Jakarta, ekoin.co – Dalam Editorial Media Indonesia yang tayang pada Selasa, 8 Juli 2025 di stasiun tv swasta, dengan tema ‘Dicintai Rakyat, Dibenci Penjahat’. Kejaksaan Agung (Kejagung) bukan lembaga yang menakutkan. Terkhusus bagi rakyat, terkecuali bagi penjahat. Setidaknya, dari hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga penyelenggara tergambarkan tingginya kepercayaan publik terhadap kejaksaan.
Bahkan, institusi Korps Adhyaksa itu meraih kepercayaan tertinggi publik untuk kategori aparat penegak hukum, melebihi Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penilaian publik kini sudah berbalik. KPK yang dibentuk pada 20 Desember 2002, memulai pendiriannya dengan penuh harapan. Apalagi saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sangat rendah. Tapi, dua dekade kemudian semuanya terbalik.
Kejaksaan yang dulu nyaris kehilangan kepercayaan, kini membalikkan keadaan. Bahkan, berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia alias LSI pimpinan Denny JA menunjukkan, lembaga pengacara negara itu berhasil memecahkan telur menjadi aparat penegak hukum paling dipercaya publik dalam satu dekade.
Tingginya kepercayaan itu tidak lain karena kejaksaan dianggap mampu hadir untuk menjawab harapan masyarakat dan bangsa dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Kejaksaan juga dipandang berani dalam melaksanakan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan tanpa pandang bulu, dengan tetap menjaga sisi humanis.
Harus diakui, Kejagung pun kini mewarnai lini masa. Mulai dari prestasi dalam penindakan kasus korupsi skala besar, seperti kasus korupsi BTS Kominfo dengan kerugian negara Rp8,03 triliun, kasus tata niaga timah di Bangka Belitung (hingga Rp 300 triliun), kasus PT Asabri dan Jiwasraya (gabungan kerugian lebih dari Rp39 triliun), hingga kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Sub holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023, Kejagung membetot perhatian secara total.
Ragam penindakan terhadap pencoleng uang rakyat itu jelas menggembirakan bagi publik. Apalagi, bila melihat nilai hasil korupsi yang mega fantastis, harapan publik agar institusi penegak hukum dapat menyelesaikan perang melawan korupsi dengan hasil kemenangan yang gilang-gemilang kini menyala lagi.
Semua rakyat selama ini marah saat uang negara yang mestinya jadi alat penting meraih kemakmuran, oleh para pemegang amanat malah jadi bancakan.
Maka, penindakan oleh Kejaksaan Agung terhadap koruptor juga menggambarkan keberpihakan institusi itu kepada masyarakat. Kejagung membuktikan bahwa pedang keadilan tidak tumpul ke atas tajam ke bawah.
Selain penindakan, Kejagung juga mampu mengembalikan aset-aset negara dalam jumlah fantastis. Pada 2024, aset negara yang dipulihkan diperkirakan lebih dari Rp1,3 triliun. Pemulihan ini jelas menggembirakan bagi publik karena kejaksaan tidak sekadar menghukum pencuri, tapi juga mengembalikan hasil curian ke negara.
Kejaksaan Agung juga jarang tersandung isu internal. Pimpinan kejaksaan minim terseret dalam pelanggaran etik, apalagi pidana. Publik pun memandang Kejagung sebagai lembaga profesional dan bersih.
Itu artinya, Kejagung juga mampu menerapkan komunikasi publik secara terbuka dan tegas. Hadir di media massa bukan lagi sebagai kegenitan untuk tampil, melainkan sebagai bentuk transparansi pertanggungjawaban publik.
Mereka sadar bahwa sebagai lembaga publik, Kejagung tidak bisa sepenuhnya bekerja dalam senyap, karena ada hak publik untuk tahu kinerja aparat hukum.
Kini dan ke depan, Kejagung harus menjaga terus kepercayaan publik itu. Jangan sampai ada cela walau nila setitik, apalagi sampai bermain mata dengan para pelaku kejahatan. Jangan pula menunda-nunda perkara, melemahkan dakwaan dan tuntutan, atau malah menghentikan perkara atas dasar yang tidak jelas. Jangan bebaskan orang bersalah, atau sebaliknya memenjarakan orang tidak bersalah. ()