JAKARTA, EKOIN.CO – Implementasi sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak 1 Januari 2025 menyebabkan gangguan signifikan pada aliran dana pengusaha. Masalah utama terletak pada penerbitan faktur pajak yang seharusnya berfungsi sebagai bukti transaksi sekaligus dasar pengenaan pajak. Akibatnya, likuiditas sejumlah pelaku usaha terganggu selama kuartal pertama tahun ini.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengungkapkan bahwa sebelum Coretax diberlakukan, rata-rata penerbitan faktur pajak melalui sistem seperti e-faktur mencapai 60 juta per bulan. Namun, sejak beralih ke Coretax, angka tersebut merosot menjadi 30-40 juta. “Artinya, setengah tagihan-tagihan invoicing itu enggak bisa dilakukan dengan baik,” jelas Ajib dalam Media Briefing Apindo, Selasa (13/5/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keterlambatan penerbitan faktur berimbas pada tertundanya invoice di tingkat pengusaha. “Ini yang kemudian pengusaha ketika mereka invoicing dapatnya bulan depan, bulan depan selanjutnya. Sehingga ada perlambatan cash flow dan lain-lain,” tegasnya. Kondisi ini turut berkontribusi pada melambatnya aktivitas ekonomi sepanjang Januari-Maret 2025.
Meski demikian, data terbaru DJP menunjukkan perbaikan progresif pada sistem Coretax. Hingga 20 April 2025 pukul 00.00 WIB, tercatat 198.859.058 faktur pajak berhasil diproses untuk masa pajak Januari-April. Rinciannya meliputi 60,3 juta faktur (Januari), 64,2 juta (Februari), 62,5 juta (Maret), dan 11,6 juta (April). Batas waktu penerbitan faktur pajak April masih diperpanjang hingga pertengahan Mei 2025.
Dari sisi teknis, latensi sistem sempat melonjak hingga 9,368 detik pada 15 April 2025, tetapi kembali turun drastis menjadi 0,102 detik per 18 April 2025. Fluktuasi ini dipicu tingginya volume permintaan penerbitan faktur pajak.