Washington EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan pernyataan kontroversial terhadap kelompok negara berkembang BRICS, menyebut bahwa aliansi tersebut akan segera berakhir jika terus berupaya bersatu secara strategis. Dalam pernyataannya yang dikutip dari Reuters pada Sabtu, 19 Juli 2025, Trump menyatakan bahwa ia akan mengambil langkah tegas terhadap negara-negara anggota BRICS yang dianggap mendukung kebijakan anti-Amerika.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Trump, keberadaan kelompok BRICS yang terdiri dari enam negara telah menjadi perhatian serius baginya. “Ketika saya mendengar soal kelompok BRICS ini, enam negara, pada dasarnya saya langsung menghantam mereka dengan sangat keras. Dan jika mereka benar-benar bersatu secara bermakna, itu akan segera berakhir,” ucap Trump, tanpa menyebut nama negara secara spesifik.
Ancaman itu diperkuat oleh kebijakan ekonomi terbaru Trump yang diumumkan pada 6 Juli lalu. Ia menyatakan akan menerapkan tarif impor sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang mendukung kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat. Langkah ini diyakini sebagai bagian dari strategi Trump untuk menekan pengaruh ekonomi BRICS secara global.
Trump menambahkan bahwa dirinya tidak akan membiarkan pihak manapun “mempermainkan” Amerika Serikat, termasuk melalui kerja sama multilateral yang dianggap merugikan ekonomi nasional. Ia juga memperingatkan bahwa negara-negara yang berpihak pada BRICS akan menghadapi dampak kebijakan ekonomi yang signifikan.
Ancaman terhadap dominasi ekonomi BRICS
Sikap keras Trump terhadap BRICS juga terlihat dari penolakannya terhadap berbagai inisiatif moneter yang dianggap melemahkan dominasi dolar AS. Ia menolak gagasan penerbitan mata uang digital oleh bank sentral AS (CBDC), dengan menyatakan bahwa selama pemerintahannya, ide itu tidak akan pernah diwujudkan.
Pernyataan Trump muncul di tengah kegagalan forum-forum besar seperti G7 dan G20 dalam menyatukan pendekatan kolektif terhadap isu-isu global. Menurut pengamat, retorika Trump yang kembali mengusung kebijakan “America First” telah memicu ketegangan dalam berbagai kerja sama internasional.
Sejak pengumuman kebijakan tarif tersebut, Trump berulang kali menyatakan bahwa BRICS dibentuk dengan tujuan utama melemahkan kekuatan global AS, khususnya terhadap dominasi dolar. Ia menuduh BRICS secara sistematis mencoba menggeser pusat kekuatan ekonomi dunia ke arah Timur.
Namun, hingga kini, tidak ada bukti konkret yang disampaikan oleh Trump untuk mendukung klaim tersebut. Meski demikian, ia tetap melanjutkan narasi bahwa BRICS merupakan ancaman bagi stabilitas ekonomi AS.
Respons dari negara-negara BRICS
Di sisi lain, pemimpin-pemimpin BRICS telah membantah tudingan Trump. Mereka menyatakan bahwa tujuan utama kerja sama BRICS bukanlah untuk menyaingi atau melawan Amerika Serikat, melainkan menciptakan sistem ekonomi global yang lebih seimbang dan multipolar.
BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan anggota baru lainnya, terus menegaskan komitmen mereka terhadap kerja sama pembangunan dan reformasi lembaga keuangan global. Dalam beberapa pertemuan terakhir, aliansi ini juga menolak segala bentuk politisasi ekonomi internasional.
Menurut pernyataan resmi dari BRICS, mereka menolak segala bentuk proteksionisme dan menyatakan bahwa setiap upaya unilateralisme dapat mengganggu stabilitas dan pemulihan ekonomi dunia. Mereka menyerukan peningkatan kerja sama multilateral yang inklusif.
Sementara itu, banyak pengamat internasional melihat pernyataan Trump sebagai bagian dari retorika kampanye yang berupaya membangun dukungan dalam negeri menjelang pemilu AS. Hal ini mengingat pendekatan serupa pernah digunakan Trump pada masa kampanye sebelumnya.
Sejumlah negara anggota BRICS telah menyampaikan bahwa mereka tidak akan terpengaruh oleh ancaman tarif atau retorika agresif dari negara mana pun. Mereka menekankan pentingnya dialog yang adil dan seimbang dalam hubungan internasional.
Beberapa analis memperkirakan bahwa sikap Trump terhadap BRICS dapat memicu ketegangan baru dalam hubungan perdagangan global, terutama jika tarif benar-benar diterapkan terhadap negara-negara yang tergabung dalam aliansi tersebut.
Selain itu, ancaman kebijakan tarif juga dapat berdampak terhadap investor dan pasar keuangan global, mengingat beberapa negara BRICS memiliki peran penting dalam rantai pasok dunia dan pasar energi.
Hingga saat ini, belum ada respons resmi dari Gedung Putih mengenai apakah kebijakan tarif tersebut sudah dirumuskan secara rinci atau masih dalam tahap wacana. Namun pernyataan Trump telah memicu berbagai spekulasi di kalangan pelaku pasar.
Beberapa lembaga pemantau ekonomi internasional menyarankan agar semua pihak menjaga stabilitas hubungan perdagangan global. Mereka juga mengingatkan agar tidak menggunakan kebijakan tarif sebagai alat tekanan politik.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum memberikan komentar terhadap pernyataan Trump, namun dalam laporan sebelumnya, WTO menekankan pentingnya peraturan perdagangan yang berbasis aturan dan dialog antarnegara.
Sementara itu, media internasional menyoroti bagaimana retorika Trump ini berpotensi mengganggu proses diplomasi ekonomi global, terlebih saat dunia sedang berupaya keluar dari krisis ekonomi pasca-pandemi dan konflik geopolitik yang terus berlangsung.
Salah satu isu utama yang masih berkembang adalah bagaimana negara-negara BRICS akan merespons kebijakan baru dari Trump jika ia terpilih kembali sebagai Presiden AS. Beberapa pengamat menyebut bahwa tantangan ke depan adalah menyeimbangkan kepentingan nasional dengan kerja sama global.
Jika ketegangan antara AS dan BRICS terus meningkat, maka dampaknya bisa meluas hingga memengaruhi kestabilan ekonomi global dan pergeseran kekuatan geopolitik di masa mendatang.
dari perkembangan ini menunjukkan bahwa hubungan antara AS dan BRICS sedang berada pada titik krusial. Pernyataan Trump yang tegas memperlihatkan pendekatan konfrontatif terhadap kerja sama ekonomi global yang melibatkan negara-negara berkembang. Hal ini berpotensi memicu respons balik yang memperburuk ketegangan diplomatik dan perdagangan di tingkat internasional.
Sementara itu, ketegangan ini bisa menjadi pemicu bagi negara-negara BRICS untuk memperkuat aliansi mereka dan mempercepat inisiatif-inisiatif strategis yang sebelumnya masih dalam tahap pembahasan. Isu ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral antara AS dan negara BRICS, tetapi juga berpotensi menciptakan dinamika baru dalam politik global.
Sikap Trump yang menolak CBDC dan mempertahankan dominasi dolar juga menunjukkan bahwa ia masih berfokus pada kekuatan ekonomi tradisional AS. Namun demikian, penolakan terhadap inovasi moneter global bisa menjadi tantangan bagi masa depan sistem keuangan internasional.
Dengan demikian, dinamika ini menunjukkan adanya perubahan arah dalam hubungan multilateral, di mana negara-negara besar seperti AS dan BRICS semakin menunjukkan perbedaan pandangan strategis. Perkembangan ke depan akan sangat bergantung pada respons diplomatik dan kebijakan ekonomi dari masing-masing pihak.
Sebagai penting bagi Amerika Serikat untuk membuka ruang dialog terbuka dengan negara-negara BRICS agar tidak menimbulkan eskalasi yang tidak perlu. Pendekatan yang mengutamakan kerja sama jangka panjang dapat mencegah lahirnya blok-blok ekonomi yang saling bertentangan.
Negara-negara BRICS pun sebaiknya tetap fokus pada misi awal mereka dalam menciptakan keadilan ekonomi global, tanpa terpancing oleh provokasi retorik. Keteguhan pada prinsip multipolar dan kerja sama damai akan menjadi kekuatan utama mereka dalam menghadapi tekanan.
Para pelaku pasar global juga diharapkan dapat membaca situasi ini dengan cermat, serta mengambil langkah mitigasi terhadap potensi ketidakpastian yang mungkin timbul dari ketegangan ini. Stabilitas pasar perlu menjadi prioritas bersama.
Selain itu, media dan lembaga pemantau internasional diharapkan dapat terus menyuarakan pentingnya diplomasi dan komunikasi terbuka antarnegara dalam menyikapi perbedaan kebijakan. Informasi yang akurat dan berimbang akan membantu meredam eskalasi yang tidak diinginkan.
Terakhir, masyarakat internasional perlu terus mendorong agar seluruh pemimpin dunia tidak menggunakan kebijakan ekonomi sebagai alat tekanan politik. Sebaliknya, kerja sama inklusif dan saling menguntungkan harus dijadikan dasar dalam membangun tatanan global yang lebih stabil dan adil. (*)