Gaza, EKOIN.CO – Kecaman keras datang dari ulama Mesir atas kunjungan sejumlah tokoh yang mengaku sebagai ulama Islam asal Eropa ke Israel di tengah agresi brutal militer zionis terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Salah satu suara paling lantang berasal dari Nazir Ayad, seorang mufti asal Mesir, yang menyebut kunjungan itu sebagai pengkhianatan terhadap hati nurani dan agama.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam pernyataannya, Nazir Ayad mengecam tajam pertemuan tersebut, yang terjadi saat warga sipil Palestina masih menjadi korban dari serangan militer Israel. Ia menyayangkan sikap para pengaku ulama Eropa yang memilih berkunjung ke Israel dan bertemu Presiden Isaac Herzog.
Ayad menyebut, tindakan itu adalah bentuk pemanfaatan agama secara politis, dengan menyamarkan niat politik di balik pakaian keagamaan. Ia menilai para tokoh itu telah memperindah citra kekerasan zionis dengan mengatasnamakan Islam.
“Saya sangat menyesalkan kunjungan tercela yang dilakukan oleh kelompok yang mempromosikan diri mereka sebagai tokoh agama,” ucap Ayad seperti dikutip dari Middle East Monitor pada Minggu, 13 Juli 2025.
Bentuk Pengkhianatan di Tengah Genosida
Mufti Mesir tersebut menyebut bahwa orang-orang tersebut telah “menjual hati nurani mereka dengan harga murah” dan memakai jubah agama hanya untuk tampil bersama para pemimpin Zionis dalam adegan yang ia sebut sebagai sangat memalukan.
Ia menekankan bahwa klaim membawa pesan perdamaian tidak dapat dibenarkan saat genosida terhadap warga sipil masih terus berlangsung di Gaza. Menurutnya, kunjungan itu menunjukkan ketidakpedulian terhadap penderitaan warga Palestina.
Ayad menyatakan bahwa slogan-slogan perdamaian yang diulang-ulang para tokoh tersebut hanyalah ilusi, yang sama sekali tidak menggambarkan realitas di lapangan, di mana rumah-rumah hancur, anak-anak menjadi korban, dan tangisan ibu-ibu tidak mendapat perhatian dunia.
“Mereka mengulang-ulang slogan kosong ini di tengah reruntuhan rumah, jasad anak-anak, dan tangisan para ibu di Gaza yang telah menghadapi pembantaian selama hampir dua tahun—tanpa berkedip sedikit pun,” ujar Ayad.
Kunjungan Kontroversial Pemuka Eropa
Sebelumnya, kantor Presiden Israel mengonfirmasi bahwa Isaac Herzog menerima kunjungan para pemuka agama dari sejumlah negara Eropa di kantornya di Yerusalem Barat pada Senin, 7 Juli 2025. Para tokoh itu berasal dari Prancis, Belgia, Belanda, Italia, dan Inggris.
Dalam postingan di platform X, Herzog membanggakan kunjungan tersebut dan menyebut para tamu sebagai pemimpin Muslim penting dari seluruh Eropa. Ia mengklaim mereka membawa pesan koeksistensi, kemitraan, dan perdamaian antara Israel dan dunia Islam.
Delegasi tersebut dipimpin oleh imam Prancis, Hassen Chalghoumi. Mereka menyampaikan pesan persatuan antara Muslim dan Yahudi serta mendukung dialog lintas agama. Namun klaim ini segera menuai kontroversi dan kecaman dari dunia Islam.
Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, menyatakan bahwa kunjungan tersebut tidak mewakili umat Islam. Dalam pernyataan resminya yang diunggah melalui akun Facebook, lembaga keagamaan tertinggi Mesir itu mengutuk keras tindakan para tokoh agama tersebut.
“Al-Azhar mengutuk keras kunjungan ini dari mereka yang pandangannya telah dibutakan, dan perasaan mereka diungkapkan oleh apa yang diukur oleh orang-orang yang tertindas ini seolah-olah mereka tidak peduli dengan aspek kemanusiaan, agama atau moral apa pun kepada orang-orang ini,” demikian pernyataan Al-Azhar, dikutip dari NU Online.
Lebih lanjut, Al-Azhar menegaskan bahwa kelompok tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sejati. Mereka dianggap telah mengkhianati peran ulama, pendakwah, dan imam yang seharusnya berpihak pada kaum tertindas.
Pernyataan Al-Azhar juga menekankan bahwa solidaritas kepada warga Palestina adalah bagian dari ajaran moral dan agama Islam. Karenanya, tindakan kunjungan ke Israel oleh tokoh-tokoh itu disebut sebagai pelanggaran terhadap prinsip tersebut.
Kecaman terhadap kunjungan itu tidak hanya datang dari Mesir, tetapi juga dari berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia. Banyak yang menilai bahwa para pemuka agama tersebut telah mencederai perjuangan rakyat Palestina.
Di lapangan, situasi di Gaza masih sangat memprihatinkan. Pada akhir Juni 2025, warga Palestina terus berbondong-bondong menuju titik distribusi bantuan dari Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), termasuk di sekitar kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza Tengah.
Bantuan tersebut menjadi satu-satunya sumber makanan dan obat-obatan di tengah blokade ketat yang diberlakukan militer Israel. Gambar-gambar yang dirilis media memperlihatkan antrean panjang warga untuk memperoleh bahan kebutuhan dasar.
Namun demikian, kunjungan para tokoh agama Eropa ke Israel terjadi di tengah penderitaan warga sipil Palestina yang tak kunjung usai. Fakta ini memicu kemarahan luas dari masyarakat Muslim dunia.
Dalam konteks geopolitik yang terus memanas, tindakan para tokoh tersebut dianggap semakin memperlebar jurang antara klaim damai dan kenyataan lapangan. Banyak pihak mendesak agar pemimpin agama tetap berdiri bersama nilai-nilai keadilan.
Ke depan, dunia internasional diminta untuk tidak menutup mata terhadap kekejaman yang terjadi di Gaza. Solidaritas harus terus digaungkan, bukan hanya dalam retorika, tetapi juga dalam tindakan nyata yang berpihak pada kemanusiaan.
Penting bagi umat Muslim untuk tetap kritis terhadap berbagai bentuk manipulasi simbol keagamaan demi kepentingan politik. Para pemimpin agama diminta tetap konsisten menjaga integritas dalam membela kaum tertindas.
peristiwa ini menunjukkan bahwa simbol agama dapat dengan mudah diselewengkan demi pencitraan politik. Oleh karena itu, kehadiran tokoh-tokoh yang mengklaim mewakili Islam namun bertindak sebaliknya perlu menjadi perhatian bersama.
Peran pemuka agama seharusnya menjadi penegak moral dan suara bagi mereka yang tertindas, bukan alat legitimasi bagi pelaku penindasan. Komunitas internasional perlu lebih selektif terhadap klaim-klaim representasi agama dalam politik global.
Solidaritas terhadap Palestina tidak seharusnya dikaburkan oleh retorika perdamaian palsu. Dunia Islam diharapkan tetap berpihak pada keadilan dan penderitaan nyata yang dialami rakyat Gaza.
Media massa dan lembaga keagamaan harus terus mengedukasi masyarakat agar tidak tertipu oleh propaganda yang dibungkus jubah agama. Keberpihakan pada kemanusiaan harus menjadi kompas utama dalam menyikapi konflik.
penting untuk mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam semua bentuk diplomasi keagamaan. Tokoh agama yang benar-benar memperjuangkan perdamaian harus memiliki rekam jejak solidaritas terhadap korban perang.
Masyarakat Muslim dunia perlu meningkatkan literasi politik dan keagamaan, agar tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda simbolik. Konsistensi dalam berpihak kepada yang lemah menjadi hal mendasar dalam nilai-nilai Islam.
Lembaga-lembaga Islam global juga perlu lebih aktif dalam mengadvokasi hak-hak rakyat Palestina, tidak hanya dalam forum internasional, tetapi juga di tingkat komunitas akar rumput.
Perlu dikembangkan forum lintas agama yang benar-benar memperjuangkan perdamaian yang adil dan setara, bukan sekadar basa-basi diplomatik. Dialog lintas iman harus memperjuangkan keadilan, bukan menjadi alat politik.
Akhirnya, generasi muda Muslim harus dibekali pemahaman utuh tentang konflik Palestina, termasuk bagaimana mengenali manipulasi politik berbasis agama. Kritis terhadap informasi adalah kunci untuk tetap membela nilai kemanusiaan secara konsisten.(*)