Jakarta, Ekoin.co – Pemerintah menetapkan kesepakatan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam penandatanganan resmi di Kompleks Kementerian Hukum, Jakarta, pada Senin, 23 Juni 2025. Kesepakatan melibatkan lima pemangku kepentingan utama, yakni Menteri Hukum, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan perwakilan Kementerian Sekretariat Negara.
Penandatangan itu membahas sekitar 6.000 poin permasalahan yang akan diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama. DIM mencakup sembilan norma utama yang ditujukan untuk memperkuat hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana serta keadilan restoratif.
Norma pertama adalah jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. Pemerintah memandang penting memastikan hak-hak dasar terlindungi sepanjang proses peradilan.
Norma kedua adalah perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas. Aspek ini dianggap krusial dalam mendukung akses keadilan yang setara.
Ketiga, penegasan mekanisme upaya paksa, termasuk penetapan tersangka dan pemblokiran aset. Hal ini bertujuan menghadirkan kepastian hukum dalam proses penyidikan.
Keempat, perluasan lingkup praperadilan. Ruang yang lebih aktif diharapkan bisa membatasi penyalahgunaan kewenangan aparat.
Kelima, pengaturan keadilan restoratif untuk menghadirkan alternatif penyelesaian perkara yang lebih manusiawi.
Keenam, ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dimensi keadilan ini ditujukan bagi korban maupun terpidana.
Ketujuh, penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota. Hal ini bertujuan mendorong peran serta advokat serta memberi perlindungan saksi.
Kedelapan, aturan pidana untuk korporasi dimasukkan untuk menjawab tantangan hukum modern.
Kesembilan, integrasi sistem peradilan pidana berbasis digital sebagai modernisasi proses hukum.
Penandatanganan dihadiri langsung oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Ketua MA Sunarto, dan Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto.
Supratman menekankan bahwa kolaborasi antar lembaga dalam penandatanganan ini menunjukkan koordinasi yang baik. Harapannya, kerja sama ini dapat berlanjut dalam bentuk kerja sama resmi di masa depan.
“Kita mencoba menghidupkan kembali dalam rangka koordinasi, tidak saling mengintervensi kewenangan yang ada di dalam undang‑undang ini,” ujar Supratman.
Ketua MA Sunarto juga menyatakan DIM telah mengakomodir aspirasi masyarakat dan memperjelas pembagian kewenangan antarlembaga, sehingga mencegah tumpang tindih.
“Berilah kewenangan hal-hal itu, semua yang teknis serahkan kepada penyidik. Kalau penuntutan, serahkan kepada penuntut karena yang lebih tahu adalah penuntutnya…” kata Sunarto.
Sunarto menambahkan bahwa aspek teknis tidak perlu diatur dalam KUHAP utama, namun dapat diatur melalui peraturan institusi seperti Perkap, Perja, dan Perma, agar tidak cepat usang.
Pada konferensi pers, Wamen Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa RKUHAP dibangun berdasarkan sistem peradilan pidana terpadu. Tiap institusi memiliki kewenangan dan harus berkoordinasi.
“Sistem peradilan pidana terpadu yang didalamnya ada Polri, kemudian Kejagung, dan MA sebagai penyeimbang di sini… peran advokat untuk menyeimbangkan kewenangan aparat penegak hukum,” jelasnya.
Edward menyatakan bahwa setelah penandatanganan DIM, pemerintah akan menyerahkannya kepada DPR, namun masih menunggu undangan resmi DPR agar penyerahan sah.
Saat ditanya detail isi DIM, Edward tidak membeberkan, karena DPR lah pihak yang akan mempublikasikannya setelah penerimaan.