Bekasi ,EKOIN.CO – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi membongkar bangunan Rumah Makan Ikan Gabus Haji Nijar yang berada di Kampung Pulo Timaha, Kecamatan Babelan, pada Rabu, 9 Juli 2025. Warung makan legendaris ini akhirnya tergusur karena berdiri di atas bantaran sungai yang masuk kawasan terlarang untuk pendirian bangunan permanen.
Dalam proses penertiban, petugas turut mengawal jalannya pembongkaran yang berlangsung sejak pagi. Rumah makan yang telah berdiri puluhan tahun itu akhirnya rata dengan tanah. Pembongkaran dilakukan sesuai dengan program penertiban bangunan liar di wilayah bantaran sungai Kabupaten Bekasi.
Warung makan tersebut telah lama menjadi ikon kuliner tradisional di wilayah Babelan. Dikenal luas karena olahan khas ikan gabus dan sayur Betawi, tempat ini sering dikunjungi warga lokal maupun tamu dari luar daerah.
Muhammad Suhendra, pemilik sekaligus penerus rumah makan Haji Nijar, menuturkan bahwa sejumlah tokoh publik pernah singgah ke warungnya. “Dulu pernah ke sini Ibu Iriana, Haji Bolot, Bupati lama (Neneng),”
Kunjungan Iriana Joko Widodo ke Babelan terjadi pada September 2019 dalam rangka kegiatan edukasi Gerakan Indonesia Bersih oleh Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Kerja. Saat itu, Iriana turut mencicipi hidangan khas ikan gabus di rumah makan Haji Nijar.
Suhendra menjelaskan bahwa rumah makan tersebut dibuka bukan semata-mata untuk mencari penghasilan, tetapi juga untuk menjaga budaya Betawi agar tetap hidup. “Mungkin tempat saya rumah makan ya untuk melestarikan budaya Betawi. Selama buka dikenal, bahkan sampai Jakarta juga dikenal,” katanya.
Pembongkaran ini berdampak langsung pada kehidupan Suhendra dan para pekerjanya. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar pegawai merupakan perempuan paruh baya dan janda yang menggantungkan hidup dari bekerja di warung tersebut.
“Ya kita juga di sini buka usaha bukan untuk diri sendiri. Banyak pegawai saya yang kerja. Pegawai sekarang ya pada nganggur,” ungkap Suhendra dengan nada prihatin. Ia menambahkan bahwa kehilangan tempat usaha berarti juga kehilangan penghidupan banyak keluarga.
Meski telah kehilangan tempat usaha, Suhendra bertekad untuk bangkit kembali. Ia berencana mencari lokasi lain agar warung makan tradisional miliknya bisa kembali beroperasi. Menurutnya, nama besar Haji Nijar tidak boleh padam begitu saja.
Di tengah upaya menerima kenyataan, Suhendra mengungkapkan rasa kecewanya terhadap tindakan pemerintah yang dinilainya tidak adil. Ia menyebutkan masih banyak bangunan liar lain yang berdiri di bantaran sungai, tetapi belum tersentuh penertiban.
“Itu banyak bangunan liar, bahkan kalinya sudah kayak got, kenapa yang di situ enggak kena. Yang saya tekankan bukannya menolak digusur, tapi penggusuran ini tebang pilih,” ujar Suhendra. Ia menganggap perlakuan pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan aturan.
Deretan bangunan liar di sekitar arah Kampung Kedaung disebutkan oleh Suhendra turut menyempitkan diameter sungai hingga menyerupai saluran drainase. Namun, bangunan tersebut masih berdiri tanpa tindakan.
Suhendra meminta agar pihak berwenang bersikap adil dalam menegakkan aturan. Ia menyatakan siap menerima keputusan pemerintah, asalkan penerapannya tidak diskriminatif. Menurutnya, keadilan adalah kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Meski kecewa, Suhendra tetap menghormati proses hukum yang berjalan. Ia mengaku tidak melakukan perlawanan saat pembongkaran dilakukan, melainkan hanya menyaksikan sambil menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan.
Proses pembongkaran rumah makan dilakukan dengan pengamanan ketat dari aparat kepolisian dan TNI. Hal ini untuk menghindari gangguan dari pihak yang mungkin tidak menerima keputusan tersebut.
Selama proses pembongkaran, sejumlah warga turut menyaksikan dengan perasaan haru. Beberapa dari mereka mengaku sering makan di warung tersebut sejak kecil dan merasa kehilangan salah satu ciri khas Babelan.
Warung makan Haji Nijar selama ini dikenal luas sebagai tempat makan yang menyajikan menu khas ikan gabus dengan bumbu sayur bening khas Betawi. Rasa dan keunikannya membuat banyak orang datang jauh-jauh untuk mencicipinya.
Banyak pelanggan setia merasa kecewa dengan pembongkaran tersebut. Mereka menyayangkan tidak adanya solusi relokasi yang diberikan kepada pemilik usaha kecil yang terdampak kebijakan penertiban.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Kabupaten Bekasi memang gencar melakukan penertiban bangunan liar di sepanjang aliran sungai. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi banjir dan menjaga ekosistem sungai tetap terjaga.
Namun demikian, ketidakmerataan penertiban menjadi sorotan publik. Beberapa warga merasa bahwa pelaksanaan penertiban masih kurang transparan dan menyisakan ketidakadilan.
Sebagai langkah selanjutnya, Suhendra menyatakan siap kembali membuka warung makan Haji Nijar di tempat lain. Ia optimistis dengan dukungan masyarakat, usahanya dapat kembali bangkit.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Penting bagi pemerintah daerah untuk memastikan bahwa penertiban dilakukan secara adil dan merata. Ketegasan yang tidak konsisten justru bisa menimbulkan rasa ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Solusi relokasi atau dukungan kepada pelaku usaha kecil yang terdampak juga perlu diprioritaskan. Tanpa bantuan konkret, banyak keluarga bisa kehilangan sumber mata pencaharian secara mendadak.
Pembongkaran seperti ini sebaiknya juga disertai dengan sosialisasi yang menyeluruh dan komunikasi yang terbuka. Keterbukaan pemerintah akan membangun dialog sehat dengan warga terdampak.
Sementara itu, pelestarian budaya lokal juga harus tetap diperhatikan. Warung makan tradisional seperti Haji Nijar tidak hanya tempat makan, melainkan bagian dari identitas dan sejarah daerah.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaan dan keputusan yang berdampak langsung pada mereka. Dengan begitu, setiap langkah pembangunan dapat berjalan dengan lebih inklusif dan berkelanjutan.(*)