MOSKOW, EKOIN.CO – Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memuncak seiring serangan yang dilancarkan Israel dan Amerika Serikat terhadap Iran. Namun, publik internasional mempertanyakan mengapa Rusia, sekutu dekat Iran di banyak panggung internasional, tidak mengambil sikap membela secara langsung dan terbuka terhadap negara tersebut. Ketidakhadiran Moskow dalam aksi dukungan militer penuh terhadap Teheran mengundang sorotan dan analisis lebih lanjut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Rusia utamakan kalkulasi strategis
Rusia diketahui sering kali menjalankan kebijakan luar negeri yang penuh perhitungan. Dalam konteks konflik Iran dengan Israel dan AS, Moskow memilih langkah hati-hati agar tidak terjebak dalam konflik terbuka yang berisiko memperburuk hubungan dengan negara-negara Barat. Seperti dilaporkan Al Jazeera, Rusia tetap menjaga komunikasi diplomatik dengan Iran, namun tidak melakukan intervensi militer langsung.
Pakar hubungan internasional dari Institut Studi Strategis Moskow, Vladimir Sotnikov, menyatakan bahwa Rusia tidak ingin konflik regional membesar menjadi konfrontasi global. “Kebijakan Rusia selalu pragmatis. Mereka tidak ingin menjadi target sanksi baru dari Barat karena terlalu dekat dengan Iran,” ujarnya dikutip dari Middle East Eye.
Kepentingan dengan Israel tetap dijaga
Selain hubungan dengan Iran, Rusia juga menjaga kedekatan taktis dengan Israel. Di Suriah, misalnya, Rusia dan Israel telah lama menjalankan koordinasi militer agar tidak terjadi benturan antar pasukan. Ini menunjukkan adanya semacam “pemahaman diam-diam” antara kedua negara yang mencegah keterlibatan Rusia dalam konflik antara Israel dan Iran.
Seperti dilaporkan dari Haaretz, Rusia dan Israel secara aktif berbagi informasi intelijen terkait operasi militer di Suriah. Hal ini membuat Rusia berada dalam posisi diplomatik yang rumit jika harus memilih antara Iran dan Israel. Oleh karena itu, Moskow cenderung mengambil posisi netral untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di kawasan.
Hubungan Rusia-Iran tetap strategis
Meski tidak memberikan dukungan militer terbuka, hubungan Rusia dan Iran tetap kuat, terutama dalam kerja sama teknologi dan energi. Keduanya menjadi sekutu utama dalam mendukung rezim Bashar al-Assad di Suriah dan dalam menghadapi dominasi politik Amerika di kawasan.
Menurut laporan dari The Diplomat, Rusia memasok Iran dengan sistem pertahanan udara dan bekerja sama dalam program nuklir sipil. Namun, dukungan tersebut lebih bersifat jangka panjang dan tidak langsung terlibat dalam konflik bersenjata antara Iran dan blok Barat.
Keamanan energi dan pasar internasional
Alasan lain Rusia menahan diri adalah faktor stabilitas pasar energi dunia. Sebagai salah satu produsen utama minyak dan gas, Moskow berkepentingan menjaga agar konflik Timur Tengah tidak menimbulkan lonjakan harga energi yang ekstrem dan tidak terkontrol. Intervensi langsung akan memperburuk ketegangan dan bisa memicu embargo lebih lanjut terhadap Rusia.
Dilansir dari Reuters, para analis menilai bahwa Kremlin lebih fokus pada kestabilan ekonomi domestik dan regional dibandingkan mengambil risiko besar dalam konflik asing. Strategi ini dianggap sejalan dengan kepentingan jangka panjang Rusia.
Pengaruh domestik dan sanksi internasional
Rusia juga tengah menghadapi tekanan ekonomi dan politik dalam negeri akibat sanksi internasional atas perang di Ukraina. Kondisi ini membuat Moskow harus lebih selektif dalam memilih keterlibatannya dalam konflik global. Membuka front baru dengan mendukung Iran secara militer dapat memperburuk isolasi ekonomi Rusia.
Dalam wawancara dengan BBC, pakar politik Rusia, Maria Lipman, menyebutkan bahwa publik domestik Rusia juga tidak mendukung keterlibatan militer baru yang bisa memperparah situasi ekonomi. “Rakyat Rusia sudah lelah dengan beban perang. Dukungan untuk Iran tidak bisa serta-merta berarti keterlibatan dalam perang besar,” katanya.
Kalkulasi militer dan logistik
Dari sisi militer, Rusia juga sedang mengalami tekanan logistik akibat perang di Ukraina. Keterlibatan militer tambahan di kawasan lain akan membebani sumber daya pertahanan negara tersebut. Oleh karena itu, Moskow lebih memilih pendekatan diplomasi dan pernyataan resmi yang mendukung Iran secara simbolis.
Menurut laporan Defense News, Rusia terus memantau situasi di Timur Tengah namun belum ada indikasi pergerakan pasukan atau pengiriman senjata dalam jumlah besar ke Iran sejak konflik meningkat.
Dinamika diplomasi multilateral
Di kancah internasional, Rusia tetap menunjukkan dukungan terhadap Iran di forum-forum seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO). Namun, dukungan ini sebatas pada level kebijakan umum dan tidak diwujudkan dalam bentuk intervensi langsung dalam konflik militer antara Iran dan blok Barat.
Seperti dikutip dari TASS, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan bahwa Rusia menentang penggunaan kekuatan sepihak di Timur Tengah dan menyerukan dialog untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan Iran.
Kebijakan non-konfrontatif Rusia
Kebijakan luar negeri Rusia selama ini dikenal sebagai kebijakan yang bersifat reaktif dan berbasis kepentingan nasional. Dalam banyak kasus, Moskow menghindari terlibat langsung dalam konflik yang tidak memiliki keuntungan strategis langsung bagi negaranya. Hal inilah yang tercermin dalam sikapnya terhadap ketegangan Iran-Israel.
Para analis menyebut bahwa langkah ini mencerminkan prinsip “keseimbangan pragmatis” yang menjadi landasan utama kebijakan luar negeri Rusia pasca-Uni Soviet. Strategi ini memungkinkan Moskow untuk tetap relevan secara global tanpa harus menjadi pihak yang terlibat langsung dalam konflik.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap Rusia yang tidak sepenuhnya membela Iran saat diserang Israel dan Amerika Serikat dilandasi oleh berbagai pertimbangan strategis. Salah satunya adalah menjaga stabilitas hubungan dengan kedua belah pihak serta menghindari risiko eskalasi konflik yang lebih luas. Rusia tetap mendukung Iran dalam kapasitas diplomatik, namun tidak mengambil langkah militer langsung.
Situasi ini juga menunjukkan bahwa Rusia memiliki kepentingan lain yang tak kalah penting dibandingkan solidaritas terhadap sekutu. Hubungan dengan Israel, pasar energi global, serta kondisi domestik menjadi faktor utama dalam pembentukan keputusan Moskow. Strategi ini dianggap sejalan dengan pendekatan pragmatis yang selama ini dianut Kremlin.
Di sisi lain, Iran juga memahami posisi Rusia yang serba sulit. Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Teheran yang mengecam sikap pasif Moskow secara langsung. Ini menunjukkan bahwa kedua pihak masih menjalin komunikasi erat dalam menghadapi dinamika kawasan.
Konflik di Timur Tengah kemungkinan masih akan berlangsung dalam waktu yang belum pasti. Dalam situasi seperti ini, banyak negara termasuk Rusia memilih untuk memprioritaskan stabilitas jangka panjang dibandingkan aksi cepat yang berisiko tinggi.
Ke depan, peran Rusia sebagai penyeimbang diplomatik akan sangat menentukan arah penyelesaian konflik. Langkah-langkahnya akan terus diamati oleh komunitas internasional sebagai cerminan kebijakan geopolitik global yang makin kompleks.(*)