Riyadh, EKOIN.CO – Diamnya sejumlah negara Arab dalam menyikapi agresi Israel terhadap Palestina telah memicu pertanyaan dari berbagai pihak. Isu Palestina yang menyentuh banyak hati umat Muslim dan masyarakat internasional ternyata tak serta-merta menggerakkan negara-negara Arab untuk bersikap tegas atau terbuka dalam konflik tersebut.
Fenomena ini bukan tanpa latar belakang. Seperti dikutip dari Al Jazeera, sikap sebagian negara Arab yang tampak bungkam ternyata dilandasi oleh beragam faktor, mulai dari politik domestik, ekonomi, hingga perhitungan strategis jangka panjang di kawasan Timur Tengah.
Kepentingan Nasional yang Tidak Seragam
Sejumlah negara Arab mengutamakan stabilitas dan agenda dalam negeri yang lebih mendesak ketimbang keterlibatan dalam isu Palestina. Misalnya, Arab Saudi tengah fokus menjalankan agenda Visi 2030 yang menargetkan modernisasi ekonomi dan reformasi sosial. Prioritas ini membuat Riyadh lebih berhati-hati dalam mengambil sikap yang bisa merusak hubungan diplomatik dengan negara kuat lain seperti Amerika Serikat.
Sementara itu, Mesir lebih memilih menjaga hubungan damai dengan Israel yang sudah terjalin sejak Perjanjian Camp David pada 1979. Hubungan tersebut memberikan keuntungan strategis di sektor keamanan dan ekonomi yang tidak ingin diganggu oleh konflik terbuka.
Efek Perjanjian Abraham
Sejak 2020, hubungan diplomatik antara beberapa negara Arab dengan Israel mulai terbuka melalui Perjanjian Abraham. Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan menjadi negara yang menandatangani kesepakatan tersebut. Imbal balik dalam bentuk kerja sama ekonomi, teknologi, dan pertahanan menjadi alasan utama di balik langkah itu.
Dengan adanya hubungan resmi tersebut, negara-negara penandatangan Abraham Accords cenderung bersikap hati-hati agar tidak merusak kesepakatan yang telah menguntungkan dari berbagai aspek. Hal ini turut menjelaskan minimnya sikap keras terhadap Israel.
Khawatir Instabilitas Domestik dan Regional
Sejumlah analis menilai bahwa beberapa pemimpin negara Arab khawatir bahwa terlalu vokal membela Palestina dapat menimbulkan ketegangan internal. Gerakan protes atau tekanan dari kelompok Islam konservatif bisa mengganggu stabilitas politik domestik yang selama ini dijaga ketat.
Tak hanya itu, konflik berkepanjangan juga bisa memicu ketegangan dengan mitra strategis di Barat, khususnya Amerika Serikat, yang selama ini menjadi pendukung utama Israel. Beberapa negara Arab memilih bersikap netral untuk menghindari tekanan ekonomi atau diplomatik dari Washington.
Dinamika Blok Arab yang Tidak Lagi Solid
Liga Arab sebagai organisasi regional pernah menjadi kekuatan besar dalam isu Palestina. Namun, saat ini, peranannya dianggap semakin lemah karena perbedaan kepentingan antaranggota yang makin mencolok. Hal ini berdampak pada tidak adanya langkah kolektif yang kuat untuk menghadapi agresi Israel.
Kondisi ini menunjukkan bahwa blok Arab tidak lagi bersuara dalam satu suara. Negara-negara anggota memilih jalur sendiri-sendiri dalam menentukan sikap, sehingga koordinasi menjadi lemah dan respons terhadap isu Palestina tampak tidak efektif.
Ada Dukungan, Tapi Lebih Bersifat Simbolik
Beberapa negara Arab memang menyuarakan dukungan terhadap Palestina, namun lebih sering dalam bentuk pernyataan resmi atau kecaman di forum internasional. Misalnya, Qatar dan Kuwait tetap menyatakan komitmen moral dan bantuan kemanusiaan, namun tidak disertai tekanan diplomatik atau tindakan nyata kepada Israel.
Sikap tersebut lebih mencerminkan posisi politik simbolik dibandingkan aksi nyata. Seperti yang disampaikan oleh analis Timur Tengah dari Brookings Institution, dukungan ini lebih ditujukan untuk menjaga citra politik dalam negeri daripada mendorong perubahan kebijakan global.
Konflik Palestina Jadi Komoditas Politik
Dalam beberapa kasus, isu Palestina justru digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan domestik. Beberapa negara Arab menjadikan narasi pembelaan terhadap Palestina sebagai alat untuk meraih dukungan masyarakat, tanpa disertai langkah substantif yang benar-benar berdampak.
Kondisi ini membuat perjuangan Palestina menjadi rentan terhadap eksploitasi politik. Seperti diungkapkan jurnalis Al Jazeera, retorika dukungan tidak selalu mencerminkan kesungguhan diplomatik di balik layar.
Situasi Internasional dan Perubahan Prioritas
Geopolitik global yang berubah turut memengaruhi sikap negara-negara Arab. Fokus dunia saat ini lebih banyak tertuju pada isu perubahan iklim, persaingan teknologi, serta perang di Ukraina, sehingga perhatian terhadap konflik Palestina menjadi berkurang di meja diplomasi internasional.
Akibatnya, tekanan internasional terhadap Israel juga tidak sekuat beberapa dekade lalu. Negara-negara Arab cenderung ikut dalam arus ini, dengan memperkecil eksposur terhadap isu Palestina demi menjaga relasi luar negeri yang lebih stabil.
Palestina Masih Diperjuangkan di Level Rakyat
Meskipun pemerintahannya tidak bersuara lantang, banyak masyarakat sipil di negara Arab tetap menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Aksi unjuk rasa, penggalangan dana, dan kampanye digital terus dilakukan oleh warga untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Namun, gerakan-gerakan ini sering tidak diakomodasi oleh kebijakan resmi negara karena dianggap bisa memicu ketegangan. Hubungan antara sikap warga dan kebijakan pemerintah tampak tidak sejalan dalam hal ini.
Diamnya negara-negara Arab dalam konflik Palestina bukan berarti tanpa alasan. Banyak pertimbangan strategis yang memengaruhi, mulai dari stabilitas politik, kepentingan ekonomi, hingga hubungan diplomatik dengan negara besar lainnya.
Tidak semua negara Arab diam, tapi respons mereka lebih ditujukan ke jalur diplomasi simbolik. Ini menandakan bahwa isu Palestina tetap hidup, meski tidak disuarakan dengan keras.
Faktor internal negara Arab juga sangat dominan dalam menentukan sikap terhadap konflik ini. Ketakutan akan instabilitas dan tekanan internasional membuat mereka lebih memilih jalan aman.
Sikap diam tidak selalu berarti mendukung Israel, tapi juga tidak berarti berpihak pada Palestina secara penuh. Nuansa inilah yang membuat banyak pihak salah memahami diamnya negara Arab.
Konflik Palestina tetap menjadi luka terbuka di dunia Arab. Namun hingga kini, belum ada kesatuan langkah konkret yang menunjukkan tekad politik kolektif dari negara-negara Arab dalam menghadapi agresi yang terjadi.(*)
Negara-negara Arab perlu membangun kembali koordinasi regional agar dapat bersikap kolektif dalam menghadapi krisis kemanusiaan di Palestina.
Peran Liga Arab sebaiknya dihidupkan dengan lebih aktif, bukan hanya lewat pernyataan simbolik, melainkan lewat langkah diplomasi nyata.
Dukungan terhadap Palestina harus diarahkan pada kebijakan yang bisa menekan Israel secara konkret di forum internasional.
Pemerintah Arab juga sebaiknya lebih mendengarkan aspirasi rakyatnya yang tetap konsisten menyuarakan keadilan untuk Palestina.
Dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, serta keberanian politik yang lebih besar, posisi negara Arab bisa kembali menjadi kekuatan penting dalam membela Palestina.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v