Jakarta EKOIN.CO – Pecahnya konflik militer antara Thailand dan Kamboja menimbulkan kekhawatiran atas stabilitas ekonomi di kawasan Asia Tenggara, termasuk potensi dampaknya terhadap Indonesia. Perang tersebut bisa mempengaruhi rantai pasok industri di wilayah ini, terutama sektor otomotif dan elektronik yang sangat tergantung pada perdagangan lintas negara.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa perang dapat mengakibatkan gangguan distribusi suku cadang yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menekankan bahwa jika PHK terjadi secara masif, maka daya beli masyarakat akan tertekan secara signifikan.
“Bisa berdampak ke gangguan rantai pasok industri otomotif dan elektronik sehingga picu PHK. Kalau PHK merebak maka pendapatan masyarakat akan merosot tajam,” ujar Bhima, Jumat (25/7).
Ia menambahkan bahwa Indonesia masih mendatangkan sebagian besar suku cadang untuk sektor otomotif dan elektronik dari Thailand. Oleh karena itu, eskalasi konflik bisa menghambat produksi pabrik-pabrik di Indonesia.
Gangguan Industri Bisa Sebabkan PHK
Bhima memperkirakan tekanan ekonomi bisa meningkat apabila pabrikan di Indonesia tidak mampu memperoleh bahan baku tepat waktu. Menurutnya, konflik ini bisa mengganggu efisiensi manufaktur dalam jangka pendek hingga menengah, terutama jika jalur perdagangan terganggu.
“Kalau sampai konflik ini mengganggu rantai pasok terutama barang-barang otomotif kemudian elektronik. Ini tentunya bisa memberikan tekanan juga pada pabrikan di Indonesia karena sebagian suku cadangnya didatangkan dari Thailand,” tambah Bhima.
Selain sektor industri, sektor pariwisata juga berpotensi terdampak, namun sekaligus menawarkan peluang. Thailand dan Kamboja selama ini menjadi magnet wisatawan asing. Bhima menyebut Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk menarik wisatawan asing lebih banyak.
“Jadi kalau dilihat ini kan menimbulkan kekhawatiran dan risiko bagi para wisatawan. Dan Indonesia bisa menangkap peluang untuk menarik wisatawan asing datangnya ke Indonesia,” jelas Bhima.
Ia menyarankan agar Indonesia memperkuat promosi wisata dan meningkatkan infrastruktur pendukung untuk mengoptimalkan potensi kedatangan wisatawan dari negara-negara lain yang biasanya memilih Thailand atau Kamboja.
Peluang Ekonomi Sekaligus Risiko Regional
Bhima juga menyinggung potensi gangguan terhadap server judi online yang banyak berbasis di perbatasan Thailand dan Kamboja. Jika terganggu, maka jumlah pemain judi online di Indonesia bisa berkurang, yang menurutnya menjadi dampak positif dari sisi sosial.
“Implikasinya sih diharapkan di perbatasan Kamboja dan Thailand ini itu kan banyak yang menjadi basis dari judi online. Harapannya terganggu karena perang sehingga judi onlinenya bisa berkurang dan itu menguntungkan masyarakat Indonesia,” kata Bhima.
Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai dampak konflik terhadap ekonomi Indonesia masih tergolong kecil, bahkan jika konflik meluas.
“Menurut saya sih belum ya. Menurut saya gini, kalau misalnya tadi Thailand ternyata mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi gara-gara konflik, maka memang kita terpengaruh, tapi relatif kecil,” ujar Tauhid.
Ia menilai bahwa dampak signifikan hanya mungkin terjadi jika konflik berkepanjangan dan menyebabkan perlambatan ekonomi Thailand yang merupakan salah satu mitra dagang regional penting.
Pemerintah Thailand telah meminta Indonesia mengambil peran mediasi untuk mencegah konflik semakin besar. Thailand menilai ASEAN lebih tepat menangani konflik ini dibandingkan lembaga internasional seperti PBB.
Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Piter Abdullah, sependapat bahwa konflik perbatasan ini tidak berpengaruh besar pada kegiatan ekonomi ASEAN saat ini. Namun ia memperingatkan bahwa kondisi bisa berubah jika konflik berlangsung lama.
“Kalau konfliknya itu melebar, semakin besar, dan dalam waktu yang cukup lama, itu saya kira baru berdampak signifikan terhadap lalu lintas perdagangan, mengganggu aktivitas ekspor-impor khususnya di negara-negara ASEAN,” terang Piter.
Ia memprediksi konflik tidak akan berlangsung lama dan kemungkinan besar akan berakhir dalam satu atau dua bulan ke depan. Menurutnya, baik Thailand maupun Kamboja tidak menginginkan eskalasi berkepanjangan.
Piter juga menjelaskan bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor-impor seperti negara-negara tetangga, sehingga dampak konflik terhadap perekonomian nasional relatif terbatas.
“Baik Thailand dan Kamboja itu bukan mitra dagang kita yang utama. Ekspor dan impor dalam perekonomian kita itu tidak signifikan konsumsinya. Kita lebih dipengaruhi oleh pasar domestik,” jelasnya.
Bhima menambahkan bahwa konflik ini bisa mengubah pandangan investor terhadap stabilitas kawasan ASEAN. Situasi ini dapat mengurangi daya tarik kawasan sebagai alternatif dalam konflik dagang global.
“Instabilitas ekonomi di tingkat ASEAN itu menjadi hal yang mengkhawatirkan. Apalagi banyak investor memandang ASEAN sebagai wilayah yang diuntungkan dari perang dagang. Situasi ini bisa berubah 180 derajat ketika wilayah ASEAN itu didera konflik,” kata Bhima.
Bhima kembali menegaskan bahwa gangguan produksi akibat konflik bisa memicu masalah lebih luas dalam industri di Indonesia, jika rantai pasok tetap terganggu dalam waktu lama.
dari kondisi ini menunjukkan bahwa konflik Thailand-Kamboja menjadi pengingat penting atas ketergantungan antarnegara dalam rantai pasok regional. Indonesia sebagai bagian dari kawasan ASEAN berpotensi terdampak secara ekonomi, meskipun dalam skala yang terbatas. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kesiapan dari pihak industri dan pemerintah sangat penting untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
dari para ahli menunjukkan perlunya Indonesia memperkuat industri dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada suku cadang impor, dan meningkatkan peran diplomatik sebagai penengah konflik kawasan. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia di tingkat regional dan global dalam menjaga stabilitas dan kepentingan nasional.
Selain itu, peluang di sektor pariwisata dan potensi penurunan aktivitas judi online akibat konflik harus dimanfaatkan secara strategis oleh pemerintah. Ini dapat meningkatkan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia juga disarankan mempercepat pembangunan infrastruktur penunjang ekonomi agar lebih tahan terhadap gangguan eksternal. Konflik regional bisa menjadi peluang memperkuat fondasi ekonomi nasional secara jangka panjang.
Diperlukan kebijakan jangka menengah untuk mendiversifikasi sumber pasokan industri dan memperkuat pasar domestik. Langkah ini penting agar perekonomian Indonesia tetap tumbuh di tengah ketidakpastian global dan regional. (*)