KOPENHAGEN, EKOIN.CO – Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen menilai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai biang masalah dalam konflik berkepanjangan di Gaza. Pernyataan keras ini muncul menyusul agresi brutal Israel yang telah menewaskan lebih dari 61 ribu warga Palestina. Frederiksen menegaskan Denmark, yang kini memegang presidensi Uni Eropa, akan meningkatkan tekanan terhadap Israel termasuk melalui opsi sanksi.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
Sanksi Israel Jadi Pertimbangan Denmark
Frederiksen menyampaikan pernyataan tegas tersebut dalam wawancara dengan harian Jyllands-Posten yang terbit Sabtu (16/8). Ia menilai Netanyahu telah melangkah terlalu jauh dengan operasi militer di Gaza dan perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat.
“Netanyahu kini adalah masalah itu sendiri,” tegas Frederiksen. Ia menggambarkan situasi kemanusiaan di Gaza sebagai kondisi “benar-benar mengerikan dan katastropis” yang membutuhkan respon lebih tegas dari dunia internasional.
Menurutnya, Denmark sedang mendorong peningkatan tekanan terhadap Israel, meski hingga kini belum memperoleh dukungan penuh dari negara-negara anggota Uni Eropa. Ia menekankan bahwa skema sanksi dapat diarahkan pada pemukim, pejabat, maupun Israel secara menyeluruh.
“Kami tidak menutup kemungkinan apa pun sejak awal. Sama seperti dengan Rusia, kami merancang sanksi untuk menyasar titik di mana kami percaya akan memberi dampak paling besar,” jelas Frederiksen.
Dukungan untuk Palestina Menguat di Dunia Barat
Seiring dengan meningkatnya eskalasi di Gaza, dukungan internasional terhadap Palestina terus meluas. Negara-negara sekutu dekat Amerika Serikat dan Israel seperti Prancis, Inggris, Kanada, hingga Australia diperkirakan akan resmi mengakui negara Palestina dalam sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang.
Langkah ini disebut akan memperkuat legitimasi Palestina di kancah diplomasi internasional. Meski demikian, Denmark sendiri belum menyatakan rencana terkait pengakuan resmi negara Palestina.
Frederiksen menegaskan prioritas saat ini adalah menghentikan kekerasan dan mencegah korban sipil semakin bertambah. Ia menilai tekanan politik dan ekonomi dapat menjadi instrumen yang efektif, serupa dengan mekanisme sanksi yang diterapkan terhadap Rusia pascainvasi ke Ukraina.
Situasi ini menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika diplomasi Eropa terhadap Israel, di mana suara keras semakin terdengar dari negara-negara Barat yang sebelumnya lebih berhati-hati.
Denmark menilai strategi diplomasi yang selama ini ditempuh belum cukup menekan Israel. Oleh karena itu, opsi sanksi kini dianggap sebagai jalan yang realistis untuk memberi sinyal kuat pada pemerintahan Netanyahu.
Selain itu, meningkatnya jumlah korban di Gaza membuat opini publik di Eropa semakin berpihak pada Palestina. Hal ini menambah dorongan politik bagi para pemimpin untuk mengambil langkah lebih tegas.
Perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat juga menjadi sorotan serius karena dianggap mengancam prospek solusi dua negara yang selama ini diperjuangkan komunitas internasional.
Frederiksen menegaskan bahwa Uni Eropa memiliki tanggung jawab moral untuk bersikap lebih tegas terhadap Israel, terutama dalam isu kemanusiaan.
Menurutnya, kebijakan Israel bukan hanya menimbulkan penderitaan di Palestina, tetapi juga melemahkan kredibilitas hukum internasional.
Meski menghadapi tekanan geopolitik yang rumit, Frederiksen optimis bahwa langkah diplomasi yang kuat bisa mendorong perubahan.
Ia mengingatkan bahwa sejarah menunjukkan tekanan kolektif dari komunitas internasional dapat memaksa perubahan kebijakan negara yang melakukan pelanggaran serius.
Namun, sebagian kalangan menilai ancaman sanksi terhadap Israel bisa memicu ketegangan baru dengan Amerika Serikat, sekutu utama Israel yang selama ini melindungi kepentingannya di forum internasional.
Sementara itu, Palestina menyambut baik sinyal dari Denmark dan negara-negara Eropa lain yang menunjukkan keberanian untuk menekan Israel. Mereka menilai langkah ini sebagai momentum penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan.
Pada akhirnya, pernyataan Frederiksen menegaskan bahwa konflik Gaza bukan hanya isu kawasan, melainkan ujian bagi komunitas global dalam menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Pernyataan PM Denmark Mette Frederiksen menegaskan sikap baru Eropa dalam menghadapi agresi Israel di Gaza. Netanyahu dinilai sebagai faktor utama yang memperburuk krisis.
Dukungan bagi Palestina semakin meluas, terutama dengan rencana pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Barat.
Ancaman sanksi terhadap Israel dianggap sebagai upaya strategis untuk menghentikan eskalasi kekerasan.
Namun, dinamika geopolitik dengan Amerika Serikat membuat langkah ini tidak sederhana.
Meski begitu, sikap Denmark bisa menjadi pemicu solidaritas internasional demi solusi damai yang lebih adil.
Komunitas internasional perlu memperkuat diplomasi kolektif untuk menghentikan krisis Gaza.
Uni Eropa sebaiknya bersatu agar tekanan terhadap Israel lebih efektif.
Negara-negara besar harus menempatkan kepentingan kemanusiaan di atas kepentingan politik.
Pengakuan terhadap Palestina bisa menjadi langkah signifikan menuju perdamaian.
Masyarakat sipil internasional perlu terus menyuarakan solidaritas agar suara kemanusiaan tidak tenggelam oleh kepentingan geopolitik. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
.