Jakarta, EKOIN.CO –
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diumumkan pada Kamis, 26 Juni 2025, berpotensi mengubah secara signifikan tahapan politik di Indonesia. Dengan memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pilkada, maka Pilkada berikutnya bisa digelar paling lambat pada tahun 2031, tergantung jadwal pelantikan Presiden dan DPR hasil Pemilu 2029.
MK Tegaskan Pemisahan Jadwal Pemilu Pusat dan Daerah
Majelis hakim MK menyepakati bahwa pemungutan suara untuk Pemilu Presiden, DPR, dan DPD sebaiknya tidak disatukan lagi dengan pemilihan kepala daerah. Alasan utamanya ialah mengurangi kompleksitas dan beban logistik yang terlalu besar jika diselenggarakan secara bersamaan.
Rentang Waktu Ditetapkan 2–2,5 Tahun Setelah Pelantikan
Berdasarkan amar putusan, Pemilu Daerah wajib diselenggarakan dalam waktu paling cepat dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden, DPR, dan DPD. Jadwal tersebut berpatokan pada pelantikan hasil Pemilu Nasional.
Pilkada 2031 Jadi Kemungkinan Terbuka
Karena pelantikan Presiden 2029 diprediksi terjadi pada Oktober 2029, maka jadwal Pilkada yang mengikuti rentang 2–2,5 tahun bisa berlangsung antara Oktober 2031 hingga awal 2032. Ini membuka peluang besar Pilkada serentak nasional baru bisa digelar pada akhir 2031.
Gugatan Dilayangkan Perludem
Putusan tersebut merupakan respons atas gugatan uji materi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka menilai pelaksanaan pemilu serentak penuh justru mengurangi efektivitas sistem demokrasi.
Amar Putusan Dibacakan Ketua MK Suhartoyo
Ketua MK, Suhartoyo, menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilihan dalam satu waktu hanya menyulitkan lembaga penyelenggara dan membingungkan pemilih. Dengan pemisahan ini, proses demokrasi diharapkan lebih efisien dan akuntabel.
Komisi II DPR Minta Regulasi Transisi
Wakil Ketua Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menyampaikan bahwa pemerintah dan DPR harus segera merumuskan regulasi baru yang mengatur masa transisi dan penyesuaian jadwal pilkada. Ia menyebut bahwa perubahan ini membawa implikasi hukum yang tidak bisa diabaikan.
Khozin Sebut Putusan MK Mengandung Paradoks
Dalam pernyataannya, Khozin mengungkapkan bahwa keputusan MK menyimpan potensi paradoks. Menurutnya, ketika MK menyatakan pemilu serentak tidak konstitusional, namun dalam waktu bersamaan tidak menetapkan formula konkret, maka muncul kebingungan dalam penerapan di lapangan.
DPR dan Pemerintah Didorong Segera Evaluasi UU
Untuk menghindari kekosongan hukum, DPR bersama pemerintah akan mengevaluasi Undang-undang Pemilu dan Pilkada. Langkah ini dinilai penting agar aturan teknis sejalan dengan ketetapan MK.
Kepala Daerah Bisa Menjabat Lebih dari Lima Tahun
Putusan MK juga membuka kemungkinan perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Jika Pilkada 2024 tetap digelar, maka kepala daerah terpilih bisa menjabat hingga 2031, atau lebih dari lima tahun.
Masa Jabatan DPRD Daerah Ikut Terpengaruh
Tak hanya eksekutif daerah, masa jabatan legislatif lokal, seperti anggota DPRD, juga dapat diperpanjang mengikuti skema pemilu yang baru.
Sistem Pilkada Serentak 2024 Masih Berlaku
Meski putusan MK sudah keluar, pelaksanaan Pilkada pada 2024 tetap berlangsung karena persiapan teknis sudah berjalan dan regulasi sebelumnya masih berlaku.
Evaluasi Besar Menanti KPU dan Pemerintah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama pemerintah harus mempersiapkan skenario besar untuk pemisahan pemilu agar proses demokrasi berjalan tanpa gangguan administratif.
Distribusi Logistik Bisa Lebih Teratur
Dengan pemisahan waktu, proses pengadaan dan distribusi logistik pemilu akan lebih terkendali. Tekanan kerja yang biasa muncul saat pemilu serentak pun bisa ditekan.
Partisipasi Pemilih Diharapkan Meningkat
MK menilai, pemisahan ini juga bisa meningkatkan kualitas partisipasi pemilih. Masyarakat akan lebih fokus pada kontestasi lokal dan nasional secara terpisah.
Kesiapan SDM Penyelenggara Jadi Fokus Baru
Peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu menjadi bagian penting dalam masa transisi. Sumber daya manusia di tingkat lokal akan mendapatkan pelatihan tambahan agar dapat mengelola pilkada dengan efektif.
Tantangan Penyesuaian Jadwal Pemilu
Penyesuaian jadwal pemilu akan memengaruhi banyak aspek. Di antaranya anggaran, perencanaan teknis, dan koordinasi antar lembaga.
KPU Siapkan Skema Alternatif
KPU telah menyatakan akan segera menyusun skema alternatif untuk menyesuaikan dengan jadwal yang diputuskan MK. Langkah ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan demokrasi.
Kementerian Dalam Negeri Tunggu Perintah Teknis
Kementerian Dalam Negeri masih menunggu koordinasi lanjutan dari pemerintah pusat untuk mengatur transisi masa jabatan kepala daerah yang akan diperpanjang.
Pakar Nilai Pemisahan Bawa Kejelasan
Beberapa pengamat politik menyambut baik keputusan MK. Menurut mereka, pemilu terpisah memberikan kejelasan dan kedalaman dalam kontestasi politik, baik lokal maupun nasional.
Namun Transisi Harus Dikawal Ketat
Namun demikian, para ahli mengingatkan agar masa transisi ini dikawal secara ketat. Tanpa pengawasan, perpanjangan jabatan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.
Masyarakat Harus Dilibatkan dalam Proses Legislasi
Komisi II DPR mengajak publik untuk aktif menyuarakan pandangan selama pembentukan aturan transisi. Proses legislasi yang terbuka akan meningkatkan legitimasi keputusan.
Partai Politik Diminta Bersikap Proaktif
Parpol juga dituntut untuk ikut menyampaikan masukan dan skema transisi agar jadwal pemilu ke depan bisa dijalankan dengan baik dan demokratis.
Pilkada 2031 Bisa Jadi Pemilu Lokal Terbesar
Jika benar digelar tahun 2031, Pilkada serentak akan menjadi peristiwa politik lokal terbesar karena mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia.
Putusan MK Jadi Titik Awal Format Baru Pemilu
Dengan ini, sistem pemilu Indonesia memasuki era baru. Formatnya tak lagi serentak penuh, melainkan bertahap berdasarkan level pemerintahan.
Perubahan besar seperti ini membutuhkan kesiapan yang matang dari seluruh pemangku kepentingan, terutama penyelenggara pemilu dan pemerintah pusat. Penundaan Pilkada hingga 2031 bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menyederhanakan sistem, namun perlu pengawasan agar tidak disalahgunakan.
Langkah pertama adalah menyusun aturan hukum yang jelas dan operasional. UU Pemilu harus segera disesuaikan agar tidak terjadi kekosongan hukum yang bisa merusak tatanan demokrasi lokal. Transisi ini wajib dilakukan secara inklusif dan melibatkan banyak pihak.
Masyarakat perlu diberi pemahaman melalui edukasi publik. Perubahan jadwal harus dikomunikasikan secara intensif, agar masyarakat tetap percaya pada sistem demokrasi dan tetap aktif menggunakan hak pilihnya di masa depan.
Pemisahan pemilu bisa memberikan ruang yang lebih luas bagi pemilih untuk fokus pada isu lokal dan nasional secara terpisah. Ini bisa meningkatkan kualitas pilihan dan hasil kontestasi politik secara menyeluruh.
Namun, seluruh proses harus diawasi oleh publik dan lembaga independen. Perpanjangan jabatan tanpa kontrol justru bisa menimbulkan kecurigaan. Maka, prinsip transparansi harus dijaga sejak awal hingga pelaksanaan pemilu yang baru nanti.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v