Jakarta EKOIN.CO – Upaya pencarian buronan korupsi kondensat Pertamina, M. Riza Chalid, kembali menuai sorotan setelah terjadi kesalahan besar dalam pelacakan lokasi keberadaannya. Informasi dari Direktorat Jenderal Imigrasi menunjukkan bahwa Riza telah meninggalkan Indonesia sejak Februari 2025 dan berada di Malaysia, bukan Singapura seperti yang diyakini Kejaksaan Agung.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pernyataan terbaru dari Plt. Dirjen Imigrasi, Yuldi Yusman, menyatakan bahwa berdasarkan sistem perlintasan digital yang mereka miliki, Riza Chalid meninggalkan Indonesia pada 6 Februari 2025. Ia menuju Malaysia dan hingga kini belum terdeteksi kembali masuk ke tanah air.
Keterangan ini berbeda jauh dari pernyataan sebelumnya oleh Kejaksaan Agung. Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, pada Kamis (10/7) menyatakan bahwa instansinya telah bekerja sama dengan perwakilan kejaksaan Indonesia di Singapura untuk melacak keberadaan Riza Chalid.
“Berdasarkan informasi, yang bersangkutan tidak tinggal di dalam negeri. Untuk itu, kami sudah kerja sama dengan perwakilan kejaksaan Indonesia, khususnya di Singapura, kami sudah ambil langkah-langkah karena informasinya ada di sana,” ujar Abdul Qohar dalam keterangannya.
Bantahan dari Otoritas Singapura
Namun, pernyataan Kejagung tersebut kemudian dimentahkan oleh otoritas Singapura. Kementerian Luar Negeri dan Immigration Custom Authority (ICA) Singapura secara resmi membantah bahwa Riza Chalid berada di wilayah mereka.
Bantahan dari Singapura ini memperkuat fakta bahwa informasi intelijen yang menjadi dasar perburuan Kejagung ternyata tidak akurat. Fokus pencarian terhadap figur kunci dalam kasus megakorupsi tersebut menjadi tidak efektif dan berisiko menimbulkan kegagalan dalam proses hukum.
Sumber informasi yang meleset ini tidak hanya menghambat upaya penegakan hukum, tetapi juga menyoroti lemahnya koordinasi lintas lembaga dan negara. Padahal, kerja sama internasional menjadi sangat krusial dalam menangani buron kelas kakap seperti Riza Chalid.
Sementara Kejaksaan sibuk mengerahkan sumber daya di Singapura, keberadaan Riza Chalid justru luput dari radar lembaga penegak hukum. Situasi ini memperlihatkan adanya kekosongan informasi yang dapat berakibat fatal bagi kelanjutan kasus.
Plt. Dirjen Imigrasi, Yuldi Yusman, menjelaskan lebih lanjut bahwa semua data perlintasan keluar-masuk wilayah Indonesia tercatat di sistem aplikasi APK V4.0.4 yang digunakan oleh pihaknya secara nasional.
Kritik terhadap Sistem Deteksi dan Pencegahan
“Berdasarkan data perlintasan orang yang keluar masuk wilayah Indonesia di dalam kesisteman aplikasi APK V4.0.4 kami bahwa Mohamad Riza Chalid keluar meninggalkan wilayah Indonesia pada tanggal 06-02-2025 menuju Malaysia,” jelas Yuldi Yusman dalam keterangannya.
Keterangan dari pihak Imigrasi ini menyiratkan bahwa buronan dalam kasus besar seperti Riza Chalid masih bisa meninggalkan Indonesia tanpa deteksi yang cepat oleh lembaga penegak hukum lainnya. Kondisi ini mempertegas pentingnya pembaruan dalam sistem deteksi dini dan koordinasi lintas instansi.
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa koordinasi antara Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Imigrasi belum berjalan optimal. Data valid yang tersedia di satu instansi tampaknya tidak segera dimanfaatkan oleh instansi lain yang berwenang dalam penanganan kasus.
Tidak hanya memperlambat proses hukum, ketidaktepatan informasi ini memberikan waktu tambahan bagi buronan untuk menghilangkan jejak atau bahkan membangun perlindungan hukum di luar negeri.
Selain itu, publik pun mulai mempertanyakan efektivitas mekanisme pencegahan pelarian buronan yang seharusnya diperketat sejak awal penyelidikan kasus. Dalam konteks ini, sistem pemantauan dan pembatasan perjalanan terhadap tersangka kasus besar perlu diperbaiki secara menyeluruh.
Ketiadaan sistem notifikasi otomatis antarlembaga ketika seseorang dengan status hukum tertentu keluar negeri, menjadi celah besar dalam sistem keamanan dan hukum nasional.
Dalam kasus Riza Chalid, kesenjangan informasi yang terjadi mengindikasikan adanya persoalan struktural yang serius. Lemahnya aliran informasi dan lambatnya reaksi terhadap data valid bisa memperparah kesulitan dalam menangkap kembali buronan.
Penguatan sinergi antara lembaga penegak hukum, instansi imigrasi, dan perwakilan luar negeri harus menjadi prioritas. Tanpa langkah korektif yang cepat, potensi kegagalan penangkapan terhadap tersangka korupsi lain bisa saja terulang.
Koordinasi informasi intelijen dan digitalisasi data lintas instansi mestinya dijadikan tulang punggung dalam upaya penegakan hukum modern. Kasus Riza Chalid menjadi contoh nyata perlunya evaluasi menyeluruh atas sistem yang berjalan saat ini.
Bila langkah perbaikan tidak segera dilakukan, ketidakakuratan informasi seperti ini akan terus menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja penegak hukum.
Kejaksaan Agung dan lembaga terkait perlu menjadikan insiden ini sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran strategis, bukan sekadar kesalahan teknis.
insiden pelacakan Riza Chalid menunjukkan lemahnya komunikasi antar lembaga penegak hukum dan imigrasi. Fakta bahwa Riza telah meninggalkan Indonesia sejak Februari, namun pencarian baru digencarkan lima bulan kemudian, menandakan adanya jeda koordinasi yang signifikan. Hal ini tentu sangat disayangkan dalam konteks kasus besar yang melibatkan kerugian negara.
Penting bagi lembaga penegak hukum untuk lebih memanfaatkan data real-time yang tersedia di sistem imigrasi nasional. Ketergantungan pada informasi intelijen yang belum tervalidasi bisa mengakibatkan pengambilan keputusan yang keliru, seperti dalam kasus ini. Penguatan proses verifikasi data seharusnya menjadi langkah awal dalam setiap proses perburuan buronan.
Kerja sama internasional juga perlu ditingkatkan, bukan hanya dengan mengandalkan perwakilan kejaksaan, tetapi juga melalui jalur diplomasi dan interpol. Kejelasan status buronan harus segera dikomunikasikan lintas batas agar upaya hukum tidak sia-sia. Pelibatan lebih aktif dari Kementerian Luar Negeri juga dapat memperkuat diplomasi hukum.
Sementara itu, sistem notifikasi perlintasan keluar masuk untuk tersangka kasus besar harus dirancang agar bisa langsung mengaktifkan peringatan lintas lembaga. Teknologi saat ini memungkinkan hal tersebut, tinggal bagaimana kemauan politik dan kebijakan sistem mendukungnya. Reformasi pada aspek ini akan menjadi langkah besar dalam mencegah kejadian serupa.
Upaya penegakan hukum tidak boleh terhambat oleh ketidaktepatan informasi. Kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh agar para pelaku kejahatan ekonomi tidak lagi dengan mudah lolos dari jerat hukum. (*)