SURIN, Thailand – EKOIN.CO – Puluhan ribu warga sipil terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat bentrokan bersenjata antara Thailand dan Kamboja yang memasuki hari ketiga pada Sabtu, 26 Juli 2025. Konflik bersenjata ini terjadi di wilayah perbatasan kedua negara dan telah menewaskan sedikitnya 32 orang.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kementerian Kesehatan Thailand melaporkan bahwa sebanyak 58.000 orang mengungsi ke tempat penampungan darurat di empat provinsi perbatasan. Di sisi lain, otoritas Kamboja menyebutkan lebih dari 23.000 warganya telah dievakuasi dari kawasan dekat garis perbatasan.
Bentrokan ini memunculkan kekhawatiran luas akan pecahnya konflik berkepanjangan di Asia Tenggara. Dewan Keamanan PBB pun mengadakan pertemuan darurat tertutup pada Jumat, 25 Juli 2025, di New York untuk membahas situasi tersebut.
Permintaan Gencatan Senjata dan Mediasi ASEAN
Dalam pertemuan itu, Dewan Keamanan tidak mengeluarkan pernyataan resmi, tetapi seorang diplomat menyatakan bahwa seluruh 15 anggota dewan mendesak kedua negara untuk meredakan ketegangan. Mereka juga mendorong Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) agar turun tangan menyelesaikan konflik.
Duta Besar Kamboja untuk PBB, Chhea Keo, menyampaikan kepada wartawan bahwa pihaknya mendesak “gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan penyelesaian damai atas sengketa ini.” Kamboja juga membantah tuduhan telah menyerang Thailand lebih dahulu.
“Kami tidak menyerang. Bagaimana negara kecil tanpa angkatan udara bisa menyerang negara yang militernya tiga kali lebih besar?” kata Keo. Ia menegaskan bahwa Dewan Keamanan juga meminta agar kedua negara menahan diri secara maksimal dan mencari jalan keluar melalui diplomasi.
Keo menambahkan, Kamboja telah mengikuti seruan damai itu dan menunggu respons dari semua pihak. Duta Besar Thailand untuk PBB tidak memberikan pernyataan usai pertemuan tersebut.
Kondisi Terkini dan Upaya Diplomatik
Pertempuran dipicu oleh ledakan ranjau darat di perbatasan pada Rabu, 23 Juli 2025, yang menyebabkan lima tentara Thailand luka-luka. Sejak saat itu, konfrontasi bersenjata terus terjadi dan telah merenggut nyawa 19 warga Thailand, sebagian besar warga sipil. Sementara Kamboja mengonfirmasi 13 korban tewas, termasuk 12 korban baru pada Sabtu.
Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menyebut Kamboja mungkin telah melakukan kejahatan perang akibat serangan yang merusak rumah sakit dan menyebabkan kematian warga sipil. Ia menegaskan bahwa Thailand telah menunjukkan “pengekangan dan kesabaran maksimal” dalam menghadapi agresi tersebut.
Konflik bersenjata ini menjadi kasus langka antar negara ASEAN, meskipun Thailand sebelumnya pernah terlibat ketegangan dengan Kamboja dan Myanmar. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan pada Jumat bahwa kedua negara telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan menarik pasukan, namun masih membutuhkan waktu sebelum langkah itu dijalankan.
Anwar menyatakan telah berbicara dengan pemimpin Kamboja Hun Manet dan Phumtham dari Thailand, serta mendesak keduanya membuka ruang untuk “dialog damai dan penyelesaian diplomatik.” Malaysia juga menawarkan diri untuk memfasilitasi perundingan antara kedua pihak.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres turut menyerukan pengekangan diri dan mengimbau Thailand dan Kamboja menyelesaikan perselisihan melalui dialog. Pernyataan ini disampaikan oleh wakil juru bicara PBB Farhan Haq dalam konferensi pers di New York.
Hingga kini, belum ada kejelasan kapan gencatan senjata akan diterapkan sepenuhnya. Kedua negara tampak masih mempersiapkan langkah-langkah untuk meredakan situasi. ASEAN sebagai organisasi regional juga belum mengumumkan langkah resmi mediasi.
Ketegangan di wilayah perbatasan antara Thailand dan Kamboja sudah berlangsung lama, namun eskalasi kekerasan kali ini termasuk yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir. Situasi ini mengancam stabilitas regional dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga.
Sebagian besar warga yang mengungsi kini tinggal di tenda-tenda darurat dan tempat penampungan sementara. Otoritas di kedua negara telah mengerahkan bantuan makanan dan obat-obatan ke lokasi pengungsian, meskipun keterbatasan logistik masih menjadi kendala.
Masyarakat internasional, termasuk negara-negara anggota ASEAN, terus memantau situasi dan mendorong agar dialog segera dilakukan. Para pengungsi berharap bisa segera kembali ke rumah mereka setelah kondisi aman.
Belum ada laporan lanjutan mengenai kerugian infrastruktur secara detail, tetapi kerusakan pada rumah-rumah dan fasilitas umum dilaporkan cukup parah, terutama di desa-desa dekat garis perbatasan.
Kementerian Luar Negeri Thailand menyatakan masih menunggu respons resmi dari Kamboja terkait rencana perundingan damai. Sementara itu, pemerintah Kamboja menyatakan kesiapan untuk berdialog dalam forum regional.
Dalam perkembangan terakhir, pejabat senior ASEAN dijadwalkan bertemu pekan depan untuk membahas langkah konkret meredakan ketegangan. Negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam disebut-sebut mendukung inisiatif mediasi bersama Malaysia.
Konflik ini menunjukkan pentingnya mekanisme resolusi damai di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara ASEAN diharapkan mampu menyatukan suara guna mencegah eskalasi lebih lanjut yang berpotensi meluas.
Dengan meningkatnya jumlah korban dan pengungsi, komunitas internasional menyerukan bantuan kemanusiaan segera, sekaligus menegaskan pentingnya stabilitas dan perdamaian di kawasan yang selama ini relatif damai.
Diharapkan upaya diplomatik akan segera membuahkan hasil konkret agar penderitaan warga sipil bisa diakhiri. Sementara itu, semua pihak diminta menjaga situasi agar tidak semakin memburuk.
dari konflik antara Thailand dan Kamboja ini menunjukkan pentingnya penyelesaian damai atas sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama. Eskalasi kekerasan telah mengorbankan banyak nyawa dan memaksa puluhan ribu warga mengungsi. Jika tidak ditangani dengan baik, konflik ini dapat memperburuk stabilitas kawasan.
Langkah ASEAN dan PBB dalam memediasi sangat krusial untuk mencegah konflik berkepanjangan. Dukungan dari negara-negara tetangga serta keterlibatan organisasi internasional diharapkan mampu mendorong kedua negara menuju gencatan senjata. Proses perundingan harus segera dimulai agar tidak timbul dampak kemanusiaan lebih besar.
Sementara itu, pemerintah kedua negara diminta memberi prioritas pada perlindungan warga sipil. Bantuan kemanusiaan yang memadai sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Kondisi di lapangan harus dipantau agar korban jiwa tidak terus bertambah.
Komitmen politik dari para pemimpin Thailand dan Kamboja sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan damai. Keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat sipil, harus dimaksimalkan untuk membangun kepercayaan antar negara.
Perdamaian dan stabilitas di kawasan ASEAN adalah tanggung jawab bersama. Konflik bersenjata seperti ini sebaiknya tidak terulang lagi, agar pembangunan dan kesejahteraan masyarakat bisa terjamin. (*)