Medan, EKOIN.CO – Dugaan penyerobotan lahan negara yang mencapai ribuan hektare di wilayah Sumatera Utara kini menjadi sorotan tajam setelah laporan dari Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap keterlibatan sejumlah perusahaan besar dalam proyek properti mewah yang tidak disertai legalitas yang sah.
Dalam laporan resmi yang disampaikan IAW pada 28 Mei 2025 dengan nomor surat 001A/IAW/Dumas/V/2024, disebutkan bahwa PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II), anak usahanya PT Perkebunan Energi Nusantara 2 (PEN2), serta pengembang properti PT Ciputra KPSN atau dikenal sebagai Citraland, diduga menggarap lahan eks-HGU tanpa dasar hukum.
IAW menyatakan bahwa sekitar 5.873 hingga 8.077 hektare tanah negara telah dialihkan fungsinya menjadi kawasan permukiman elit, padahal izin hak guna usahanya tidak lagi berlaku karena tidak diperpanjang.
Center for Budget Analysis (CBA) merespons laporan tersebut dengan mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) guna melindungi aset negara dari penguasaan pihak swasta.
Dokumen hasil pemeriksaan BPK dengan nomor 26/LHP/XX/8/2024 tertanggal 30 Agustus 2024 mencatat adanya kerja sama operasi (KSO) antara PTPN II dengan Citraland yang merugikan negara, sebab hanya memperoleh porsi keuntungan sebesar 30 persen, sementara sisanya dikuasai mitra swasta.
BPK juga menemukan pembayaran yang dinilai tidak sesuai prosedur yakni “success fee” sebesar Rp8,27 miliar yang dibayarkan kepada pihak ketiga, tanpa perjanjian yang sah, menimbulkan indikasi penyimpangan keuangan.
Atas dasar temuannya, BPK merekomendasikan agar pola kerja sama tersebut dikaji ulang dan seluruh pihak yang bertanggung jawab dikenai sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik administratif maupun pidana.
Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, menekankan pentingnya Kejaksaan Agung segera turun tangan dengan menerbitkan Sprindik sebagai langkah awal penyelamatan aset negara.
“Sprindik Kejagung ini penting untuk menyelamatkan aset negara sebanyak 5.873 hingga 8.077 hektare di Sumatera Utara… tapi tanpa dasar hukum yang sah,” kata Uchok dalam keterangannya pada 29 Mei 2025.
Permasalahan bermula dari pengajuan perpanjangan HGU oleh PTPN II pada tahun 1999 hingga 2000 atas lahan seluas 62.161 hektare, namun hanya 56.341 hektare yang disetujui, sedangkan sisanya, sebanyak 5.873 hektare, tidak diperpanjang dan otomatis kembali menjadi milik negara.
Namun dalam praktiknya, lahan yang semestinya dikembalikan ke negara tersebut malah digarap kembali oleh anak usaha PTPN II melalui PT PEN2 yang menjalin kerja sama dengan Citraland.
Citraland kemudian membangun perumahan dan fasilitas komersial di atas lahan itu, meski status kepemilikannya belum memiliki kekuatan hukum yang sah.
Menurut informasi dari Harian Terbit, lahan tersebut dulunya milik NV Deli Maatschappij di masa kolonial Belanda, kemudian dinasionalisasi pada tahun 1958 dan diserahkan kepada negara. Pada 1965, sebagian lahan diberikan kepada PTPN II dalam bentuk HGU, sedangkan sebagian lainnya dialokasikan untuk reforma agraria.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menyebut bahwa sudah ada tiga kali somasi yang dilayangkan oleh Menteri ATR/BPN sejak 2023 hingga 2024 kepada pihak yang mengelola lahan, namun tidak diindahkan.
Iskandar menegaskan bahwa tindakan tersebut diduga kuat melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3, UU Keuangan Negara, serta KUHP dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
CBA menambahkan bahwa skema pembagian keuntungan 70:30 yang menguntungkan pihak swasta tersebut tidak memiliki prosedur yang transparan, sehingga patut diduga terdapat unsur penggelapan aset negara dan penyalahgunaan jabatan.
Hingga kini, Kejaksaan Agung belum memberikan tanggapan resmi terkait permintaan penerbitan Sprindik atas kasus tersebut, sebagaimana menjadi sorotan tajam dari sejumlah pengamat kebijakan publik.
Organisasi masyarakat seperti PorosJakarta mempertanyakan sikap pasif Kejagung dalam menangani dugaan penyerobotan lahan yang diduga melibatkan korporasi besar dan pejabat BUMN.
IAW mendesak agar pihak berwenang melakukan tindakan tegas, seperti penghentian sementara proyek, penyitaan aset, dan pemblokiran atas lahan yang menjadi sengketa hukum.
Dari sisi hukum, para ahli menilai kasus ini berpotensi menjerat pelaku yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, termasuk direksi BUMN dan manajemen pengembang properti.
Jika tidak segera diusut, kasus ini dikhawatirkan menjadi contoh buruk pengelolaan lahan negara dan membuka peluang praktik mafia tanah di sektor properti.
Selain itu, media turut mengungkap bahwa pembangunan proyek perumahan mewah oleh Citraland tetap berjalan di tengah ketidakjelasan status lahan.
Padahal, sesuai peraturan, lahan eks-HGU yang tidak diperpanjang harus dikembalikan kepada negara dan dapat dialokasikan untuk reforma agraria atau kepentingan umum.
Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, sebelumnya telah memberikan teguran resmi, namun belum disertai dengan langkah penegakan hukum yang konkret.
Bila Kejagung bergerak cepat dengan menerbitkan Sprindik, pengusutan pihak-pihak yang terlibat bisa dilakukan segera dan aset negara pun dapat diamankan.
Sementara itu, laporan dari BPK serta IAW dapat menjadi landasan hukum yang kuat untuk menindaklanjuti kasus ini baik secara administratif maupun pidana.
Publik juga diingatkan agar mengawasi proses ini dan memastikan tidak terjadi lagi praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset negara.
Di sisi lain, peran KPK dan Ombudsman juga dinilai penting untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan yang terjadi pada pengelolaan tanah eks-HGU di wilayah Sumatera Utara.
Bila tak segera ditangani, persoalan ini berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar serta mencoreng citra penegakan hukum di bidang pertanahan.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, Kejaksaan Agung perlu secepatnya mengambil langkah hukum dengan memulai penyidikan resmi terhadap kasus ini.
Langkah tersebut harus dibarengi dengan kebijakan pemblokiran atas aset yang disengketakan, serta penghentian sementara seluruh aktivitas di lokasi.
Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam proses verifikasi legalitas dan pengembalian aset negara sesuai ketentuan hukum.
Keterlibatan masyarakat sipil dan media sangat diperlukan dalam mengawal kasus ini agar tidak tenggelam di tengah kepentingan politik dan ekonomi.
Penerapan hukum yang tegas dan transparan dapat menjadi contoh bahwa negara serius dalam memberantas penyimpangan pengelolaan tanah negara.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v