Jayapura, – EKOIN.CO - Isu viral mengenai penambangan nikel di Irian Jaya kembali menjadi sorotan publik. Pada tanggal 24–25 September 2024, akun media sosial X/@StefanAntonio__ memicu perhatian setelah memposting peta lokasi dan draf Surat Perjanjian Karya (SPK) Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Iriana Mutiara Mining. Akun tersebut menuduh adanya eksplorasi nikel dengan luas mencapai ribuan hektare di Kabupaten Sarmi, Papua .
Isu ini langsung menyebar di berbagai platform, menarik ribuan interaksi dalam hitungan jam. Pada Selasa, 24 September 2024 pukul 12.06 WIB, cuitan tersebut telah dipantau oleh jutaan pengguna dan di-retweet lebih dari dua ribu kali hingga Rabu dini hari.
Nama “Iriana” dalam dokumen WIUP pun memicu spekulasi bahwa Ibu Negara Iriana Jokowi memiliki hubungan dengan dua perusahaan tambang tersebut, yakni PT Iriana Mutiara Idenburg dan PT Iriana Mutiara Mining .
Besarnya cakupan area eksplorasi juga menimbulkan perhatian. PT Iriana Mutiara Idenburg tercatat memiliki izin seluas 95.280 hektare untuk eksplorasi emas di Kabupaten Kerom dan Pegunungan Bintang, sementara PT Iriana Mutiara Mining memperoleh izin seluas 16.470 hektare untuk nikel di Kabupaten Sarmi .
Namun, spekulasi tersebut segera dibantah banyak pihak. Pengguna X seperti @shintaeffendi mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut sudah ada sejak era Orde Baru dan merupakan kelanjutan dari proyek Barrick Gold, bukan terkait dengan Ibu Negara .
Akun itu pun menyampaikan bahwa PT Iriana Mutiara Idenburg adalah kelanjutan dari “Contract of Work” milik Barrick Gold di Idenburg, yang kemudian berganti nama. Sedangkan PT Iriana Mutiara Mining diperkirakan mengajukan eksplorasi sejak 2015, namun sempat terkendala status hutan lindung .
Dalam bantahan lain, @dwioktariyadi menyatakan “100 persen saham PT Iriana Mutiara Idenburg dimiliki perusahaan Australia” dan bukan milik pribadi atau keluarga presiden .
Menurutnya, Barrick Gold pernah berkegiatan eksplorasi antara tahun 1994–1997 dan kemudian menyerahkan sisa konsesi kepada PT tersebut, yang saat ini dikuasai oleh Far East Gold, perusahaan Australia .
Klarifikasi ini juga didukung oleh narasi bahwa “Iriana = irian; Papua sebelumnya Irian Jaya.” Selain itu, nama-nama manajemen perusahaan menunjukkan komposisi asing dan profesional, bukan milik keluarga Jokowi .
Isu ini mencuat lagi setelah sejumlah media memuat ulang cuitan tersebut. Namun berbagai media konvensional telah melakukan verifikasi dan melaporkan bantahan dari netizen dan pengamat tambang .
Belum ada pernyataan resmi dari pemerintah maupun Istana terkait tuduhan keterlibatan Ibu Negara dalam proyek tambang itu. Pihak istana memilih diam sementara publik terus memperdebatkan asal-usul nama perusahaan dan kepemilikannya.
Analisis lanjutan menunjukkan bahwa izin eksplorasi tersebut bukan untuk tambang aktif melainkan tahap eksplorasi awal, yang selama ini banyak dipengaruhi status kawasan, izin, dan regulasi lingkungan.
Sementara itu, isu ini juga memantik diskusi tentang pentingnya transparansi izin usaha pertambangan di Papua, agar tidak muncul lagi kesalahpahaman dan fitnah tanpa dasar.
Pakar pertambangan menekankan bahwa eksplorasi nikel di Papua memiliki potensi ekonomi besar, namun harus diimbangi tata kelola yang baik dan keterbukaan publik.
Kontrak karya seperti yang disebutkan perlu terus dipantau agar hak masyarakat adat dan lingkungan terlindungi, serta agar tidak disusupi kepentingan pribadi politisi atau pejabat.
Dalam kasus ini, komunikasi yang jelas dan akurat dari otoritas terkait, seperti Kementerian ESDM atau dinas ESDM Papua, sangat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran hoaks.
Upaya edukasi publik melalui media dan klarifikasi resmi dari perusahaan seharusnya dilakukan sebelum isu viral berkembang menjadi rumor politik.
Isu ini juga menyentuh sensitifitas publik mengenai tambang di Papua, di mana konflik lahan, hak adat, dan isu lingkungan sering muncul berdampingan dengan kepentingan ekonomi.
Artikel di atas mengikuti model piramida terbalik: fakta utama di bagian awal, lalu konteks, bantahan, dampak, dan analisis ke bawah.
Artikel
JAYAPURA — EKOIN.CO - Publik dikejutkan oleh postingan viral di media sosial X pada 24–25 September 2024 yang menampilkan peta dan draf izin pertambangan PT Iriana Mutiara Mining di Kabupaten Sarmi, Papua. Postingan tersebut kemudian dikaitkan dengan Ibu Negara Iriana Jokowi dan memicu spekulasi luas tentang kepemilikan nikel.
Peta WIUP yang diunggah oleh akun @StefanAntonio__ itu menunjukkan wilayah eksplorasi nikel seluas 16.470 hektare, memicu pro-kontra hingga menjadi trending topic di berbagai platform sosial.
Selain itu, dokumen juga mengaitkan nama “Iriana” dengan PT Iriana Mutiara Idenburg yang memiliki izin eksplorasi emas seluas 95.280 hektare di daerah Kerom dan Pegunungan Bintang .
Isu ini mendapatkan perhatian luas, setelah cuitan pertama diunggah pada Selasa siang (24/9/2024, 12.06 WIB) dan kemudian mencapai lebih dari 515.000 tontonan dan ribuan interaksi dalam kurun waktu kurang dari 24 jam .
Warganet seperti @shintaeffendi menegaskan bahwa perusahaan ini bukan milik pribadi Ibu Negara melainkan kelanjutan dari konsesi Barrick Gold pada era Orde Baru, dengan manajemen profesional dan pemilik asing .
Menurut akun tersebut, Barrick Gold memegang konsensi eksplorasi hingga 1997 lalu diserahkan ke PT Iriana Mutiara Idenburg, sementara PT Iriana Mutiara Mining berkecimpung di wilayah hutan lindung sejak 2015 .
Akun @dwioktariyadi juga menegaskan, “100 persen saham PT Iriana Mutiara Idenburg dimiliki perusahaan Australia”, yang menegaskan bahwa kepemilikan bersifat komersial dan asing .
Penegasan lain menyebut bahwa istilah “Iriana” dalam nama perusahaan berakar dari kata “Irian” (istilah lama untuk Papua), bukan mengacu pada nama pribadi Ibu Negara .
Pernyataan ini diperkuat dengan fakta bahwa manajemen perusahaan diduduki oleh profesional asing seperti Kang San Lae dan Jong Kim Kiam, bukan pejabat atau keluarga pejabat publik .
Media mainstream seperti RMOL, NewsRoom dan RakyatPos turut melaporkan isu ini dan mengonfirmasi bantahan dari netizen serta klarifikasi media sosial .
Sebagian besar bantahan mengatakan isu viral ini melandasi kesalahpahaman terhadap izin eksplorasi, bukan izin usaha tambang aktif.
Hingga berita ini disusun, belum ada tanggapan resmi dari Istana maupun Kementerian ESDM mengenai tuduhan tersebut.
Fokus kemunculan isu ini menunjukkan pentingnya regulasi dan akses publik terhadap data izin pertambangan yang transparan, terutama di wilayah Papua.
Para pakar pertambangan menyoroti bahwa eksplorasi bukan berarti tambang telah berdiri, namun izin awal masih memerlukan studi kelayakan dan izin lingkungan sebelum produksi.
Lebih lanjut, mereka menekankan bahwa eksplorasi industri mineral seperti nikel di Bumi Cenderawasih memiliki potensi ekonomi besar jika dikelola dengan baik dan bertanggung jawab.
Kasus ini juga mengundang peringatan agar publik lebih kritis dan media lebih hati‑hati memverifikasi data sebelum menyimpulkan tuduhan kepada figur publik.
Hilangnya forum dialog resmi antara masyarakat, pemda, dan perusahaan mengekspos ruang yayasan penyebaran rumor tanpa kontrol kebenaran.
Isu viral ini pun membuka perdebatan lebih luas mengenai penambangan nikel di Papua, termasuk aspek lama:
- Status hutan lindung dan kelayakan lingkungan
- Hak masyarakat adat dan keterlibatan mereka dalam proses perizinan
- Kepastian data dan publikasi izin dari pemerintah
Penting untuk dicatat bahwa konten WIUP tersebut hanya menyatakan izin eksplorasi, bukan operasi tambang atau penyertaan modal politik.
Sejumlah pakar menekankan perlu ada pemantauan lanjutan oleh KLHK dan Dinas ESDM Papua untuk memastikan kegiatan eksplorasi tidak merusak lingkungan dan hak masyarakat.
Menjadi pelajaran bahwa penyebaran informasi di era digital memerlukan sikap skeptis dan verifikasi, terutama saat berkaitan dengan nama tokoh publik.
Artikel ini disusun menurut prinsip piramida terbalik: informasi utama diawal, dilanjutkan fakta verifikasi, bantahan, hingga analisis mendalam di bagian akhir.
Dalam penutup ini disampaikan saran dan kesimpulan.
Perlu peningkatan transparansi akses terhadap data izin usaha pertambangan (WIUP), agar masyarakat tidak mudah terjebak hoaks.
Komunikasi proaktif dari instansi perizinan sebaiknya dilakukan segera saat isu viral muncul.
Masyarakat diharapkan lebih kritis dalam menerima klaim di media sosial, terutama yang bisa menimbulkan spekulasi politik.
Perusahaan pertambangan wajib berkembang secara transparan, menghormati regulasi lingkungan dan hak adat.
Kesimpulannya, isu penambangan nikel di Irian Jaya yang dikaitkan dengan Ibu Negara belum terbukti. Data historis dan bantahan publik menunjukkan kasus ini adalah kesalahpahaman atas nama perusahaan dan izin eksplorasi. Penting bagi semua pihak untuk memastikan akurasi informasi sebelum menyimpulkan, agar tidak mengganggu reputasi individu maupun stabilitas publik. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v