Jerusalem— EKOIN.CO – Upaya pembubaran parlemen Israel oleh kubu oposisi menemui jalan buntu pada Rabu dini hari, setelah mayoritas anggota Knesset menolak usulan tersebut dalam pemungutan suara yang berlangsung ketat. Sebanyak 61 anggota menyatakan penolakan, sementara hanya 53 yang memberikan dukungan terhadap mosi pembubaran itu.
Langkah untuk membubarkan parlemen yang diajukan oleh oposisi dipicu oleh meningkatnya tekanan dari masyarakat terkait pengecualian wajib militer bagi kalangan ultra-Ortodoks, terutama di tengah situasi konflik yang masih berlangsung di Jalur Gaza. Ketegangan dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pun meningkat.
Ketua Komite Pertahanan dan Urusan Luar Negeri, Yuli Edelstein, mengumumkan adanya kesepakatan prinsip antara partai-partai koalisi, termasuk faksi ultra-Ortodoks, terkait rancangan undang-undang baru yang mengatur ketentuan pengecualian wajib militer bagi pelajar yeshiva. Kesepakatan ini menjadi faktor utama yang meredam krisis politik tersebut.
Partai ultra-Ortodoks seperti Shas dan United Torah Judaism sebelumnya mengancam akan menarik dukungan dari koalisi jika undang-undang yang melindungi pelajar agama dari kewajiban militer tidak segera disahkan. Ultimatum mereka membuat posisi pemerintah goyah menjelang pemungutan suara atas mosi pembubaran.
Kubu oposisi yang dipimpin Yair Lapid dari partai Yesh Atid mengajukan mosi pembubaran parlemen pada 4 Juni lalu, dengan harapan pemungutan suara dilakukan pada 11 Juni. Namun rencana itu menghadapi hambatan besar ketika partai-partai agama menarik kembali dukungan mereka terhadap pembubaran.
Ketegangan mengenai pengecualian wajib militer kian meningkat sejak konflik antara Israel dan Hamas meletus di Gaza pada Oktober 2023. Lebih dari 400 tentara Israel gugur dalam konflik tersebut, sementara korban tewas dari pihak Palestina dilaporkan melebihi 50 ribu jiwa.
Tekanan publik pun meningkat terhadap kebijakan yang memungkinkan pemuda ultra-Ortodoks menghindari wajib militer. Isu ini menjadi sentimen utama dalam dinamika politik Israel, menciptakan jurang antara kelompok sekuler dan agama di tubuh parlemen.
Juru bicara partai Shas, Asher Medina, menyatakan pada Senin (9 Juni) melalui siaran Kol Beramah bahwa mereka siap mendukung pembubaran Knesset bila peraturan pengecualian wajib militer tidak segera disahkan. Namun, situasi berubah drastis dalam beberapa jam menjelang voting.
Perundingan intensif yang melibatkan pimpinan partai-partai agama dan pemuka komunitas menghasilkan keputusan untuk menunda dukungan terhadap pembubaran. Mereka memutuskan memberi waktu kepada pemerintah untuk menyusun teks hukum final.
Yuli Edelstein menyampaikan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan pokok dengan semua faksi, termasuk Degel HaTorah dan Agudat Israel, untuk menyelesaikan undang-undang terkait. Komitmen itu cukup untuk membatalkan dukungan terhadap mosi pembubaran.
Meski dua anggota Agudat Israel tetap memilih mendukung mosi pembubaran sebagai bentuk protes, jumlah suara tersebut tidak mencukupi untuk menggoyang mayoritas parlemen. Dengan hasil akhir 61 menolak dan 53 mendukung, mosi itu resmi gagal.
Konstitusi Israel mengatur bahwa mosi pembubaran yang gagal tidak bisa diajukan kembali dalam kurun waktu enam bulan. Hal ini memberi ketenangan sementara bagi koalisi Netanyahu yang berada di bawah tekanan politik.
PM Benjamin Netanyahu mendapatkan nafas tambahan untuk memimpin pemerintahannya, meski tantangan dari dalam koalisi masih belum sepenuhnya mereda. Isu wajib militer tetap menjadi batu sandungan yang belum terpecahkan.
Wakil dari Partai Buruh, Merav Michaeli, mengungkapkan bahwa mosi pembubaran diajukan demi mengakhiri kekuasaan yang dianggap tidak sehat. “Mosi ini krusial untuk mengganti pemerintahan beracun dan menghentikan perang,” ujarnya.
Pihak oposisi menganggap pembubaran Knesset sebagai satu-satunya jalan untuk mengubah arah kebijakan nasional dan menghentikan konflik berkepanjangan. Namun hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa mayoritas parlemen belum sependapat.
Setelah kesepakatan prinsip disepakati, proses penyusunan rincian hukum akan berlangsung di bawah koordinasi Komite Pertahanan. Teks undang-undang ini akan mengatur secara spesifik kriteria pengecualian wajib militer berdasarkan studi agama.
Pemuka agama dan partai ultra-Ortodoks sepakat untuk menunda voting demi memberikan waktu pada proses hukum yang lebih inklusif. Keputusan ini dianggap sebagai langkah kompromi untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Selama masa jeda enam bulan ke depan, segala bentuk mosi pembubaran yang baru tidak dapat diajukan. Parlemen Israel pun dipastikan akan bertahan setidaknya hingga akhir tahun ini, bahkan kemungkinan hingga pemilu berikutnya pada Oktober 2025.
Meski demikian, ketegangan di tubuh parlemen dan koalisi tetap terasa. Banyak pihak memantau apakah janji penyusunan undang-undang tersebut benar-benar direalisasikan oleh pemerintahan Netanyahu.
Kubu oposisi juga belum menyerah. Mereka menyatakan akan tetap memantau pelaksanaan kesepakatan dan siap bertindak kembali jika pemerintah dinilai ingkar terhadap komitmennya.
Isu pengecualian wajib militer sudah lama menjadi sumber ketegangan dalam politik Israel. Kali ini, tekanan meningkat akibat konteks perang yang memperbesar beban militer dan keadilan sosial.
Masyarakat sipil dan kelompok veteran turut menyuarakan keresahan terhadap ketimpangan dalam kewajiban bela negara. Mereka mendorong agar tidak ada golongan yang diberi keistimewaan dalam menghadapi ancaman nasional.
Perdebatan mengenai peran pemuda ultra-Ortodoks dalam militer mencerminkan ketegangan antara identitas agama dan kewarganegaraan di Israel modern. Situasi ini menjadi ujian berat bagi demokrasi negara tersebut.
Walau mosi pembubaran tidak lolos, krisis belum sepenuhnya usai. Pemerintah dituntut segera menyelesaikan ketidakpastian hukum terkait wajib militer guna mencegah munculnya krisis baru.
Kesepakatan yang dicapai masih bersifat umum dan belum dituangkan dalam naskah hukum final. Tantangan besar masih menanti dalam proses legislasi dan perundingan selanjutnya.
Kemungkinan gesekan dalam koalisi tetap terbuka jika partai-partai merasa komitmen pemerintah tidak dijalankan. Kekuatan koalisi Netanyahu bisa goyah jika tak ada kejelasan dalam waktu dekat.
Pemilu Israel berikutnya secara resmi dijadwalkan pada Oktober 2025. Jika tidak ada dinamika politik besar, parlemen yang sekarang masih akan tetap bertahan hingga saat itu.
Situasi ini menciptakan ruang bagi Netanyahu untuk meredakan konflik internal dan memperkuat basis dukungan di dalam pemerintahan. Namun dia tetap berada di bawah pengawasan ketat oposisi dan masyarakat.
Berbagai kelompok sipil akan terus memantau proses legislasi tentang pengecualian wajib militer. Mereka berharap proses tersebut berlangsung transparan dan adil bagi seluruh warga.
Sebagai saran, pemerintah perlu menanggapi serius suara masyarakat dan segera merumuskan kebijakan yang mengakomodasi prinsip kesetaraan dalam kewajiban bela negara.
Pemerintah juga perlu mempercepat perumusan undang-undang dengan melibatkan berbagai pihak agar tidak muncul persepsi bahwa negara hanya berpihak pada satu golongan.
Koalisi yang solid membutuhkan komunikasi politik yang terbuka dan saling menghargai. Pihak ultra-Ortodoks dan sekuler perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang tidak saling merugikan.
Media dan lembaga pengawas diharapkan memainkan peran aktif dalam mengawal proses ini demi menjaga demokrasi dan akuntabilitas pemerintahan.
Akhirnya, masa jeda enam bulan ini seharusnya digunakan untuk menyelesaikan akar masalah, bukan sekadar meredam gejolak sesaat. Pemerintah dituntut bekerja nyata untuk menyatukan bangsa. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v