Jakarta, EKOIN.CO – Kasus utang macet Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) kembali hangat diperbincangkan. Dorongan untuk mengusut tuntas perkara ini datang dari berbagai pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, penjualan 51% saham BCA pada tahun 2002 dianggap telah merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah.
Wakil Ketua DPR sekaligus Anggota Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi isu ini dengan hati-hati. Ia mengaku belum mendalami detail kasusnya, namun ia tahu bahwa BCA yang kala itu dimiliki Grup Salim masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dilelang, dan dimenangkan oleh Grup Djarum.
Baca juga : Sengketa Lahan di Depok: PT Tjitajam Bantah Tanahnya Termasuk Eks BLBI
“Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu,” ujar Dasco, Selasa (19/8/2025). Menurutnya, hingga saat ini Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara utang BLBI-BCA ini.
Hal senada juga disampaikan oleh politisi Partai Gerindra sekaligus Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menegaskan tidak ada jadwal pemanggilan terkait BCA dalam agenda rapat internal Komisi III yang baru saja selesai. “Kami baru saja selesai rapat internal menyusun jadwal untuk masa sidang ini. Tidak ada jadwal pemanggilan kepada KPK terkait kasus BCA tersebut,” kata Habiburokhman.
Habiburokhman mengingatkan agar isu perbankan disikapi dengan sangat hati-hati. “Soal perbankan adalah soal sensitif, harus sangat hati-hati kita menyikapi. Jangan sampai pemberitaan yang tidak pas membuat situasi yang tidak stabil,” pungkasnya.
Alur Kronologi Utang BLBI BCA dan Kerugian Negara
Perbincangan hangat ini berakar dari tulisan mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie, yang menyoroti utang BCA ke negara. Saat krisis moneter 1997, BCA terkena rush dan menerima dana BLBI senilai Rp31,99 triliun. Pemerintah kemudian menyita saham-saham BCA dari keluarga Salim sebagai pelunasan utang.
Dari utang pokok tersebut, BCA telah membayar cicilan Rp8 triliun dan bunga Rp8,3 triliun. Namun, Kwik menjelaskan bahwa pembayaran bunga tidak mengurangi pokok utang, sehingga sisa utang BLBI tetap Rp23,99 triliun. Ditambah lagi, untuk menyehatkan BCA, pemerintah menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan senilai Rp60 triliun.
Baca juga : Prabowo Diminta Selamatkan Negara Lewat Saham BCA
“Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun),” tulis Kwik. Namun, yang jadi sorotan adalah ketika BCA dijual kepada Farallon seharga Rp10 triliun, sehingga Kwik menyebut ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun.
Selain utang BLBI, Kwik juga menyoroti kredit senilai Rp52,7 triliun yang diambil Grup Salim dari BCA. Ketika 92,8% saham BCA sudah di tangan pemerintah, utang Grup Salim beralih menjadi utang kepada pemerintah. Sebagai pelunasan, keluarga Salim membayar dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri dari uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan.
Polemik Valuasi Aset dalam Penyelesaian BLBI
Penilaian 108 perusahaan itu menjadi polemik. Konsorsium Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers menaksir aset tersebut senilai Rp51,9 triliun, sehingga utang Grup Salim dianggap lunas. Namun, penilaian berbeda disampaikan oleh Price Waterhouse Coopers (PwC) yang hanya menaksir aset itu senilai Rp20 triliun. Perbedaan signifikan ini terjadi karena perbedaan asumsi makroekonomi dalam proses penilaian.
Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers menilai dengan asumsi kondisi ekonomi dan politik yang normal, menghasilkan angka premium. Sebaliknya, PwC menaksir aset dengan asumsi penjualan harus dilakukan dalam waktu singkat dan di tengah kondisi “ogah-ogahan” antara pembeli dan penjual.
Meskipun terdapat perbedaan penilaian yang drastis, pemerintah saat itu menerima Rp20 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim dari total aset Rp52,8 triliun, yang artinya recovery rate hanya sekitar 34%.
Pada tahun 2002, Presiden Megawati sepakat menjual 51% saham BCA kepada publik. Farallon, perusahaan investasi asal AS, memenangkan tender dengan membeli saham senilai US$530 juta atau setara Rp10 triliun. Hingga akhirnya, pada tahun 2007, Grup Djarum mengambil alih kepemilikan BCA sepenuhnya setelah membeli saham Farallon di Farindo Investment.
Dengan mencuatnya kembali kasus ini, publik menanti langkah tegas pemerintah untuk menyelesaikan sisa-sisa permasalahan BLBI yang telah membebani negara sejak puluhan tahun silam. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v