikasi Treaty on the Non‑Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) sejak 2 Maret 1970, dan menjadi Undang‑Undang No. 8/1978 . Selain itu, masuk dalam Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) melalui Traktat Bangkok tanggal 15 Desember 1995, yang melarang pengembangan, kepemilikan, atau uji coba senjata nuklir di kawasan Traktat ini juga melarang transfer teknologi nuklir militer dan pembangunan pangkalan nuklir
Dukungan pada Traktat Pelarangan Nuklir Global
Indonesia juga mendukung Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (TPNW) sejak 7 Juli 2017 . Menurut pakar UGM Muhadi Sugiono, “pelucutan nuklir menjadi sangat penting,” dan keikutsertaan Indonesia menunjukkan konsistensi politik luar negeri terhadap pelucutan senjata nuklir .
Pertimbangan Teknis dan Biaya
Menurut Aisha Kusumasomantri, pakar Keamanan Internasional dari Universitas Indonesia, keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi menjadi hambatan besar. Proses pengayaan uranium kelas tinggi untuk senjata sangat rumit, mahal, dan berisiko tinggi . Selain itu, teknologi transfer energi nuklir diatur ketat untuk mencegah proliferasi
Risiko Enrichment dan Teknologi Terbatas
Dari sisi teknis, proses pemisahan isotop U‑235 dan U‑238 (enrichment) dibatasi secara internasional. Indonesia tidak memiliki fasilitas ini, sehingga bahan bakar nuklir harus diimpor
Potensi Sumber Daya Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mencatat cadangan uranium sebesar 81.090 ton dan thorium 140.411 ton, tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Namun, thorium lebih diutamakan karena tidak memerlukan enrichment tinggi.
Geografi dan Lingkungan
Letak Indonesia di Ring of Fire dan rawan gempa serta vulkanik menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan PLTN Protes warga pernah terjadi, misalnya di Jawa Tengah pada 2007, dengan kekhawatiran limbah dan risiko bencana .
Politik Internasional dan Tekanan Eksternal
Menurut Liputan6.com, persaingan geopolitik antara AS/Barat dan Rusia/BRICS memengaruhi perkembangan energi nuklir Indonesia . Teknologi nuklir sering digunakan sebagai instrumen politik, dan negara maju dapat membatasi pengembangan energi ini melalui tekanan diplomatik dan sanksi.
Kesiapan Regulasi dan Kelembagaan
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) berdiri sejak 1998, dan BATAN dibentuk sejak 1958—sekarang menjadi ORTN di bawah BRIN—menandakan kesiapan regulasi. IAEA menyatakan Indonesia siap menjalankan program nuklir dalam empat aspek: SDM, industri, stakeholder, dan regulasi
Pengembangan Teknologi Damai
Salah satu penggunaan nuklir damai adalah reaktor riset Triga‑Mark II di Yogyakarta (250 kW) yang hanya mampu untuk eksperimen, bukan pengayaan bahan senjata . Rinaldy Dalimi mencatat, Soekarno pernah bercita‑cita memiliki senjata nuklir, namun jalannya tertahan regulasi internasional .
Relevansi PLTN dan Alternatif Energi
Program PLTN tertunda karena biaya investasi tinggi dan masyarakat menolak, sementara energi terbarukan seperti surya dan panas bumi lebih ekonomis .
Upaya Eksperimen dan Inovasi
BRIN bekerja sama dengan ThorCon Power untuk membangun PLTN eksperimental berbasis molten salt reactor Ini upaya menguji teknologi alternatif yang berpotensi lebih aman dan fleksibel.
Pernyataan Resmi dan Kepemimpinan
Pada forum bisnis Brasil (17 November 2024), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan, “Kami … merancang dan memproduksi reaktor nuklir kami sendiri,” meski Indonesia tidak memiliki fasilitas enrichment
Indonesia tidak memiliki senjata nuklir maupun PLTN besar karena kombinasi faktor: komitmen internasional (NPT, SEANWFZ, TPNW), keterbatasan teknologi (enrichment), biaya tinggi, risiko geologi, dan tekanan geopolitik global.
Untuk mendukung penguasaan teknologi nuklir damai, perlu peningkatan kapasitas SDM, infrastruktur regulatif, serta pengedukasian publik tentang manfaat dan risiko.
Alternatif energi yang lebih aman dan ramah lingkungan—seperti surya, panas bumi, dan teknologi reaktor eksperimental—sebaiknya terus dikembangkan.
Strategi nuklir damai harus sejalan dengan diplomasi bebas aktif dan berdaya tawar yang kuat dalam percaturan geopolitik.
Peningkatan transparansi, kolaborasi internasional, dan komunikasi publik dapat membantu meredam kekhawatiran dan mendukung inovasi energi nuklir damai.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v