JAKARTA, EKOIN.CO – Isu mengenai pajak amplop kondangan memicu perhatian luas publik sejak diungkap dalam rapat Komisi VI DPR RI. Media sosial ramai membahas kemungkinan pajak terhadap sumbangan dalam acara hajatan. Kabar ini bermula dari pernyataan anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat bersama Danantara dan Kementerian BUMN di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Mufti menyampaikan kekhawatirannya terkait informasi yang dia terima mengenai rencana pemerintah memungut pajak dari amplop kondangan yang diterima masyarakat. “Kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapat amplop di kondangan dan di hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah. Nah, ini kan tragis, sehingga ini membuat rakyat kami hari ini cukup menjerit,” ujarnya saat rapat tersebut.
Pernyataan tersebut langsung menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Banyak warganet mempertanyakan kebijakan pajak tersebut dan mempertanyakan maksud serta dasar hukum yang mendasarinya. Komentar kritis pun membanjiri media sosial menyusul beredarnya informasi tersebut.
Menanggapi kabar tersebut, Kementerian Sekretariat Negara melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memastikan bahwa kabar tersebut tidak benar. Ia menegaskan bahwa tidak ada rencana pemerintah mengenakan pajak terhadap amplop hajatan.
“Direktorat Pajak kan sudah menjelaskan ya mengenai isu yang sedang ramai di publik bahwa akan ada pengenaan pajak terhadap sumbangan dari acara-acara pernikahan, tidak ada itu, belum,” kata Prasetyo kepada wartawan di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Penjelasan DJP Soal Pajak Amplop Hajatan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan turut memberikan klarifikasi resmi mengenai isu tersebut. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa tidak ada kebijakan baru terkait pemungutan pajak atas amplop kondangan.
“Kami perlu meluruskan bahwa tidak ada kebijakan baru dari Direktorat Jenderal Pajak maupun pemerintah yang secara khusus akan memungut pajak dari amplop hajatan atau kondangan, baik yang diterima secara langsung maupun melalui transfer digital,” tegas Rosmauli, seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Menurutnya, kebingungan publik muncul akibat pemahaman yang kurang tepat terhadap prinsip dasar perpajakan yang berlaku secara umum di Indonesia. Rosmauli menegaskan bahwa penerapan pajak terhadap hadiah atau pemberian uang memiliki batasan-batasan tertentu.
Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), memang ada ketentuan mengenai tambahan kemampuan ekonomis, termasuk pemberian uang atau hadiah, yang bisa menjadi objek pajak. Namun tidak semua pemberian otomatis dikenakan pajak.
Kriteria Pemberian yang Dikenai Pajak
Rosmauli menegaskan bahwa pemberian yang bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak berkaitan dengan hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, tidak akan dikenakan pajak. “Jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP,” ujarnya.
Penjelasan tersebut bertujuan meluruskan informasi yang beredar dan menjamin masyarakat bahwa aktivitas sosial seperti hajatan atau pernikahan tidak akan dibebani pajak. DJP juga memastikan bahwa tidak ada instruksi atau kebijakan dari otoritas pajak untuk menarik pungutan dari amplop kondangan.
Sebelumnya, Mufti Anam menilai bahwa DJP sangat aktif memungut pajak dari masyarakat untuk menutupi defisit APBN. Ia menyebut hal ini dilakukan setelah pendapatan negara dari dividen BUMN dialihkan ke BPI Danantara. Menurut Mufti, langkah DJP ini terlalu masif dan menyulitkan rakyat.
Pernyataan Mufti mendapatkan berbagai tanggapan. Sebagian pihak mendukung pengawasan terhadap praktik perpajakan agar tidak memberatkan masyarakat. Namun sebagian lain menilai pernyataan tersebut menimbulkan keresahan yang tidak perlu di tengah masyarakat.
Prasetyo Hadi dalam kesempatan terpisah kembali mengingatkan bahwa penjelasan resmi sudah disampaikan oleh DJP. Ia meminta masyarakat tidak mudah mempercayai kabar yang belum terbukti kebenarannya. Pemerintah, kata dia, akan selalu terbuka dalam memberikan klarifikasi kebijakan.
Di sisi lain, DJP menegaskan bahwa fokus mereka saat ini adalah pada pengawasan wajib pajak yang memang masuk dalam kategori subjek pajak. Tidak ada pengawasan khusus terhadap transaksi dalam acara sosial masyarakat, apalagi dalam bentuk amplop kondangan.
Rosmauli juga menambahkan bahwa DJP terbuka menerima masukan dari masyarakat terkait kebijakan pajak. Ia mengajak masyarakat untuk bertanya langsung melalui saluran resmi jika ada keraguan terhadap suatu isu perpajakan.
Dalam konteks ini, DJP ingin memastikan bahwa setiap kebijakan perpajakan memiliki dasar hukum dan melalui kajian yang mendalam. Tidak ada kebijakan yang tiba-tiba diterapkan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat.
DJP dan Kementerian Keuangan terus berkomitmen menjalankan kebijakan pajak yang adil, transparan, dan sesuai hukum. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi.
Mufti Anam sendiri belum memberikan tanggapan lebih lanjut setelah klarifikasi dari DJP dan Mensesneg. Namun, pernyataan awalnya tetap menjadi pembahasan publik hingga saat ini.
Kabar soal pajak amplop kondangan ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang jelas antara pemerintah dan masyarakat. Penjelasan yang komprehensif sangat diperlukan agar informasi tidak disalahartikan.
Penegasan dari DJP dan Mensesneg diharapkan dapat menenangkan publik dan menghentikan penyebaran kabar tidak benar. Pemerintah juga diharapkan lebih proaktif menjelaskan kebijakan publik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
dari kasus ini adalah bahwa pajak atas amplop hajatan tidak akan diterapkan. Penjelasan resmi dari DJP telah menyampaikan bahwa pemberian pribadi tidak menjadi objek pajak.
Masyarakat sebaiknya mengedepankan kehati-hatian dalam menyikapi isu yang beredar. Informasi perlu dicek ulang melalui sumber resmi agar tidak menimbulkan keresahan.
Pemerintah perlu memastikan komunikasi kebijakan dilakukan secara tepat dan menyeluruh. Keterbukaan informasi dapat mencegah munculnya berita simpang siur.
Di sisi lain, anggota dewan dan pejabat publik perlu berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Penyampaian yang tidak akurat dapat menimbulkan kepanikan dan mengganggu kepercayaan publik.
Kedepannya, dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci dalam menjaga stabilitas informasi di ruang publik. Pemerintah diharapkan terus meningkatkan edukasi perpajakan kepada masyarakat guna mencegah kesalahpahaman serupa. (*)