Denpasar, Bali , -EKOIN – CO – Koperasi Jasa Karyawan Angkasa (KOKAPURA) resmi dipaksa angkat kaki dari Bandara Internasional I Gusti Nguravv
h Rai setelah gagal lolos seleksi mitra pengelola Energy Supply Station. Proses seleksi yang digelar PT Angkasa Pura Indonesia sejak 16 hingga 18 Juli 2025 itu masih dalam tahap administrasi, namun pemenang seleksi sudah mengarah kuat pada satu nama: PT Pasifik Energi Trans.
Keputusan ini disampaikan melalui surat resmi bernomor APL 1705/K8 03/2025/DPS B, yang menginformasikan bahwa perjanjian kerja sama antara PT Angkasa Pura Indonesia dan KOKAPURA,Sejak tanggal 01-01-2025 sampai dengan 31-12-2025, dapat diakhiri sewaktu-waktu, termasuk jika sudah ditetapkan pemenang baru dalam seleksi.
Pihak Angkasa Pura menyatakan bahwa Pasifik Energy Trans telah resmi ditetapkan sebagai pemenang seleksi pemanfaatan pengelolaan lahan untuk kegiatan Energy Supply Station di Bandara Ngurah Rai. Namun, penunjukan ini menuai kontroversi.
Klaim Kontribusi dan Bantahan Pasifik Energy Trans
Melalui Humas-nya, Safriyana, Pasifik Energy Trans membantah tudingan miring dan mengklaim kemenangan mereka berdasarkan kontribusi tertinggi selama dua tahun terakhir. “Kontribusi kami selama dua tahun mencapai angka nilai tertinggi di antara peserta lain, dan itu menjadi dasar utama penunjukan kami sebagai calon pemenang,” ujar Safriyana kepada Inews Medan, Minggu (13/7/2025).
Namun, klaim tersebut justru memicu kecurigaan. Pasalnya, dokumen seleksi masih dalam tahap awal ketika pemenang sudah seolah ditentukan. Hal ini memunculkan dugaan adanya intervensi, apalagi beredar informasi bahwa Pasifik Energy Trans memperoleh akses istimewa melalui nota dinas internal yang ditandatangani Direktur Utama PT Angkasa Pura, Muhammad Rizal Pahlevi—yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Komersil.
KOKAPURA: Dari Mitra Strategis ke Korban Penggusuran
Pembina KOKAPURA, I Gusti Ngurah Gede Yudhana—putra pahlawan nasional Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai—secara tegas menyebut proses seleksi tidak adil dan sarat dengan pengondisian. Ia mengungkapkan bahwa pihak KOKAPURA sempat dijanjikan posisi aman oleh General Manager Angkasa Pura, namun akhirnya digugurkan hanya karena persoalan administratif.
“Siapa pun yang ikut seleksi tidak akan menang. Kami sendiri diminta ikut seleksi oleh GM Angkasa Pura dengan janji tidak akan dikalahkan. Tapi kami langsung digugurkan hanya karena SKKP kami dianggap tidak memenuhi syarat,” ujarnya kecewa.
Padahal, KOKAPURA bukan pendatang baru. Sejak 2003, koperasi ini telah bermitra dengan Yayasan Karyawan Angkasa Pura (YAKKAP) dalam mengelola Energy Supply Station berbasis solar. Koperasi ini berdiri berdasarkan Akta Pendirian No. 438/BH/VII/12/67 dan diperbarui terakhir pada 20 Juli 2022. Selama 22 tahun, KOKAPURA menempati lahan 100 m² di area bandara sebagai basis operasionalnya.
Dukungan Hukum dan Harapan untuk Keadilan
Secara legal, posisi KOKAPURA didukung oleh sejumlah regulasi dan institusi. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, khususnya Pasal 63,pasal 2 yang berbunyi Menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang sudah berhasil di usahakan oleh koperasi untuk tidak di usahakan oleh badan usaha lainnya,,mengamanatkan perlindungan pemerintah terhadap koperasi dari persaingan tidak sehat. Dukungan juga datang dari Pemkab Badung dan Kementerian Koperasi RI, yang menekankan pentingnya menjaga eksistensi koperasi rakyat.
Kini, KOKAPURA menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi korporasi besar yang diduga bermain di wilayah strategis bandara. Banyak pihak mendesak pemerintah untuk turun tangan dan mengusut tuntas proses seleksi yang dinilai cacat.
“Koperasi bukan hanya entitas usaha, tapi wadah kesejahteraan bersama. Kami akan terus berjuang agar keadilan ditegakkan,” tutup Yudhana.
Kasus ini menjadi cermin masa depan koperasi di Indonesia: apakah akan tetap diberi ruang untuk tumbuh, atau harus menyerah pada tekanan elite bisnis dalam ruang-ruang