JAKARTA, EKOIN.CO –
Pernikahan anak pertama sering kali menjadi momen penuh haru dan emosi bagi seorang ibu. Lebih dari sekadar hari bahagia, bagi sebagian ibu, hari itu adalah penanda perubahan besar dalam dinamika keluarga dan identitas dirinya sebagai orang tua.
Menurut psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, dr. Rini Andriani, M.Psi., ibu cenderung mengalami lonjakan emosional saat melepas anak pertamanya ke jenjang pernikahan. Hal ini disebabkan oleh keterikatan emosional yang sudah terbangun selama bertahun-tahun.
“Banyak ibu merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya. Anak yang selama ini menjadi pusat perhatian dan kasih sayang, kini telah berpindah ke fase kehidupan yang baru,” ujar Rini saat dihubungi pada Kamis, 19 Juni 2025.
Ia menyebut bahwa ikatan batin yang terbentuk sejak anak lahir tidak mudah terputus, bahkan setelah anak dewasa. “Ibu biasanya menjadi tokoh utama dalam tumbuh kembang anak. Ketika anak menikah, peran itu seakan bergeser,” tambahnya.
Gejala psikologis yang muncul pun beragam. Dari mulai rasa haru, senang, bangga, hingga rasa sepi, kehilangan, bahkan kesedihan mendalam. Ini bisa terjadi secara bersamaan dalam satu waktu.
Dalam beberapa kasus, menurut Rini, ibu mengalami gejala yang mirip dengan “empty nest syndrome” atau sindrom sarang kosong, meskipun anak belum benar-benar pindah dari rumah. “Hanya dengan melihat anak menikah, beberapa ibu merasa hidupnya tidak lagi sama,” jelasnya.
Pernikahan menjadi simbol bahwa anak telah memiliki kehidupan sendiri. Di sisi lain, ibu merasa perannya perlahan digantikan pasangan anaknya.
Seorang ibu bernama Yulia, 52 tahun, warga Jakarta Timur, mengaku menangis sepanjang malam menjelang hari pernikahan anak pertamanya, Raka. “Saya senang dia bahagia. Tapi saya merasa hampa, seperti kehilangan bagian tubuh saya,” ujarnya.
Yulia mengungkapkan bahwa ia sempat mengalami kesulitan tidur beberapa hari menjelang pernikahan. Ia juga merasa emosinya naik turun. “Saya ingat saat dia kecil, saya ajari jalan, saya suapi. Sekarang dia akan diurus orang lain,” ungkapnya lirih.
Dalam sesi konseling, beberapa ibu menyampaikan bahwa mereka merasa terabaikan ketika fokus keluarga berpindah kepada pengantin. Psikolog menyarankan agar ibu diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Rini mengatakan pentingnya peran anggota keluarga lain, terutama suami atau anak lain, untuk memberikan dukungan emosional. “Ini bukan soal tidak rela. Tapi lebih pada butuh waktu untuk beradaptasi,” tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya komunikasi terbuka antara ibu dan anak yang menikah. “Memberi ibu peran dalam persiapan pernikahan bisa membantu memperkuat rasa dihargai dan tetap dibutuhkan,” kata Rini.
Beberapa ibu mengalami perubahan rutinitas harian pasca pernikahan anak. Mereka tidak lagi sibuk menyiapkan kebutuhan anak, atau tidak mendengar suara anak di rumah setiap pagi.
Situasi ini menurut Rini bisa berdampak pada kestabilan psikologis ibu, terutama yang tidak memiliki aktivitas lain di luar rumah. “Ibu rumah tangga yang tidak bekerja cenderung lebih terdampak,” ujarnya.
Yulia mengaku setelah anaknya menikah, ia mencoba mengisi waktu dengan berkebun dan mengikuti pengajian. “Saya berusaha agar tidak merasa kosong. Tapi memang butuh waktu,” ungkapnya.
Sementara itu, psikolog menyarankan agar ibu menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum momen pernikahan datang. “Kesadaran bahwa anak akan tumbuh dan mandiri adalah bagian penting dari kesiapan emosional,” terang Rini.
Pernikahan anak bukanlah akhir, tapi awal dari fase baru dalam relasi orang tua dan anak. “Ibu tetap akan menjadi sosok penting, tapi bentuk hubungan akan berubah,” jelasnya.
Beberapa ibu justru merasa bahagia dan lega setelah anaknya menikah. Mereka merasa berhasil menjalankan tugasnya sebagai orang tua. Namun, Rini mengingatkan bahwa setiap ibu memiliki reaksi yang berbeda.
Hal itu dipengaruhi oleh kepribadian, kondisi psikologis, serta hubungan dengan anak. “Tidak semua ibu mengalami gejolak yang sama. Tapi penting untuk mengenali emosi yang muncul,” ujarnya.
Di sisi lain, anak yang akan menikah juga disarankan untuk lebih peka terhadap perasaan ibunya. “Ungkapan cinta dan terima kasih bisa membuat ibu merasa lebih tenang,” ucap Rini.
Yulia mengatakan bahwa pelukan dan ucapan “terima kasih sudah membesarkan aku” dari anaknya, membuatnya merasa dihargai. “Itu kalimat yang membuat hati saya hangat,” katanya.
Dalam budaya Indonesia, ibu sering kali menjadi pusat keluarga. Maka, perubahan seperti pernikahan anak bisa sangat mempengaruhi dinamika emosional.
Psikolog menyarankan agar ibu diberi ruang untuk berduka atas perpisahan simbolik ini. “Karena meski bahagia, ada bagian dari diri mereka yang merasa kehilangan,” jelas Rini.
Pernikahan adalah momen perubahan besar, bukan hanya untuk anak, tapi juga bagi ibu yang telah mendampingi sejak awal kehidupan.
Keluarga diminta tidak menganggap remeh dampak psikologis ini. “Sediakan ruang untuk cerita, pelukan, bahkan air mata,” tambah Rini.
Menurutnya, ibu yang memiliki support system yang baik akan lebih mudah melalui transisi ini.
Yulia kini merasa lebih tenang. Ia tetap berhubungan dekat dengan anak dan menantu. “Saya bersyukur, sekarang kami bisa saling mengunjungi dan tetap dekat,” katanya.
Psikolog menyarankan agar ibu terus membangun kehidupan pribadi yang sehat. “Beraktivitas di luar rumah, bersosialisasi, atau punya hobi baru sangat membantu,” kata Rini.
Penting pula membangun makna baru dalam kehidupan pasca pernikahan anak. Ini bisa memperkuat identitas pribadi di luar peran sebagai ibu.
Rini menegaskan, “Ibu yang bahagia akan tetap menjadi sumber dukungan bagi anaknya, bahkan setelah mereka menikah.”
Adaptasi ini memang tidak mudah, namun bisa dilalui dengan cinta, dukungan, dan komunikasi terbuka.
Rasa kehilangan yang muncul seiring anak menikah adalah hal wajar. Tapi itu bukan akhir, melainkan awal fase baru dalam hidup bersama.
Sebagai keluarga, penting untuk memahami bahwa emosi ibu adalah valid. Kehadiran, pengakuan, dan empati adalah bentuk kasih sayang yang tak ternilai. Sebaiknya ibu diberikan dukungan emosional yang nyata menjelang dan sesudah pernikahan anak. Anak pun disarankan untuk tidak hanya fokus pada persiapan teknis, tetapi juga memperhatikan kesiapan psikologis orang tuanya. Melibatkan ibu dalam proses pernikahan bisa menguatkan rasa keterlibatan dan pengakuan. Penting juga bagi ibu untuk mulai membangun kehidupan mandiri yang tidak sepenuhnya bergantung pada anak. Kegiatan positif bisa menjadi alat bantu penyesuaian yang sehat. Pernikahan anak pertama dapat menjadi titik kritis dalam dinamika emosional seorang ibu. Perasaan bahagia kerap bercampur dengan rasa kehilangan, yang bisa berdampak pada kondisi psikologis. Oleh karena itu, pemahaman dan dukungan dari keluarga sangat penting dalam proses transisi ini. Psikolog menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan empati sebagai jembatan antara generasi. Ketika ibu diberi ruang untuk merasa, mereka dapat menjalani fase ini dengan lebih tenang dan bahagia.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v