Teheran EKOIN.CO – Iran bersama tiga negara Eropa—Inggris, Prancis, dan Jerman—dilaporkan sedang menyiapkan pertemuan baru untuk membahas program nuklir Teheran. Rencana ini dikabarkan akan dilaksanakan pada pekan depan menyusul meningkatnya tekanan dari ketiga negara Eropa tersebut terkait keberlanjutan negosiasi. Jika pembicaraan tidak segera dilanjutkan, sanksi internasional terhadap Iran terancam diberlakukan kembali.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Informasi ini disampaikan oleh kantor berita Reuters pada Senin, 21 Juli 2025. Prinsip-prinsip dasar untuk pelaksanaan perundingan disebut telah dicapai oleh keempat negara. Namun, waktu dan tempat pertemuan masih dalam tahap konsultasi dan belum ditentukan siapa yang akan menjadi tuan rumah pembicaraan tersebut.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa dan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, baru-baru ini kembali membuka jalur komunikasi usai ketegangan yang dipicu serangan militer oleh Israel dan Amerika Serikat. Diskusi tersebut menandai pembicaraan langsung pertama setelah ketegangan antar pihak meningkat drastis.
Negosiasi Diwarnai Ancaman Snapback
Araqchi memperingatkan bahwa jika Eropa ingin berperan dalam menyelesaikan masalah ini, mereka perlu bersikap bertanggung jawab dan tidak menggunakan pendekatan berbasis tekanan. Ia juga menentang penggunaan mekanisme “snapback” yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum maupun moral.
Peringatan ini muncul setelah negara-negara Eropa menekankan bahwa kegagalan dalam melanjutkan negosiasi akan memicu aktivasi mekanisme snapback. Mekanisme ini memungkinkan diberlakukannya kembali sanksi internasional terhadap Iran sebagaimana yang tercantum dalam resolusi Dewan Keamanan PBB.
Sebelumnya, Iran dan Amerika Serikat sempat mengadakan lima putaran pembicaraan mengenai program nuklir mereka dengan Oman bertindak sebagai mediator. Namun, proses tersebut berakhir tanpa hasil konkret akibat kebuntuan soal tingkat pengayaan uranium.
Iran tetap bersikeras bahwa program nuklirnya hanya digunakan untuk keperluan sipil. Sementara itu, negara-negara Barat tetap khawatir bahwa pengayaan uranium yang tinggi bisa digunakan untuk membangun senjata nuklir, yang telah lama menjadi kekhawatiran global.
Ketidakpastian Lokasi dan Peran AS
Sejauh ini, tidak ada keterangan resmi mengenai negara mana yang akan menjadi tuan rumah pembicaraan baru tersebut. Negara-negara Eropa masih berkoordinasi untuk menetapkan tempat netral yang bisa memfasilitasi dialog diplomatik secara terbuka dan aman.
Sementara itu, Amerika Serikat tidak termasuk dalam rencana pembicaraan tersebut karena telah menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada tahun 2018. Langkah AS itu diambil pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, yang menyebut kesepakatan tersebut tidak efektif.
Perjanjian nuklir yang dikenal dengan sebutan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) awalnya ditandatangani pada tahun 2015. Pihak-pihak yang terlibat termasuk Iran, AS, Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Rusia. Setelah AS keluar, lima negara lainnya tetap berupaya menjaga keberlangsungan perjanjian tersebut.
Kondisi ini membuat Eropa menjadi pemain kunci dalam menjaga jalur diplomasi dengan Iran. Sebagai satu-satunya blok Barat yang masih terikat dengan JCPOA, Eropa menghadapi tekanan dari kedua sisi: menjaga hubungan baik dengan Iran sambil tetap menjaga posisi mereka dalam komunitas internasional.
Upaya terbaru ini dinilai penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut di kawasan Timur Tengah, yang saat ini juga mengalami ketegangan karena konflik-konflik lain. Penundaan atau kegagalan negosiasi bisa berdampak besar terhadap stabilitas regional.
Langkah untuk membuka kembali pembicaraan ini juga menjadi sinyal bahwa meski banyak tekanan dan hambatan, jalur diplomasi masih mungkin dilakukan. Eropa berharap Iran bersedia menunjukkan komitmennya secara terbuka terhadap kesepakatan internasional.
Meski detail pertemuan masih belum jelas, para diplomat menyebutkan bahwa proses penyusunan agenda telah memasuki tahap akhir. Kesepakatan prinsip sudah dirumuskan, hanya tinggal menunggu kejelasan teknis dan kesiapan negara-negara terkait.
Beberapa analis memperkirakan bahwa pembicaraan tersebut bisa digelar di salah satu negara netral seperti Swiss atau Austria, sebagaimana pertemuan sebelumnya. Namun, hal ini belum dikonfirmasi oleh pihak mana pun.
Juru bicara dari Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan bahwa mereka sedang berkoordinasi dengan mitra-mitra di Eropa untuk memastikan pembicaraan bisa berlangsung dalam suasana konstruktif dan tanpa tekanan politik yang berlebihan.
Langkah negosiasi ini sekaligus menjadi upaya Eropa mencegah krisis nuklir baru. Apabila sanksi internasional benar-benar diberlakukan kembali, maka situasi bisa semakin sulit dikendalikan, baik bagi Iran maupun stabilitas global.
Dari sisi Iran, pemerintah menilai bahwa keterlibatan Eropa harus bebas dari pengaruh pihak ketiga, khususnya Amerika Serikat, yang selama ini dianggap menjadi penghalang utama tercapainya kesepakatan baru.
Iran juga terus mendorong pengakuan atas haknya dalam mengembangkan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Negara itu menyatakan tidak akan tunduk pada tekanan unilateral ataupun ancaman sanksi sepihak.
Sementara itu, pejabat Uni Eropa menegaskan bahwa tujuan utama perundingan ini bukan untuk menghukum, melainkan membuka kembali peluang penyelesaian diplomatik yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.
situasi pembicaraan nuklir antara Iran dan negara-negara Eropa menandai adanya peluang baru bagi penyelesaian konflik melalui jalur damai. Kendati belum ada kepastian mengenai waktu dan lokasi, inisiatif ini menunjukkan bahwa jalur diplomasi masih terbuka. Dukungan dari komunitas internasional terhadap upaya ini sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas kawasan dan mencegah konflik berkepanjangan.
Langkah Eropa yang tetap terlibat dalam JCPOA mencerminkan tanggung jawab mereka dalam menjaga perjanjian non-proliferasi nuklir. Pendekatan ini dapat memberikan jalan tengah yang memungkinkan Iran mempertahankan hak sipilnya atas energi nuklir, namun tetap berada di bawah pengawasan ketat.
utama yang dapat diambil dari situasi ini adalah pentingnya komunikasi terbuka antara negara-negara yang bersengketa. Mekanisme mediasi seperti yang dilakukan Oman perlu diperkuat untuk menjembatani ketegangan dan mempercepat proses negosiasi.
Selain itu, negara-negara besar perlu menahan diri dari tindakan sepihak yang berisiko memperburuk keadaan. Sebaliknya, pendekatan multilateral dan berdasarkan hukum internasional akan lebih efektif dalam menciptakan solusi jangka panjang.
Terakhir, kesuksesan perundingan ini sangat tergantung pada kemauan politik dari semua pihak untuk menempatkan stabilitas global di atas kepentingan jangka pendek. Dunia internasional diharapkan terus mendorong solusi damai atas perbedaan nuklir yang ada di kawasan Timur Tengah. (*)