Jakarta, EKOIN.CO – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan mengenai amnesti yang diterima Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto. Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK, menegaskan bahwa pemberian amnesti dari Presiden RI Prabowo Subianto hanya menghapus hukuman yang dijatuhkan pengadilan, tetapi status Hasto sebagai pelaku tindak pidana korupsi tidak berubah. Hal ini disampaikannya pada Jumat (1/8/2025), setelah DPR menyetujui amnesti untuk Hasto. Johanis menjelaskan bahwa amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada individu atau sekelompok orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, meskipun hukumannya dihapus, kesalahan Hasto tetap melekat.
Menurut Johanis, amnesti adalah bagian dari hak istimewa (prerogatif) Presiden. Kebijakan ini diberikan kepada terdakwa atau terpidana dengan mempertimbangkan masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemberian amnesti diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Oleh sebab itu, Johanis menekankan bahwa amnesti untuk Hasto hanya menghapus pelaksanaan hukumannya, bukan menghilangkan fakta bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi.
“Dengan demikian, amnesti yang diberikan Hasto Kristiyanto hanya dalam bentuk tidak melaksanakan hukuman saja, sehingga orang yang mendapat amnesti dari Presiden tetap saja bersalah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi,” ujar Johanis saat dihubungi. Ia menambahkan bahwa amnesti hanya diberikan kepada orang yang bersalah. “Hanya hukumannya saja yang diampuni sehingga hukumannya tidak dilaksanakan atau dihapus, atau dengan kata lain hanya orang yang bersalah saja yang diampuni, kalau orang tidak bersalah, tidak perlu diampuni,” lanjutnya.
Mengenai waktu pembebasan Hasto dari Rumah Tahanan (Rutan) KPK, Johanis menjelaskan bahwa hal itu akan segera dilakukan setelah KPK menerima Surat Keputusan Amnesti dari Presiden. Surat tersebut harus sudah disetujui oleh DPR, sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat 2 UUD 1945. Proses administrasi ini menjadi kunci sebelum Hasto bisa keluar dari tahanan. Sampai saat ini, KPK masih menunggu surat keputusan tersebut untuk dapat memproses pembebasan Hasto.
Pernyataan Johanis tersebut menunjukkan bahwa meskipun Hasto akan dibebaskan, catatan kriminalnya tidak hilang. Ia tetap dianggap sebagai terpidana korupsi. Hal ini menjadi pembeda penting antara amnesti dengan rehabilitasi, di mana rehabilitasi akan memulihkan nama baik seseorang. Amnesti hanya fokus pada penghapusan hukuman, bukan pada pemulihan reputasi.
Amnesti Hasto Disetujui DPR, KPK Tunggu Surat Keputusan Presiden
Sebelumnya, DPR telah memberikan persetujuan terhadap pemberian amnesti bagi Hasto Kristiyanto. Persetujuan ini disampaikan dalam rapat di Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis (31/7/2025). Hasto diketahui divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) Fraksi PDIP DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan persetujuan tersebut secara resmi.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42 Pres 07 27 25 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Dasco. Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari surat yang dikirimkan oleh Presiden.
Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Hak ini merupakan hak prerogatif Presiden, yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh kepala negara terkait hukum dan undang-undang, yang berada di luar kekuasaan badan-badan perwakilan.
Hak prerogatif Presiden ini secara tegas diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Presiden berwenang untuk memberikan amnesti dan abolisi, namun harus dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, proses pemberian amnesti ini telah melalui prosedur konstitusional yang sah.
Pemberian amnesti ini telah melalui serangkaian prosedur hukum dan politik yang melibatkan Presiden dan DPR. Persetujuan DPR menjadi syarat mutlak agar Presiden dapat mengeluarkan Surat Keputusan Amnesti. Proses ini memastikan bahwa keputusan penting seperti ini memiliki dasar hukum yang kuat dan telah disepakati oleh lembaga perwakilan rakyat.
Persetujuan DPR ini membuka jalan bagi Hasto untuk segera dibebaskan dari tahanan. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Johanis Tanak, KPK harus terlebih dahulu menerima surat keputusan resmi dari Presiden. Tanpa surat tersebut, KPK tidak memiliki dasar hukum untuk membebaskan Hasto.
Hal ini menunjukkan adanya mekanisme checks and balances yang kuat antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam proses hukum di Indonesia. Keputusan Presiden untuk memberikan amnesti harus mendapatkan persetujuan dari DPR, yang mencerminkan kedaulatan rakyat melalui wakilnya.
Proses ini juga menjadi bukti bahwa meskipun seorang terpidana mendapatkan amnesti, prosedur administratif yang ketat harus tetap diikuti. Hal ini untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan hukum yang diambil oleh negara.
Dengan demikian, meskipun Hasto sudah mendapatkan persetujuan amnesti dari DPR, prosesnya belum sepenuhnya selesai. Masih ada satu tahap penting yang harus dilalui, yaitu penerbitan surat keputusan resmi dari Presiden yang kemudian akan diterima oleh KPK.
Pernyataan Johanis Tanak juga menegaskan bahwa hukuman penjara Hasto Kristiyanto akan dihapus, bukan dibatalkan. Artinya, ia tidak perlu menjalani sisa hukumannya. Namun, statusnya sebagai terpidana korupsi tetap tidak berubah.
Ini adalah perbedaan mendasar yang harus dipahami oleh publik. Hasto akan keluar dari penjara, tetapi ia tetap dicatat sebagai orang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi. Catatan ini akan melekat pada dirinya meskipun ia tidak lagi menjalani hukuman fisik.
Kondisi ini menimbulkan berbagai interpretasi di kalangan masyarakat. Ada yang menganggap amnesti ini sebagai bentuk pengampunan penuh, sementara sebagian lain melihatnya sebagai kelonggaran hukum yang tidak menghilangkan kesalahan. Penjelasan dari Johanis Tanak ini sangat penting untuk meluruskan pemahaman publik.
KPK sebagai lembaga penegak hukum juga harus memastikan bahwa semua prosedur dilaksanakan dengan benar. Mereka tidak bisa bertindak gegabah sebelum menerima surat resmi dari Presiden. Ini demi menjaga independensi dan profesionalisme KPK dalam menjalankan tugasnya.
Selama KPK belum menerima surat tersebut, Hasto akan tetap berada di Rutan KPK. Setelah surat diterima, proses pembebasan akan segera dilakukan. Ini adalah prosedur standar yang harus diikuti oleh KPK untuk memastikan legalitas setiap tindakan yang mereka ambil.
Persetujuan DPR ini menjadi langkah besar dalam proses pembebasan Hasto, tetapi bukan langkah terakhir. Selama surat keputusan Presiden belum berada di tangan KPK, Hasto akan tetap berstatus tahanan.
Dengan demikian, publik perlu memahami bahwa proses hukum terkait amnesti memiliki tahapan yang jelas. Keputusan politik oleh DPR harus diikuti dengan keputusan administratif dari Presiden, yang kemudian baru bisa dieksekusi oleh lembaga penegak hukum seperti KPK.
Pandangan dan Rekomendasi
Keputusan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto menjadi topik yang menarik perhatian banyak pihak. Amnesti, sebagai hak prerogatif presiden, diatur dalam konstitusi untuk tujuan tertentu. Namun, penerapannya dalam kasus korupsi seperti ini memunculkan beragam pertanyaan. Penting untuk melihat kasus ini dari berbagai sudut pandang agar pemahaman menjadi komprehensif.
Pertama, dari perspektif hukum, penjelasan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan kejelasan penting. Ia membedakan antara penghapusan hukuman dan penghapusan kesalahan. Ini adalah poin krusial yang mencegah adanya salah tafsir bahwa amnesti sama dengan pemulihan nama baik. Hukuman fisik ditiadakan, tetapi catatan tindak pidana tetap ada. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak sepenuhnya memaafkan, tetapi memberikan kelonggaran dalam pelaksanaannya.
Kedua, dari sudut pandang politik, persetujuan DPR menunjukkan adanya konsensus politik yang kuat terkait amnesti ini. Proses ini sah secara konstitusional, namun bisa menimbulkan pertanyaan di masyarakat tentang bagaimana hak prerogatif presiden digunakan, terutama dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik. Penting bagi pemerintah untuk memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel.
Ketiga, dari perspektif etika dan moral, meskipun secara hukum sah, amnesti untuk kasus korupsi dapat menjadi preseden yang berpotensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan pengampunan hukuman bisa dilihat sebagai sinyal negatif. Oleh karena itu, edukasi publik tentang perbedaan antara amnesti dan pembebasan murni menjadi sangat penting.
Secara keseluruhan, kasus amnesti Hasto Kristiyanto ini adalah pelajaran berharga bagi sistem hukum dan politik Indonesia. Ini menyoroti perlunya keseimbangan antara hak prerogatif presiden, peran legislatif, dan penegakan hukum yang kuat. Serta perlunya transparansi dan komunikasi yang baik kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan.
Kesimpulan dan Saran
Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto telah disetujui DPR, namun hukuman fisik yang dihapus tidak menghapus statusnya sebagai terpidana korupsi. Penjelasan dari Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, memberikan pencerahan bahwa amnesti hanya menghapus hukuman, bukan menghilangkan kesalahan. Proses pembebasan Hasto dari rutan KPK kini bergantung pada diterbitkannya Surat Keputusan Amnesti dari Presiden yang harus diterima oleh KPK sebagai dasar hukum. Proses ini menunjukkan adanya mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks hukum, amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman, yang berbeda dengan rehabilitasi yang memulihkan nama baik. Perbedaan ini krusial untuk dipahami publik agar tidak terjadi misinterpretasi. Pemberian amnesti kepada pelaku korupsi menjadi sorotan karena korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat luas. Oleh karena itu, penting untuk menjaga semangat pemberantasan korupsi tetap kuat.
Pemerintah disarankan untuk terus mengedukasi masyarakat tentang perbedaan antara amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Hal ini agar tidak ada kebingungan dan pemahaman publik menjadi lebih baik. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan juga harus dijaga untuk menghindari spekulasi. Komunikasi yang efektif dari lembaga terkait, seperti KPK dan DPR, menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik.
Pentingnya menjaga independensi KPK dalam menjalankan tugasnya tidak bisa ditawar. Meskipun ada keputusan politik, KPK harus tetap berpegang pada prosedur hukum yang berlaku. Langkah KPK yang menunggu surat resmi dari Presiden adalah langkah yang tepat untuk memastikan semua tindakan memiliki dasar hukum yang kuat.
Secara keseluruhan, kasus ini menjadi ujian bagi sistem hukum dan politik di Indonesia. Bagaimana hak prerogatif presiden dijalankan, peran DPR dalam memberikan pertimbangan, dan bagaimana lembaga penegak hukum menjalankan tugasnya, semuanya menjadi perhatian. Saran bagi semua pihak adalah untuk tetap berpegang pada konstitusi dan hukum, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v”