Jakarta EKOIN.CO – Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memperingatkan agar para pemimpin tidak bermain-main dengan kekuasaan. Peringatan tersebut disampaikannya dalam acara di Menara Bank Mega, Jakarta, pada Rabu (30/7/2025), sebagai refleksi mendalam terhadap dinamika kekuasaan yang bisa berujung pada kehancuran suatu negara jika disalahgunakan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
SBY menyampaikan pandangannya setelah menelaah pemikiran sejarawan Inggris, Lord Acton, yang dikenal dengan adagium “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Ia menilai bahwa pemikiran tersebut masih sangat relevan dalam konteks kekuasaan masa kini.
Dalam kesempatan tersebut, SBY juga menyoroti bahwa peradaban modern menghadapi tantangan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ia mengutip pemikiran Yuval Noah Harari, seorang sejarawan dan penulis asal Israel, yang dalam karyanya memaparkan risiko-risiko besar yang kini mengintai umat manusia.
“Yuval Harari dalam Homo Deus dan 21st Lesson for the 21st Century mengatakan bahwa peradaban modern menghadapi risiko baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya,” ujar SBY dalam forum tersebut.
Peringatan SBY tentang Risiko Kekuasaan Modern
Lebih lanjut, SBY menekankan pentingnya kesadaran global terhadap isu-isu besar yang kini nyata terjadi di seluruh dunia. Menurutnya, hal ini menuntut perhatian serius dari para pemimpin, baik di sektor politik, bisnis, maupun sosial.
“Sangat fundamental, terjadi di seluruh belahan dunia. Ini tentu mengingatkan para pemimpin dunia, baik pemimpin politik, pemimpin bisnis maupun pemimpin apapun. Jangan bermain-main dengan kekuasaan. Jangan menyalahgunakan kekuasaan,” tegas SBY.
Ia menambahkan bahwa kecenderungan korupsi akibat kekuasaan merupakan ancaman nyata, apalagi di era saat ini, ketika kekuatan teknologi dan informasi menjadi alat baru yang bisa memperbesar risiko tersebut.
SBY mengelaborasi lebih jauh tentang risiko modern yang disinggung oleh Harari. Ia menyebutkan kemunculan kecerdasan buatan (AI), disinformasi digital, serta senjata biologis sebagai ancaman global yang dapat mengendalikan, bahkan menghancurkan peradaban manusia.
“Apa itu? Hadirnya kecerdasan buatan, disinformasi digital, dan ancaman seperti krisis iklim dan senjata biologis. Harari mengatakan, saya kutip, ‘We are now powerful enough to destroy our entire civilization, but not wise enough to control our own powers,’” jelasnya.
Refleksi SBY atas Pelajaran Sejarah Dunia
SBY tidak hanya menyorot tantangan masa depan, tetapi juga menarik pelajaran dari sejarah. Ia mengutip karya George Orwell, sastrawan Inggris, yang sering menulis tentang pengawasan negara dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Kita menyaksikan langsung bagaimana kegagalan tersebut menghadirkan kehancuran nyata atas sebuah peradaban. Georges Orwell, seorang sastrawan Inggris, mengingatkan kita, ‘To walk through the ruined cities of Germany is to feel an actual doubt about the continuity of civilization,’” ungkap SBY.
Ia menjelaskan bahwa kutipan Orwell tersebut lahir dari pengalaman langsung melihat kehancuran Jerman setelah Perang Dunia II, yang menjadi bukti nyata dari kegagalan peradaban akibat kesalahan dalam penggunaan kekuasaan.
Menurut SBY, refleksi atas masa lalu penting agar kesalahan serupa tidak terulang. Ia menekankan bahwa pemimpin harus berhati-hati dalam memanfaatkan kekuasaan, karena konsekuensinya bisa fatal dan meluas.
Dalam penutupnya, SBY menyerukan agar semua pihak, baik di tingkat nasional maupun global, menyadari betapa besar tanggung jawab moral yang melekat pada kekuasaan. Kesadaran tersebut diharapkan mampu menjadi fondasi dalam membangun masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.
Ia mengajak masyarakat untuk terus kritis dan berpartisipasi dalam pengawasan kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan. Menurutnya, kontrol sosial yang sehat adalah bagian dari demokrasi yang harus dijaga bersama.
Mengingat kompleksitas tantangan modern, SBY menyarankan agar dialog antar pemimpin dunia terus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencari solusi bersama dan memperkuat kesepakatan global dalam menjaga stabilitas peradaban manusia.
Dalam konteks Indonesia, SBY mengingatkan bahwa sejarah bangsa ini telah mencatat berbagai dinamika kekuasaan. Oleh sebab itu, ia mendorong semua pemangku kepentingan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu yang bisa membahayakan masa depan negara.
Pentingnya tata kelola kekuasaan yang beretika dan bertanggung jawab menjadi pesan utama dalam refleksi tersebut. SBY berharap bahwa peringatan ini menjadi pengingat bagi generasi penerus tentang arti penting dari integritas dalam kepemimpinan.
Sebagai pidato SBY memberikan pengingat akan bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Ia menyatakan bahwa pemimpin harus mengedepankan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. Ini penting agar kekuasaan dapat digunakan sebagai alat membangun, bukan merusak.
Peringatan SBY mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi global yang kian kompleks dan tidak menentu. Ia menekankan bahwa kesiapsiagaan moral dan etika sangat diperlukan dalam menghadapi era teknologi dan geopolitik baru.
Masyarakat diharapkan lebih peka terhadap dampak kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran kolektif ini menjadi kunci dalam membentengi negara dari potensi keruntuhan akibat penyalahgunaan wewenang.
SBY kepada pemimpin masa kini dan mendatang seharusnya dijadikan rujukan utama dalam membentuk sistem pemerintahan yang kuat dan bertanggung jawab. Refleksi ini tidak hanya penting untuk Indonesia, tetapi juga untuk seluruh dunia.
Langkah konkret dalam pengawasan kekuasaan, pembangunan sistem checks and balances, serta edukasi publik menjadi sarana utama agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Hanya dengan demikian, peradaban bisa bertahan dan berkembang secara berkelanjutan. (*)